Setelah melakukan perlawanan selama hampir setahun, kekuatan Husein bin Ali berhasil dihancurkan dalam sebuah pertempuran di pinggir Kota Mekkah. Kemudian pasukan Abbasiyah memasuki kota Mekkah dan mengultimatum para pendukung Husein bin Ali agar menyerah. Tapi mereka menolak, lalu terjadilah pembantaian besar-besaran di tempat tersebut. Pasukan Abbasiyah memburu anak keturunan Ali bin Thalib yang lainnya.
Husein bin Ali dan Yahya bin Muhammad melihat bahwa tidak ada jalan lain bagi mereka selain melakukan perlawanan. Maka mereka pun mengumpulkan para pengikutnya, termasuk beberapa anak keturunan Ali bin Abi Thalib yang lain. Mereka mendeklarasikan revolusi, dan membaiat Husein bin Ali sebagai pemimpin mereka. Kota Madinah menjadi gempar karena masalah ini. Kelompok Husein bin Ali kemudian menyerang kediaman gubernur Madinah, Umar bin Abdul Aziz, tapi dia tidak ada di sana. Akhirnya mereka pun mengambil alih sepenuhnya Kota Madinah.
C. E. Bosworth, penerjemah kitab Al-Tabari (VOLUME XXX), dalam anotasinya menyebutkan, bahwa agak janggal bila penyebab pemberontakan tersebut hanya dipicu masalah minuman (nabidb). Menurut beberapa sumber yang dirujuknya, disebutkan bahwa motif utama revolusi tersebut disebabkan karena kekecewaan anak keturuan Ali pada kebijakan Al-Hadi yang mendepak sejumlah tokoh mereka dari dinas pemerintahan yang dulunya diangkat oleh Al-Mahdi. Hanya saja, menurut C. E. Bosworth, jarak antara pengangkatan Al-Hadi dengan meletusnya revolusi ini terlalu dekat, bahkan hampir bersamaan, yaitu sekitar akhir bulan Muharram 169 H.
Dengan demikian, bisa diduga bahwa di akhir masa pemerintahannya, Al-Mahdi telah mengubah sebagian kebijakannya, dan secara perlahan menyingkirkan anak keturunan Ali bin Abi Thalib dari posisinya. Inilah yang melahirkan benih-benih pemberontakan.[1] Adapun peristiwa yang menimpa Hasan bin Muhammad bin Abdullah adalah faktor pemicu pecahnya pemberontakan tersebut.
Kembali pada pemberontakan Husein bin Ali. Setelah menguasai Kota Madinah, mereka segera menggalang dukungan di Mina dan Mekkah. Husein menyatakan dalam pidatonya, bahwa bagi para budak yang memutuskan bergabung dalam gerakannya, maka mereka akan diberi kemerdekaan. Tak ayal dukungan pun berdatangan dari berbagai lapisan masyarakat.[2] Para prajurit Abbasiyah mulai mengorganisir diri menghadapi ancaman ini. Mereka kemudian menyerang Madinah, tapi kekuatan mereka bisa segera dipatahkan. Beberapa tokoh Bani Abbas tewas dalam serang pertama ini. Dimana ini memancing perhatian serius dari Al-Hadi.
Singkat cerita, pemberontakan ini berlangsung selama hampir setahun, dan sempat sangat merepotkan pemerintahan Abbasiyah. Hingga akhirnya, pada bulan Dzulhijjah 169 H, anggota keluarga Bani Abbas berdatangan untuk menuaikan ibadah haji. Ketika itu tanah suci sudah dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Husein bin Ali dan anak keturunan Ali bin Abi Thalib lainnya. Al-Hadi memerintahkan kepada pamannya yang bernama Muhammad bin Sulaiman (sepupu As-Saffah dan Al-Manshur) memimpin jamaah haji. Tapi sebelum itu, dia memerintakan agar terlebih dahulu memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh anak keturunan Ali. Maka mereka pun menyiapkan pasukan.[3]
Pertempuran antara dua kekuatan ini berlangsung di tempat bernama Fakhkh, sebuah daerah di dekat Mekkah. Pertempuran ini terjadi di malam hari atau menjelang subuh. Dalam pertempuran tersebut, masing-masing pasukan tidak melihat jelas siapa musuhnya. Mereka mengorganisir diri dengan sistem formasi yang ketat. Dalam perempuran ini, pasukan Abbasiyah diiming-imingi hadiah 500 dirham untuk setiap kepala pemberontak. Merekapun bersemangat. Hingga akhirnya mereka berhasil mengunci lawannya, dan membantai mereka semua. Satu persatu kepala korban mereka di penggal, lalu dibawa ke hadapan Muhammad bin Sulaiman. Dan betapa kagetnya mereka, ternyata di antara kepala-kepala yang dipersembahkan itu ada kepala Husein bin Ali. Dengan demikian pemberontakan itupun selesai dengan sendirinya.[4]
Setelah berhasil menghancurkan kekuatan inti pemberontak dan membunuh pimpinanannya, pasukan Abbasiyah memasuki kota Mekkah dan mengultimatum para pendukung Husein bin Ali agar menyerah. Tapi mereka menolak, lalu terjadilah pembantaian besar-besaran di tempat tersebut. Pasukan Abbasiyah memburu anak keturunan Ali bin Thalib yang lainnya. Tidak hanya di Mekkah, ketika kisah kekalahan Husein bin Ali sampai ke Madinah, Umar bin Abdul Aziz segera memerintahkan anak buahnya menyerang semua anggota keluarga Ali bin Abi Thalib, dan merampas properti mereka, serta membakar kebun-kebun kurma milik mereka.[5]
Merasa terancam, sebagian anak keturunan Ali bin Abi Thalib ini memilih melarikan diri. Salah satu dari mereka yang berhasil melarikan diri adalah Idris bin Abdullah bin Hasan bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dia adalah adik tiri dari Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang melakukan pemberontakan pada era Al-Manshur. Menurut Tabari, Idris bin Abdullah berhasil melarikan dari dari kejaran pasukan Al-Hadi. Dia kemudian pergi ke Mesir. Di sana dia mendapatkan bantuan dari tokoh setempat, dan kemudian melarikan diri lebih jauh ke daerah Maroko. Di sana kelak dia mendirikan sebuah identitas politik yang dikenal dengan Dinasti Idrisiyah.[6] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] The History of al-Tabari, VOLUME XXX, The Abbasid Caliphate in Equilibrium, translated and annotated by C. E. Bosworth, State University of New York Press, 1995, hal. 18 (Catatan kaki No.70)
[2] Ibid, hal. 22
[3] Ibid, hal. 23
[4] Ibid, hal. 25-26
[5] Ibid, hal. 31
[6] Ibid. hal. 28