Pada tahun 183 H, terjadi agresi Bangsa Khazar ke wilayah Armenia yang merupakan wilayah teritori Abbasiyah. Akibat agresi ini, sekitar 100.000 kaum Muslim tewas. Imam As-Suyuthi mengatakan, peristiwa ini telah menorehkan luka sejarah yang dalam, karena peristiwa semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Setelah melalui serangkaian pemberontakan dan kerusuhan dalam 10 tahun pemerintahannya, pada tahun 180 H, Harun Al-Rasyid mulai mengocok ulang pos-pos birokrasinya mulai dari pusat sampai daerah. Jika di tahun-tahun sebelumnya Harun sangat bergantung pada pada wazirnya, Yahya bin Khalid, kali ini dia sendiri yang turun tangan mengelola urusan tersebut. Karena kebergantungannya yang berlebihan pada Yahya ini pula, pos-pos pemerintahan akhirnya banyak diisi oleh sanak famili Yahya bin Khalid, yang tidak lain adalah orang-orang Persia.
Meskipun Yahya bin Khalid terbilang cukup berhasil menjalankan pemerintahan, tapi ini tidak cukup bila Harun ingin merangkul semua pihak, khususnya Bani Hasyim. Dia harus melakukan rotasi. Oleh sebab itu pada tahun ini dia menunjukkan Ja’far bin Yahya bin Khalid sebagai gubernur di Khurasan. Tapi hanya selang dua puluh hari saja, Harun menggantikan Ja’far dengan Isa bin Ja’far (adik Zubaidah bin Ja’far). Ja’far bin Yahya kemudian ditempatkan sebagai kepala keamanan.[1]
Hal yang sama juga terjadi dengan putra Yahya bin Khalid yang lain, yaitu Fadl bin Yahya, yang tidak lain adalah juga saudara sesusuan Harun Al-Rasyid. Pada tahun ini, Fadl yang sebelumnya menjabat sebagai gubernur Tabaristan dan Al-Ruyan, digantikan oleh Abdullah bin Khazim. Dia juga mencopot jabatan Fadl di propinsi Rayy, lalu menggantinya dengan sosok bernama Muhammad bin Yahya bin al-Haris, dan demikianlah seterusnya. Melalui serangkaian rotasi ini, Harun tampaknya ingin mencoba merangkul semua kekuatan politik dalam dunia Islam, tidak hanya terbatas pada orang-orang Persia saja, apa lagi hanya di kalangan keluarga Yahya bin Khalid.[2]
Setelah selesai melakukan restrukturisasi dan memperkokoh manajemen internal, masalah kini datang dari luar. Pada tahun 181 H, konflik dengan Bizantium pecah kembali. Pada tahun ini Harun Al-Rasyid berhasil merebut kembali Benteng Safsaf[3] yang dikuasai oleh Bizantium. Ekspedisi militer menghadapi Bizantium ini kemudian dilanjutkan oleh jenderalnya yang bernama Abdul Malik bin Salih. Abdul Malik berhasil merangsek cukup jauh hingga mencapai Ankara (Turki), serta merebut daerah Matmurah (sekarang Cappadocia north, Turki).[4]
Di tahun 182 Harun Al-Rasyid berhasil mengamankan Kota Mosul dan Raqqah (sekarang Irak), dari kelompok Khawarij dan orang-orang Zindiq. Harun terjun langsung membangun sistem pemerintahan kota tersebut tersebut, hingga urusan paling detail. Setelah semua rampung, Harun kemudian mengumumkan dihadapan para prajuritnya pengangkatan putranya yang bernama Abdullah sebagai putra mahkota setelah Al-Amin. Abdullah adalah kakak Al-Amin yang lahir bertepatan dengan dilantiknya Harun sebagai Khalifah kelima Dinasti Abbasiyah. Di waktu pelantikan inilah kemudian Abdullah diberi gelar Al-Ma’mun.[5]
Pada tahun 183 H, Bangsa Khazar yang menempati wilayah utara pegunungan Kaukasus, melakukan agresi ke Armenia yang ketika itu masuk dalam teritori Dinasti Abbasiyah. Awal mula terjadinya agresi ini, ketika putri Raja Khazar berjalan bersama sejumlah pengawalnya hingga memasuki wilayah kaum Muslimin. Tidak jelas bagaimana kejadian persisnya, tapi diberitakan kemudian bahwa putri tersebut menghilang.[6]
Para prajurit yang mengawal sang putri mengadukan pada Raja Khazar bahwa sang putri telah dibunuh secara kejam oleh orang-orang Muslim di Armenia. Sesaat setelah itu, Raja Khazar langsung murka. Dia memerintahkan agar mengumpulkan semua pasukan dan sumber daya yang dimiliki, untuk menuntut balas atas penghinaan ini.[7]
Dalam versi yang agak berbeda, Tabari menceritakan dari sumber yang diyakininya, bahwa awal mula terjadinya agresi Bangsa Khazar terjadi ketika gubernur Armenia, Said bin Salam, mengeksekusi Al-Munajjim Al-Sulami salah satu penguasa lokal di tepi Laut Kaspia. Mendengar ini, putra dari Al-Munajjim mengadu kepada penguasa Khazar. Dia memohon bantuan darinya agar membalaskan dendamnya pada Said bin Salam. Raja Khazar pun memenuhi permohonan tersebut, dan melakukan agresi ke Armenia.[8]
Terlepas dari cerita mana yang benar. Tapi yang jelas, agresi Bangsa Khazar ke Armenia menjadi catatan penting bagi sejarawan. Sejak awal sejarah militernya, baru kali ini wilayah kaum Muslimin ditaklukkan oleh bangsa lain yang mengakibatkan kerusakan demikian parah. Tabari mengatakan, Bangsa Khazar menyerang Armenia dengan bala tentara yang sangat besar. Dalam waktu singkat mereka berhasil menaklukan dan menguasai sepenuhnya wilayah tersebut. Adapun Said bin Salam, dia berhasil melarikan diri.[9]
Setelah berhasil menguasai Armenia, para prajurit Khazar melakukan pembantaian dan pemerkosaan terhadap penduduknya. Menurut keyakinan Tabari, mereka melakukan ini setidaknya selama tujuh puluh hari. alhasil, jumlah korban yang tewas selama peristiwa ini, lebih dari 100.000 kaum Muslimin. Imam As-Suyuthi mengatakan, peristiwa ini telah menorehkan luka sejarah yang dalam, karena peristiwa semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya.[10]
Mendengar tragedi ini, Harun Al-Rasyid memerintahkan kepada Yazid bin Mizyad yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Azarbaijan untuk mengirimkan segera pasukannya ke Armenia. Dan ketika mendengar pasukan Abbasiyah mendekat, prajurit-prajurit Khazar pun pergi melarikan diri. Yazid bin Mizyad kemudian memulihkan situasi yang terjadi di Armenia dan mengembalikan wilayah tersebut sebagai bagian dari wilayah Ababsiyah.[11] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan
kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, The Abbasid Caliphate in Equilibrium, translated and annotated by C. E. Bosworth, (State University of New York Press, 1995), hal. 162
[2] Ibid, hal. 163
[3] Benteng ini sekarang terletak di daerah bernama Hasangazi, Turki sekarang.
[4] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, Op Cit, hal. 165-166
[5] Ibid, hal. 167
[6] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh, Darussalam, 2000), hal. 348
[7] Ibid
[8] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, Op Cit, hal. 171
[9] Ibid, hal.
[10] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta, Qisthi Press, 2017), hal. 308
[11] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, Op Cit