“Prasasti di makam Fatimah binti Maimun, bukan hanya bukti arkelogis tertua adanya Islam di pulau Jawa. Lebih dari itu, informasi yang terkandung dalam prasasti tersebut merupakan titik historis yang penting untuk mengkonstruksi lebih komprehensif jejak Islam pertama di Pulau Jawa dan Islam Nusantara secara umum.”
—Ο—
Sebagaian besar masyarakat mungkin sepakat bila dikatakan bahwa Pulau Jawa merupakan pusat episentrum penyebaran Islam di Nusantara. Meski bukan sebagai wilayah pertama yang menganut Islam, tapi di pulau inilah untuk pertama kalinya Islam diterima demikian luas, serta menjadi pusat dakwah dan pendidikan Islam paling semarak, sehingga Islam menyebar luas di Nusantara sampai hari ini. Walisongo adalah tokoh-tokoh penting yang dianggap sebagai pionir dalam proses ini. Merekalah yang membuat Islam mudah diterima dan dihayati oleh masyarakat, hingga menjadi pandangan hidup bersama. Puncaknya, adalah ketika umat Islam berhasil mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang bernama Demak, dan meneguhkan posisi umat Islam di tanah Jawa.
Tapi belakangan, melalui serangkaian penelitian dan penggalian sejarah yang mendalam, para sejarawan mulai berkesimpulan bahwa Islam sebenarnya sudah ada di Pulau Jawa jauh berabad-abad sebelum datanganya Walisongo pada Abad ke 14-15 Masehi. Ada satu gelombang pertama kedatangan kaum Muslimin dari Persia pada abad ke 7 sampai 8 M ke wilayah Asia Tenggara hingga ke Asia Timur. Dari proses serangkaian kedatangan tersebut, beberapa diantaranya menyentuh Pulau Jawa. Dan salah satu titik historis yang membuktikan hal tersebut adalah situs arkeologis berupa makam seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun.
Bagi sebagian besar masyarakat, khususnya yang tinggi di sekitar wilayah Gresik, Jawa Timur, mungkin sudah tidak asing dengan nama Fatimah binti Maimun. Nama ini tertulis di sebuah nisan di dusun Leran, Desa Pesucian, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Dari sejumlah makam kaum Muslimin yang ada di Pulau Jawa, inilah yang tertua, yang inskripsinya menunjukkan kronogram 475 H atau 1082 M. bukti arkelogis ini kemudian dikenal sebagai Batu Nisan Leren.[1]
Orang pertama yang menemukan dan membaca inskripsi Batu Nisan Leran adalah peneliti asal Belanda bernama JP Moquette pada 1911. Ketika pertama kali ditemukan, kondisi makam ini sangat mengkhawatirkan. Atapnya ambruk dan tidak terurus. Kemudian Paul Ravaisse (berkebangsaan Perancis) melakukan beberapa perbaikan. Adalah Muhammad Yamin yang membaca angka tahun 475 H atau 1082 M, sebagai tahun meninggalnya Fatimah binti Maimun.[2] Konon, dulunya area makam Fatimah Binti Maimun merupakan tempat pemakaman umum. Tetapi, semenjak tahun 1973 atau saat situs makam Fatimah Binti Maimun diambil alih Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur, area makam tersebut tidak lagi dibolehkan menjadi pemakaman umum.[3]
Inskripsi nisan Fatimah binti Maimun terdiri atas tujuh baris, di tulis dengan huruf Arab dengan gaya Kufi, yang merupakan model penulisan paling tua di antara semua gaya kaligrafi yang ada. J.P. Moquette berhasil membaca tulisan yang tertera di Batu Nisan Leren yang ditulis dengan struktur sangat baik. Ternyata dalam prasasti tersebut dicantumkan pula dua ayat dalam Al Quran Surat Ar Rahman. Hasil pembacaan Moquette kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Yamin. Berikut ini hasil pembacaan Moquette:
Bismillahirrahmanirrahim, kullu man ‘alaiha fanin wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram. Hadza qabru syahidah Fatimah binti Maimin bin Hibatallah, tuwuffiyat fi yaumi al-Jumah…. min Rajab wa fi sanati khamsatin wa tis’ina wa arba’ati min ‘atin ila rahmat (sebagian orang membaca “wa tis’ina” dengan “wa sab’ina”) Allah… shadaqallah al-azhim wa rasulihi al-karim.
Menurut Muhammad Yamin terjemahan atas inskripsi batu nisan Fatimah binti Maimun adalah sebagai berikut:
Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah, Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana; Tetapi wajah Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanya; Inilah kuburan wanita yang menjadi kurban syahid bernama Fatimah binti Maimun; Putera Hibatu’llah yang berpulang pada hari Jumat ketika tujuh; Sudah berlewat bulan Rajab dan pada tahun 495 H. (sebagian ada yang membacanya 475 H); Yang menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Maha Tinggi beserta Rasulnya yang Mulia.
Meski hanya terdiri dari tujuh baris, namun kalimat yang tertera di nisan tersebut mengandung informasi dan pesan spiritual yang tinggi. Baris pertama merupakan basmalah, kemudian diikuti oleh kutipan Surah Ar-Rahman ayat 26-27, yang umum dalam epitaf umat Muslim, terutama di Mesir. Sedang baris berikutnya adalah rangkaian informasi yang akurat tentang waktu kematian Fatimah binti Maimun, yaitu pada hari jumat, bulan Rajab, tahun 475 H atau 1082 M. Itu berarti beberapa abad lebih dulu dari waktu berdirinya Majapahit.(AL)
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Jakarta, Pustaka IIMaN, 2016, hal. 56
[2] http://www.inigresik.com/2016/02/inilah-penampakan-makam-siti-fatimah-binti-Maimun-Saat-Pertama-Kali-di-Temukan.html
[3] http://www.laurentiadewi.com/2017/04/04/makam-fatimah-binti-maimun-bin-hibatullah-siti-fatimah-binti-maimun-makam-islam-tertua-di-nusantara/