Beberapa waktu lalu, saya mendapat email dari seorang teman bernama AS. Dia meminta saya menjawab apa yang dia sebut sebagai kritik2 kalangan tertentu terhadap al-Qur’an. Dalam email panjangnya itu, Pak AS meminta (tepatnya: menutut) saya untuk menulis jawaban tuntas atas tuduhan sekelompok orang tentang kesalahan-kesalahan gramatikal dalam al-Qur’an.
Mulanya saya mencoba merinci jawaban untuk tiap tuduhan. Tapi, akhirnya niat itu saya batalkan, mengingat betapa banyak waktu yang harus saya buang, sementara semua tuduhan itu sebenarnya tidak layak mendapat tanggapan yang serius itu. Apalagi, belakangan ini saya semakin sadar bahwa menjawab santai dan dialektis jauh lebih tepat untuk tuduhan-tuduhan tidak berdasar semecam itu.
Marilah sekarang saya berikan evaluasi singkat atas dasar argumentasi yang mereka coba kemukakan sekaitan dengan tuduhan adanya kesalahan2 gramatikal dalam AL-QUR’AN itu. Dengan cara sederhana ini, saya berharap Bpk AS bisa melihat dengan jelas betapa rapuh dasar argumentasi yang mereka bangun itu.
Seperti mungkin Anda tahu, gramatika Arab (nahwu, sharaf) dan hampir semua ilmu bahasa Arab adalah produk peradaban Islam yang muncul untuk merespons kebutuhan masyarakat Muslim untuk memahami al-Qur’an. Ada dua kebutuhan yang muncul, dari dalam masyarakat Arab sendiri maupun dari kalangan masyarakat Muslim non-Arab.
Kebutuhan internal terkait dengan banyaknya dialek dalam masyarakat Arab. Tanpa gramatika, pembakuan bacaan dan tulisan al-Qur’an menjadi tugas yang sangat sulit. Kedua, kebutuhan masyarakat Muslim non-Arab untuk mempelajari dan menafsirkan al-Qur’an. Gramatika diasumsikan bisa membantu masyarakat Muslim non-Arab mehamami dan menafsirkan al-Qur’an. Seorang Muslim non-Arab pasti akan mengandalkan alat-alat kebahasaan ini untuk mendekati al-Qur’an ketimbang rasa bahasa seperti yang dimiliki oleh seorang Muslim Arab. Maka itu, dalam perkembangannya, gramatika bahasa Arab justru lebih banyak ditulis dan dikembangkan oleh kalangan non-Arab.
Kesimpulannya, al-Qur’an adalah raison d’etre gramatika bahasa Arab. Tanpa al-Qur’an, secara hipotetis, tidak mungkin ada gramatika bahasa Arab. Gramatika bahasa Arab lahir dan berkembang di dalam buaian al-Qur’an. Dan karena terjadi banyak perbedaan tafsir al-Qur’an, terjadi pula perbedaan pandangan dalam gramatika al-Qur’an. Perbedaan gramatika bahasa Arab ini sepenuhnya dipengaruhi oleh perbedaan pandangan seputar al-Qur’an, bukan perbedaan pandangan seputar bahasa Arab an sich.
Nah, sampai di sini, kita bisa tahu dengan jelas betapa absurdnya usaha-usaha untuk mencari kesalahan gramatikal al-Qur’an menggunakan gramatika bahasa Arab. Ini seperti—tentu tidak persis sama—jaksa penuntut yang mencoba menjerat pelaku tindak kriminal di tahun 1980 dengan undang2 yang baru disahkan tahun 2007. Atau seperti orang yang mencoba membuktikan kesalahan2 sistem alam semesta melalui pendekatan fisika. Padahal, fisika adalah ilmu untuk mempelajari alam semesta. Atau dalam praktiknya seperti orang yang mencoba membunuh lawan di belakangnya dengan menusuk perutnya sendiri. Atau seperti orang yang menyalahkan letak bintang tertentu karena teleskopnya tidak bisa menangkap bintang tersebut. Atau seperti orang yang memapras kepalanya karena kopiahnya tidak cukup. Atau seperti yang begitu-begitulah…Sudah bisa kita bayangkan betapa naifnya usaha-usaha seperti itu, bukan?
Lebih dari itu, dalam metodolosgi tafsir, penafsiran al-Qur’an dengan pendekatan yang melulu bahasa sudah dianggap tidak valid lagi. Ada banyak alasan yang diberikan untuk itu. Cobalah baca beberapa buku metodologi tafsir, maka Anda bisa temukan uraian tentang kelemahan-kelemahan pendekatan bahasa, terutama gramatikal, dalam memahami al-Qur’an.
Nah, orang yang mengenal bahasa Arab sebagai bahasa ibu dan memiliki rasa bahasa (sense of language, dzauq) bisa memahami al-Qur’an tanpa kendala-kendala gramatikal.
Ibn Arabi, misalnya, menawarkan pendekatan takwil (di samping tafsir) untuk memahami pesan2 al-Qur’an. Dia berusaha mengembalikan rasa bahasa Arab murni untuk memecahkan rahasia2 yang terdapat dalam setiap kata dalam al-Qur’an. Di sini, Ibn Arabi tampaknya hendak menjauhi pergumulan tanpa henti kalangan ahli gramatika Arab tentang soal2 gramatika dalam al-Qur’an dan mengajak kita untuk melangkah lebih jeluk ke dalam buaian al-Qur’an. Tentu ini sangat berisiko bagi mereka yang tidak punya rasa bahasa Arab yang tulen atau murni. Tapi, setidaknya, dia telah melampaui apapun hasil akhir atau kesepakatan kalangan ahli gramatika bahasa Arab.
Sampai di sini, kita bisa melihat kenaifan lain dari usaha-usaha untuk mempersalahkan al-Qur’an secara gramatikal. Karena gramatika itu berada beberapa level di bawah al-Qur’an. Gramatika bahasa Arab dan al-Qur’an tidak dalam level playing field yang sama.
Semua uraian di atas belum masuk pada persoalan yang lebih besar lagi, yakni persoalan bagaimana seorang manusia yang memiliki disiplin spiritual tinggi memahami kata-kata dalam al-Qur’an. Ini bisa jadi diskusi yang tak ada habis-habisnya, karena pada tahap ini orang memasuki ranah “merasakan madu” dan bukan lagi ranah “membicarakan madu”—atau untuk yang sudah menikah: ini adalah dunia “menikahi perempuan yang shalihah”, bukan lagi dunia orang-orang yang masih pada tahap “membicarakan perempuan bersama para lajang kesepian di kafe atau kampus”. Ini dunia nyata al-Qur’an yang sama sekali tidak ada dalam perbandingan, sekaligus tidak ada dalam bayangan, termasuk dalam benak penulis seperti saya.