Dalam kisah perjalanan Hijrah Rasulullah Muhammad SAW, Gua Tsaur merupakan tempat yang cukup monumental. Diriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersembunyi di sini bersama Abu Bakar Ash Siddiq, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Madinah. Di tempat ini Rasul SAW berdiam selama 3 hari untuk menghindari kejaran kaum kafir Mekah yang begitu masif memburu ke seluruh wilayah padang pasir. Tempat ini sekarang menjadi salah satu situs sejarah Islam yang masih sering dikunjungi oleh ummat Islam yang melaksanakan Haji atau Umroh.
Gua Tsaur atau banyak disebut Gua Tsur, berada di sebuah bukit yang bernama serupa, bukit Tsaur (Jabal Tsaur). Letaknya di sebelah selatan kota Mekah. Berdasarkan laporan dari ahli geografi Islam zaman dulu, jaraknya dari kota Mekah 3 farsakh atau 14,4 Km.[1] Jarak ini tampaknya diukur dari rute perjalanan tradisional masa itu yang berkelok-kelok dan menyesuaikan dengan medan alami pada gurun pasir. Saat ini, setelah kota Mekah berkembang pesat, jarak dari kota Mekah ke Jabal Tsaur ini hanya 6 Km.
Orang arab menggambarkan bukit Tsaur ini seperti perahu terbalik dengan punggung perahu menghadap ke atas. Untuk sampai ke tempat ini dibutuhkan waktu sekitar 30 menit perjalanan mendaki. Bukit Tsaur ini lebih tinggi daripada bukit Hira. Bukit Tsaur berada pada ketinggian 748 meter dari permukaan laut, atau 458 meter dari dasar bukit.[2]
Tsaur sendiri sebenarnya berarti sapi jantan. Tetapi penamaan ini berasal dari orang yang pernah tinggal disini, Tsaur bin Abi Manaf bin Add. Nama asli bukit ini adalah Ath’hal, yang berarti berwarna kelabu. Kemudian nama ini berubah menjadi Tsaur Ath’hal, dan akhirnya disebut Tsaur, atau sekarang menjadi Tsur.[3]
Berbeda dengan banyak gua di banyak belahan bumi lainnya, gua di padang pasir biasanya hanya berupa celah antar batu di bebukitan seperti gua Hira dan gua Tsaur.[4] Gua Tsaur merupakan cerukan kecil di atas bukit. Panjang gua 18 jengkal atau sekitar 3,5 meter. Tinggi dan lebarnya masing-masing sekitar 5 jengkal atau 1 meter.[5] Sehingga untuk memasukinya orang harus berjongkok. Pada zaman Nabi SAW kemungkinan ukurannya lebih kecil, karena mengalami pengikisan dan sering dimasuki orang lebar gua ini menjadi lebih besar.
Dalam kisah perjalanan Hijrah Rasulullah SAW, terdapat kisah yang cukup terkenal tentang Gua Tsaur ini. Syahdan, dikisahkan bahwa salah seorang pencari jejak yang paling handal hampir menemukan tempat persembunyian Nabi SAW di Gua Tsaur, dia adalah Karz bin ‘Alqamah yang berasal dari klan Khaza’i. Diantara para pencari jejak, dia adalah maestro di zamannya. Ia dikatakan bisa mengenali semua jejak para pemimpin Arab pada masa itu. Dengan kemampuannya ini, Karz bin ‘Alqamah mengaku telah berhasil menemukan jejak kaki Nabi SAW dan menuntun kaum Kafir Mekah sampai ke Gua Tsaur. Tapi ketika sampai ke mulut Gua Tsaur, mereka menyaksikan di mulut Gua itu terdapat sarang laba-laba yang menutupi seluruh mulut Gua, serta di depan mulut Gua tersebut ada burung merpati yang sedang bersarang. Menyaksikan ini, kaum kafir Mekah marah, bagaimana mungkin ada manusia di dalam Gua tersebut, sedang sarang laba-bala menutupi seluruh mulut Gua, dan burung merpati dengan tenangnya bersarang di depan Gua tersebut? [6]
Tapi menarik analisis O. Hasem terkait dengan fakta fisik Gua Tsaur, dan relevansinya dengan cerita di atas. Beliau melihat adanya 2 kejanggalan. Pertama, bila Bukit Tsaur adalah bukit batu, lantas bagaimana Karz bin ‘Alqamah dapat melihat jejak kaki Nabi SAW di atas bebatuan? Kedua, bila benar kaum kafir Quraisy sampai ke depan mulut gua, agaknya sulit menyimpulkan sarang laba-laba yang begitu transparan bisa mengalihkan pandangan mereka bila memang ada manusia di dalam gua tersebut. Lagi pula, dalam gua ini hanya 3,5 meter. Di tengah terik matahari gurun yang menyilaukan, agak sulit kiranya orang bersembunyi di sini tanpa terlihat dari mulut gua, meski gua itu ditutupi sarang laba-laba yang begitu transparan. Wallahualam bi sawab. (AL)
Catatan:
[1] Lihat, O. Hashem, Muhammad Sang Nabi; Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail, Ufuk Press, Jakarta, 2007, Hal. 105
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Sebuah gua adalah sebuah lubang alami di tanah yang cukup besar dan dalam. Beberapa ilmuwan menjelaskan bahwa dia harus cukup besar sehingga beberapa bagian di dalamnya tidak menerima cahaya matahari; namun dalam penggunaan umumnya pengertiannya cukup luas, termasuk perlindungan batu, gua laut. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Gua
[5] Lihat, O. Hashem, Op Cit
[6] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History of Islam (Volume One), Darussalam Int’l Publisher dan Distributions, 2000, Hal. 141-142