Salah satu kekuatan Ibn Arabi ialah ketaatannya menggunakan alat seperti bahasa, logika dan teks dalam tiap aspek pemikirannya. Bagi seorang literalis, Ibn Arabi akan tampak memenuhi seleranya. Dalam bab Taharah (Bersuci) karya Al-Futuhat Al-Makkiyah yang pernah diterbitkan oleh Mizan dengan judul “Menghampiri Sang Kudus”, Ibn Arabi terlihat sangat literalis, sedemikian sehingga kalangan tekstualis kehilangan alasan untuk melawan dan menolak argumennya.
Tapi, di sisi lain, Ibn Arabi berhasil menjadikan teks-teks Arab (yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis) seperti bola yang dia mainkan terus-menerus. Kata-kata bahasa Arab memang mendukung cara berfikir seperti ini. “Liarnya” Ibn Arabi (dalam menggunakan teks-teks) itu terakomodasi karena dia menguasai bahasa Arab bahkan dia menemukan ‘dzauq araby’ (rasa bahasa Arab asli) di dalam mengekspresikan gagasan-gagasannya. Dan yang lebih utama, seperti kata Toshihiko Izutsu, bahasa Al-Qur’an itu sudah merasuki tiap pengalaman batin Ibn Arabi.
Seperti diketahui, bahasa Arab merupakan bahasa ‘huruf’ dan bukan bahasa ‘kata’. Satu huruf dalam bahasa Arab bisa memiliki banyak makna. Oleh sebab itu, dalam Alqur’an, Allah memulai dengan kata ‘ba’ dalam bismillah. Jika merujuk pada kamus, seperti ‘Lisanul Arab’ atau ‘Majma’ Al Ma’any’, kita akan menemukan bahwa huruf ‘ba’ itu saja memiliki banyak makna. Dan Ibn Arabi sangat pandai bermain-main dengan kelenturan kata sehingga berujung pada kesimpulan—yang bisa dikatakan—bersifat paradoksal. Jadi dia memulai dari seorang yang tampak literalis tapi berujung dengan seoarang yang non-literalis bahkan bisa dikatakan anti terhadap teks.
Fenomena ini tampaknya timbul dari seorang ahli suluk yang telah menyatu padu dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam pengantar terjemahan buku Taoisme-Sufisme karya Toshihiko Izutsu (Mizan, 2015) dikatakan bahwa Ibn Arabi sebenarnya menceburkan dirinya dalam pemahaman Al-Qur’an—yang ‘beyond’ imajinasi manusia. Oleh sebab itu, siapapun bisa “menggunakan” Al-Qur’an; mulai dari kelompok garis keras seperti ISIS hingga kaum Sufi; mulai dari filsuf dan sarjana zaman dahulu hingga sekarang. Hampir tidak ada orang yang tidak bisa memanfaatkan kandungan Al-Qur’an. Mau digunakan sebagai jalan kesesatan “hujjatun ‘alaih” atau jalan kebenaran “hujjatun lahu”. Keduanya sama-sama bisa menggunakan Al-Qur’an. Dan Ibn Arabi memahami “kemahakayaan” sekaligus “keliaran” Al-Quran itu.
Ibn Arabi menurunkan pengalaman ber-agama-nya dalam teks bahasa Arab yang sangat kaya dan lentur itu. Hal ini juga diakui oleh Toshihiko (yang berpendapat) bahwa teks-teks Ibn Arabi dibuat sedemikian rupa mirip isyarat-isyarat bagi mereka yang ingin membaca di balik teks. Penerjemahan buku ini (Taoisme-Sufisme) juga merujuk pada beberapa teks yang dikutip oleh Toshihiko dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa aslinya. Di sisi ini, teks asli Ibn Arabi memungkinkan untuk “digelandang” ke arah yang berbeda oleh orang yang berbeda. Bahkan, orang bisa melihat kemungkinan tabrakan antara terjemahan Toshihiko dari teks-teks asli Ibn Arabi dalam bahasa Arab dengan terjemahan orang lain.
Oleh sebab itu, tidak salah apabila orang membaca Ibn Arabi merasa bahwa semua agama sama. Atau merasa, hanya agama Islam satu-satunya agama yang benar. Keduanya sama-sama valid. Apa pasal? Karena teks Ibn Arabi berusaha sedapat mungkin mengikuti teks-teks Al-Qur’an yang juga memungkinkan kesalahpahan yang sama. Ini bukan karena niat buruk si penafsir melainkan karena kekayakan makna yang terkandung dalam teks tersebut.
Seperti sudah diketahui oleh para peneliti, ketika menyebut dirinya dengan ‘‘Ibn Arabi”, sebenarnya dia ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya merupakan orang yang menjiwai ‘Arab’. Namun, perlu diketahui, bahwa Arab itu bukan rujukan etnik. Tidak sedikit orang mengira bahwa Arab itu etnisitas dan itu anggapan yang salah. Kajian-kajian kontemporer menunjukkan bahwa Arab itu adalah bahasa. Dan makna Arab sebagai bahasa itulah dirujuk oleh Al-Qur’an saat menyebut dirinya sebagai “Arab”.
Atas dasar itu, ada bangsa yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan etnisitas Arab tapi kini justru menjadi salah satu tonggak Arab seperti bangsa Mesir. Mesir sebenarnya bangsa Afrika dan tidak memiliki hubungan geonologis dengan Arab. Namun, kini Mesir bisa dikatakan sebagai salah satu produsen sastra Arab yang terbesar di dunia Islam. Sampai ada lelucon yang mengatakan: Mesir menulis, Lebanon mencetak, dan Irak membaca.
Demikianlah watak bahasa Arab yang bisa dipakai siapa saja. Sampai sekarang, meskipun telah luntur, tradisi menulis dengan teks Arab masih bisa kita lihat di sejumlah pesantren. Inilah yang dimaksud dengan ‘arabiyun mubin’ di dalam Al-Qur’an. Ayat ini tidak merujuk pada etnik karena di sisi lain, Al-Qur’an juga mengecam Arab sebagai etnik. Ibn Arabi menggunakan bahasa yang sangat lentur ini karena bahasa Arab mungkin dianggap berbeda dengan bahasa lain. Di antara perbedaannya ialah bahasa Arab itu tidak diproduksi oleh kaumnya. Orang Arab tidak memproduksi bahasa Arab. Mereka hanya memakai bahasa Arab. Dan menariknya. selain bangsa Mesir, bangsa Persia juga sangat berjasa dalam mengembangkan bahasa Arab ini, melalui tokoh semisal Sibawayh.
Untuk mengenal cara berpikir Ibn Arabi, perlu juga diketahui bahwa orang Arab secara historis tidak memiliki budaya tapi hanya memproduksi syair dan untaian kata. Mereka tidak memiliki karya tulis, (hasil karya) pemikiran, sedemikian sehingga Allah menyebut mereka sebagai “ummiyiin” atau orang-orang yang buta huruf. Oleh sebab itu, bahasa yang mereka pakai merupakan bahasa yang murni (asli) tanpa intervensi karakteristik budaya bangsa-bangsa pemakainya. Selain pengguna bahasa Arab terdiri dari berbagai bangsa, kita ketahui juga bahwa di Madinah (Yastrib) pada masa itu terdapat bangsa Yahudi, Afrika, berbagai suku Arab, dan sebagainya.
Dengan hampir tidak adanya budaya dari beragam bangsa itu yang mempengaruhi makna atau etimologi bahasa Arab, maka ia merupakan bahasa murni yang bisa dipakai oleh siapa saja. Mengapa qari (pembaca Alqur’an) Indonesia suaranya bisa sama dengan “makharij” orang yang lahir di tanah Arab? Inilah kekhasan dan keluarbiasaan bahasa Arab. Jadi bahasa Arab itu sendiri dalam dirinya – ketika Allah pilih sebagai bahasa Al-Qur’an – adalah suatu mukjizat. Mungkin inilah salah satu makna ayat yang berbunyi: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran (dan pengingatan), maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”(QS. 54: 17).
Begitu mudahnya orang bisa menyebut, mengungkap, menghafal, dan memahami kalimat-kalimat Arab di dalam Al-Quran ini sedemikian sehingga orang dari Sulawesi Barat bisa mengucapkan sama persis seperti orang di tanah Arab yang jaraknya ribuan kilometer. Ketika orang yang bukan dari tanah Arab membaca Al-Quran, ia bisa seperti orang Arab. Demikianlah kekuatan bahasa Arab.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahasa Arab itu terdiri dari huruf-huruf. Dalam kaidah bahasa Arab yang mengatakan “ziadatun mabani tadullu ala ziadatin ma’ani” yang berarti huruf satu ditambah huruf lainnya akan menambah makna dari huruf tersebut. Implikasinya, huruf ‘ba’ memiliki makna ‘dengan’, atau bisa berarti ‘bersama’, ‘di dalam’, ‘disebabkan’ dan lain-lain. Ketika ditambah ‘ismullah’ dan menjadi ‘bismillah’, bisa dibayangkan berapa makna yang timbul dari kata itu. Dan kata ‘ism’ itu sendiri ada ‘musytak’-nya, masdar-nya, bisa di-saraf-kan dan bahasa inilah yang dipakai secara imajinatif oleh Ibn Arabi. Nyaris mustahil bagi orang yang ingin memahami Ibn Arabi tapi tidak menggunakan pintu bahasa Arab ini.
Toshihiko Izutsu memiliki kepakaran dalam bidang “permainan bahasa” ala Ibn Arabi. Bisa dikatakan, Toshihiko memiliki kepekaan semantik dan cita rasa bahasa yang baik. Karenanya, dia mulai mempresentasikan pemikiran Ibn Arabi dengan mengatakan bahwa, bagi Ibn Arabi, apapun yang kita lihat, rasakan, dengarkan, dan semua kita yang saling bertatapan saat ini adalah “mimpi”. Tentu, sebagai seorang literalis, Ibn Arabi berpijak pada hadis ini: “Annasu niyamun idza maatuu intabahuu” yang berarti semua manusia tidur, barulah terbangun setelah mereka mati.
Pintu masuk yang dipilih oleh Toshihiko ini memang ‘canggih’ dan dahsyat. Dari sekian banyak pengalaman, ternyata ia memilih pintu masuk ini. Dan ini termasuk salah satu sisi kreatifnya. Kemudian kata Ibn Arabi, karena kita ini mimpi, ia perlu ditakwil. Apa arti ditakwil? Artinya dicari makna sesungguhnya. Seperti kita yang saling bertatapan dan saling berdialog (dalam sebuah forum pertemuan atau kelas), menurut Ibn Arabi, semua ini perlu ditakwil agar kita menemukan makna sebenarnya di alam yang sesungguhnya.
Selanjutnya Ibn Arabi mulai mendedah alam mimpi itu dengan berbagai contoh. Misalnya, Ibn Arabi mengatakan bahwa Nabi Yusuf tidak bisa dibandingkan dengan Nabi Muhammad. Hal ini disebabkan Nabi Muhammad sejak awal telah mengatakan bahwa manusia ini tertidur dan sedang bermimpi. Mimpinya pun bermacam-macam. Ada yang bermimpi (sedang) jadi presiden, meski kelihatannya jadi presiden. Namun, kata Ibn Arabi, mimpi kita ini bukanlah mimpi palsu, ilusi atau tanpa makna. Ini adalah, menurut Ibn Arabi, mimpi di dalam mimpi. Siapakah yang mimpinya di dalam mimpi? Orang yang mimpinya benar seperti para nabi yang melihat ‘ru’yah shodiqah’ maupun yang mimpinya semu dan tidak bermakna seperti kaum materialis.
Kembali ke soal Nabi Yusuf. Ibn Arabi berkata bahwa Nabi Yusuf sejak muda bermimpi melihat “ahada asyara kaukaban wa syamsa wal qamara raitu hum li saajidiin,” (sebelas bintang, bulan, dan matahari bersujud kepadanya. – Q.S. Yusuf; 5) . Lalu Ayahnya meminta beliau merahasiakan mimpi tersebut, agar saudara-saudaranya tidak berbuat makar kepadanya.
Menurut Ibn Arabi, maqam (kedudukan spiritual) Nabi Yusuf di bawah Nabi Muhammad. Mengapa? Karena Nabi Yusuf masih ingin mengetahui mimpi di dalam mimpi. Sementara Nabi Muhammad telah mengatakan bahwa semua ini adalah mimpi. Dan takwil mimpi kita akan terungkap setelah kita mati, yakni ketika kita semua terbangun ke alam yang lain.
Nah, karena kita saat ini sedang mimpi, menurut Ibn Arabi, ada dua cara agar kita terbangun dari mimpi kita. Kedua cara itu, meminjam istilah filsafat, adalah cara ‘epistemologis’ dan ‘ontologis’.
Cara ontologis bangun dari mimpi adalah dengan ‘ifna ad-zat’ (penghilangan ego). Yaitu merontokkan diri di hadapan Sang Maha Hadir. Dan dengan mem-fana-kan atau menghilangkan ego, sesungguhnya kita telah mengoyak hijab tidur di alam biologis ini. Kita telah membangunkan diri hakiki kita. Salah satu yang bisa kita pahami dari fana ialah sirna atau binasa. Lalu bagaimana metode ‘pembinasaan’ ego itu?
Ibn Arabi banyak sekali berbicara tentang fana. Mungkin di antara yang cukup mempengaruhi Ibn Arabi dalam soal terminologi fana ini adalah gurunya sendiri, Syekh Abu Madyan. Orang-orang bisa melihat Ibn Arabi dalam melakukan metode ontologis dari memandang Ibn Arabi sebagai orang yang sangat syar’i. Maksudnya, dia menjalankan syariat sangat teguh. Sedemikian sehingga orang ini dikenal dalam literatur hagiografisnya sebagai seorang yang sangat kecil tubuhnya, kurus, dan pucat wajahnya. Jika kita melihat langsung di masa hidupnya, mungkin kita tidak mengenali bahwa inilah orang yang memiliki pemikiran hebat karena penampilannya yang kusam, kurus, kering, pucat disebabkan seringnya puasa dan melancong.
Bagi Ibn Arabi, ketika orang melepaskan unsur-unsur biologisnya, ketika itu pula orang bangun dari tidur biologisnya. Ia terjaga ke suatu kesadaran spiritual. Ini salah satu cara dan cara lainnya, menurut Ibn Arabi, meninggalkan nalar. Meninggalkan nalar di sini bukan berarti menjadi orang yang irasional. Tetapi membatasi rasionalitas dan menerima apa yang datang dari Allah sebagai pengetahuan sepenuh hati.
Perlu diingat, (yang dimaksud ialah) meninggalkan interpretasi atau analisis atas pengetahuan yang datang – biasa ia menyebutnya sebagai ‘waridat’ atau isyarat yang datang padanya. Karena menurutnya, (proses) nalar seperti inilah yang membuat manusia tertidur di alam nalarnya. Nalar ini membawa kita ke interpretasi sehari-hari di alam mimpi dan sudah terbiasakan seperti itu. Sedemikian terbiasanya nalar ini mengikuti panca indra alam mimpi itu, maka nalar ini perlu ditinggalkan dulu untuk dapat bangun dari tidur biologis.
Ibn Arabi juga mengatakan bahwa akal manusia berderajat sebagaimana wujud manusia. Akal manusia biologis akan mengikuti panca indranya dan karena panca indra merupakan alat yang terbatas maka akal ikut terbatasi. Oleh sebab itu, menurut Ibn Arabi, di alam mimpi ini, orang harus sering menggunakan imajinasinya (quwwah khayaliyyah). []
Salah satu cara menarik Ibn Arabi dalam memaparkan pemikirannya ialah dengan menarik kita ke dalam perasaan atau pengalamannya. Dia ingin mengatakan kepada kita bahwa meskipun alam wujud ini bertingkat-tingkat, namun bentuknya bukan seperti bangunan bertingkat yang bersifat ‘spasiotemporal’. Yang terjadi ialah satu tingkatan selalu ada bersamaan dengan tingkatan lainnya. Hanya saja, berbagai tingkatan itu layaknya kelap kelip cahaya yang ketika di sini mati, di sana tetap menyala dan demikian pula sebalinya. Lampu yang jadi media cahaya di tiap tingkatan pun selalu tersedia meski tidak selalu terpakai.
Sebagai ilustrasi, Ibn Arabi membawakan pada kita kisah Nabi Idris dan Nabi Ilyas. Menurutnya, kedua nabi ini jatidirinya sama meski punya dua sosok yang berbeda. Nabi Idris mendaki alam malakut dan sesampainya di tempat tertinggi, Allah mengatakan pada nabi yang diutus sebelum Nabi Nuh itu untuk turun lagi dan mengulang secara terbalik. Allah tidak hanya menyuruhnya turun ke alam manusia, tapi memintanya turun hingga ke alam paling bawah dan hidup layaknya benda-benda mineral. Untuk itu, Dia mengutus Nabi Idris dalam sosok Nabi Ilyas.
Nabi Ilyas, menurut Ibn Arabi, merupakan nabi yang mengaktualisasikan semua potensi biologisnya sampai dia turun dari alam binatang menuju ke alam bebatuan dan mineral, lalu mengaktualisasikan seluruh potensi mineralnya hingga turun lagi ke alam yang paling rendah. Kata Ibn Arabi, di alam yang paling rendah ini dia menemukan hakikat yang sama yang dia temukan di alam yang tinggi (malakut). Karena kedua alam itu bertemu kembali, kedua alam itu adalah dua dimensi dari Wajah Al-Haq yang berbeda.
Perjalanan kita, menurut Ibn Arabi, dari alam dzarra, rahim, dan seterusnya adalah perjalanan yang tiada henti. Manusia saja yang mengira bahwa perjalanannya akan berhenti. Padahal Allah tidak menghentikan apapun. Mustahil bagi-Nya menghentikan sesuatu. Toh, Dia Maha Kaya dan tidak takut kehilangan apa-apa. Allah Maha Pemurah lagi Maha Pemberi tidak mungkin menghentikan kemurahan dan pemberian. Dia akan memberi semua sarana bagi tiap makhluk untuk terus menyempurna. Dan inilah yang dimaksud dengan wahdatul wujud: penyatuan wujud dalam berbagai tingkatan, derajat dan dimensi yang berbeda-beda.
Wahdatul wujud berarti wujud yang berderajat atau bertingkat. Tapi dalam setiap tingkatannya, ada kesadaran yang berbeda-beda. Misalnya, ketika kita ada pada kesadaran indrawi dan biologis, maka kesadaran kita pada tingkatan wujud lainnya untuk sementara ‘off’. Begitu pula dengan tingkat wujud yang lain lagi juga ‘off’. Nah, saat kita ‘off” atau mati dari kesadaran indrawi dan biologis, barulah kita ‘on’ di kesadaran tingkatan lain. Begitu kita mati dari kesadaran indrawi ini, maka kita memasuki kesadaran alam selanjutnya. Sesaat setelah tingkatan ini ‘off’, kesadaran pada tingkatan lainnya akan ‘on’.
Namun, menurut Ibn Arabi, ‘off’ bukan berarti tidak ada, atau baru diciptakan. Hal ini karena prinsip Ibn Arabi bukan prinsip penciptaan, tapi prinsip penyadaran dan kebangkitan sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi: “Semua manusia tidur. Setelah mati (off) barulah mereka terbangun.”
Pada titik ini, pandangan Ibn Arabi berbedan dengan para teolog. Para teolog berpijak pada ‘creatio ex nihilo’ atau ‘penciptaan dari ketiadaan’. Kata Ibn Arabi, mengapa Allah (harus) mengadakan dan menciptakan sesuatu? Bukankah Allah selalu Ada?! Dan karena Dia selalu Ada, maka tentu tajalli dan penampakan-Nya selalu ada. Dan Allah memberikan tajalli kepada siapa saja, dan kepada seluruh titik alam ini dengan pancaran cahaya-Nya, bayang-bayang eksistensi-Nya, dengan kehendak-Nya, tanpa batas.
Jadi, penciptaan segala sesuatu itu bukan dari suatu ketiadaan, karena ketiadaan itu bukan sesuatu untuk dapat menjadi sumber bagi penciptaan. Atau bahwa Dia menciptakan satu tingkatan lalu setelah sekian lama menciptakan tingkatan lain lagi. Mengapa (harus) menunggu? Kesadaran manusia-lah yang melihat demikian, lantaran -“on-off”-kesadarannya. Manusia mimpi memasuk satu tingkatan dan kesadarannya di tingkatan lain “off” sampai dia “off” (baca: mati) dari tingkatan yang pertama dan “on” di tingkatan berikutnya dan begitu seterusnya.
Menariknya, dengan pemaparannya ini, Ibn Arabi telah ‘menghangatkan’ cara berfikir filsafat yang cenderung kering dan dingin. Bahkan, dia telah ‘mendidihkan’ filsafat hingga bergolak. Sedemikian sehingga orang yang memiliki latar belakang filsafat saat membaca Ibn Arabi akan menemukan suatu pergolakan, pendidihan, dan penghangatan. Ketika filsuf berbicara tentang konsep-konsep universal yang seolah tidak ada wujudnya di alam ini, Ibn Arabi mampu mengamati dan menafsirkan isyarat-isyarat yang detail dan kecil di alam ini. Termasuk mengamati kisah-kisah hagiografis para nabi.
Oleh sebab itu, dalam ontobiografinya, Ibn Arabi mengisahkan perjalanan hidupnya sejak kecil dengan detail, termasuk pertemuannya dengan tokoh lain seperti Ibn Rusyd, bagaimana dia menghafal Al-Qur’an, berjalan dari Andalusia dan sebagainya yang semuanya diingat dengan baik. Hal ini berbeda dengan filsuf yang cenderung tidak suka dengan hal-hal yang detail atau partikular. Karena kelebihan ini, para filsuf Islam juga memiliki ketertarikan pada pemikiran Ibn Arabi.
Boleh dikatakan, Ibn Arabi turut mempengaruhi perjalanan filsafat Islam sebagaimana dia mempengaruhi perjalanan tasawuf dalam Islam. Hal ini tidak lepas dari kekayaan dan kehangatan pemikirannya, imajinasinya yang melanglang buana serta ‘eksploitasnya’ yang mendalam dan cantik terhadap Al-Qur’an. Termasuk bagaimana dia menggunakan keunggulan bahasa Al-Qur’an ini dalam membuka cakrawala pemikiran Islam.
Sebagai contoh, dalam tema tanzih dan tasybih, biasanya orang mengatakan ‘subhanallah’ diartikan Allah itu tidak menyerupai (tasybih) makhluk. Kemudian kita nafikan (tanzih) keserupaan antara Allah dan makhluk-Nya. Sementara kata Ibn Arabi, ketika Allah menyatakan ‘laisa kamitslihi syaiun wa hua as-sami’ul bashir’, itu berarti; ‘tiada keserupaan yang menyerupai-Nya,’ pada saat yang sama Dia menyatakan; ‘dan Dia Maha Mendengar dan Melihat’.
Bukankah mendengar dan melihat juga pekerjaan makhluk? Tentu tidak serupa dengan dengan makhluk-Nya tapi (tetap) ada penyerupaan. Oleh sebab itu, ketika berbicara tentang Nabi Nuh dan kaumnya, Ibn Arabi mengatakan bahwa Nabi Nuh dan kaumnya saling bertentangan. Kaumnya menyembah berhala (tasybih) sedang Nabi Nuh ingin menafikan berhala (tanzih). Menurut Ibn Arabi, ini adalah mazhab Furqan atau memisahkan antara tasybih dan tanzih. Yang benar, bagi Ibn Arabi, ialah mazhab Qur’an. Arti Qur’an adalah ‘al-jam’u bayna al-tasybih wa al-tanzih’ (mengumpulkan antara tasybih dan tanzih).
Kembali kepada Nabi Nuh. Kata Ibn Arabi, sekiranya Nabi Nuh menganut mazhab Qur’an maka beliau tidak akan menafikan umatnya. Dan inilah (keunggulan) mazhab Rasulullah Saw. Mazhab Rasulullah Saw tidak menafikan penyembah berhala apalagi menghancurkannya. Beliau menggabungkan semua dalam rahmat dan kasih sayang. Bukankah orang yang menyembah berhala juga bermaksud menyembah Allah Swt? Jadi, beliau bisa menerima sekalipun berhala-berhala itu tidak boleh di tempat-tempat tertentu dimana tanzih harus dilakukan. []
Sumber: http://islamindonesia.id