“Muqaddimah Ibn Khaldun, merupakan salah satu karya paling otentik yang pernah dihasilkan oleh seorang ilmuwan.”
—Ο—
Salah satu ilmuwan Muslim paling cemerlang pada abad pertengahan adalah seorang sejarawan yang dikenal dengan nama Ibn Khaldun. Kitab al-‘Ibar, karya sejarahnya tentang bangsa Arab dan Berber, serta karya pengantarnya, Muqaddimah, telah menoreh sumbangan besar bagi ilmu-ilmu sosial. Kitab al-‘Ibar, berisi laporan tentang kejadian-kejadian sejarah, sedang Muqaddimah, mendiskusikan sebab-sebab pokok dan makna batiniah (inner meaning) dari sejarah.[1] Menurut Eamon Gaeron, Muqaddimah Ibn Khaldun, merupakan sebuah karya yang paling otentik yang pernah dihasilkan oleh seorang ilmuwan. Karya ini tidak hanya menandai titik balik bagi perkembangan ilmu sosial, politik, dan sejarah di Timur Tengah, tapi juga perkembangan ilmu sosial di dunia.[2]
Menurut Syed Farid Alatas dalam bukunya tentang Ibn Khaldun, bila disederhanakan, salah satu terobosan paling penting Ibn Khaldun adalah keberhasilannya menggeser paradigma kajian tentang Negara dan masyarakat – dari sebelumnya hanya menuturkan secara normatif dan cenderung memaksakan ke informasi yang sebagaimana seharusnya (de solen) – menjadi kajian yang bersifat positif, lebih kritis, sehingga tumpukan infomasi mencapai skema peristiwa sebagaimana adanya (de sein).[3]
Menurut Ibn Khaldun, sejarah merupakan disiplin yang memiliki demikian banyak pendekatan.[4] Seperti sebuah seni, sejarah dapat dituturkan dengan barbagai cara. Ini dikarenakan setiap peristiwa sejarah memuat begitu banyak infomasi yang membutuhkan disiplin lainnya untuk memahaminya. Dari sejarah, kita bisa memahami kompleksitas aspek material hingga nuansa batiniah peradaban-peradaban terdahulu, pemikiran-pemikiran para raja, dan sebab-sebab kebangkitan dan kemundurannya.
Tapi sayangnya, sejarawan kerap menulis narasi secara normatif dan kurang kritis. Sehingga semua informasi, baik yang benar atau salah, bercampur baur dan tak jarang kontradiktif. Hal ini mengakibatkan konstruksi sebuah peristiwa sejarah menjadi bias, tak ubahnya seperti sebuah dongeng. Sehingga masyakarat yang membacanya tidak bisa memetik hikmah, karena informasi-informasi yang disajikan berjarak terlalu jauh dari rasionalitas mereka.
Persoalannya, bagi kaum Muslimin, sejarah merupakan salah satu aspek yang fundamental dalam agama mereka. Karena dari disinilah mereka dapat terhubung langsung dengan Rasulullah Saw yang terpaut ratusan tahun dari mereka. Dari sejarah pula, Al-Quran bisa dipahami secara kontekstual. Disinilah faktor pembeda antara karya Ibn Khaldun dengan para sejarawan sebelumnya. Di dalam Muqaddimah, ia menukik langsung ke dasar-dasar pemahaman para sejarawan. Di sinilah ia mendekonstruksi metode lama penuturan sejarah, dan membangun secara orisinil kerangka analisa baru tentang bagaimana memahami sebuah kejadian, informasi dan sejarah.
Nalar kritis Ibn Khaldun sudah terlihat sejak ia mulia meragukan urutan silsilah keluarganya. Dalam autobiografinya, Ibn Khaldun mengaku bernama ‘Abd-al-Rahman bin Muhammad bin Muhammad bin al-Hasan bin Muhammad bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abd Rahman bin Khaldun. Tapi ia meragukan sendiri urutan nasabnya, yang baginya terlalu pendek. Menurutnya, Khaldun pertama, yang juga pendiri Banu Khaldun, datang ke Andalusia pada masa penaklukan Arab. Itu terjadi pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Sedang Ibn Khaldun sendiri lahir pada tahun 1332 M. Ini berarti ia dengan Khaldun yang pertama terpaut sejauh tujuh abad. Bila diasumsikan dalam 1 abad terdapat tiga generasi, maka seharusnya terdapat setidaknya 20 rantai nasab di atas Ibn Khaldun, bukan sembilan sebagaimana Ibn Khaldun sendiri sebutkan.
Menurut Syed Farid Alatas, yang mengutip dari buku autobiografi Ibn Khaldun, bahwa Banu Khaldun bila dirunut asal-usulnya dari Andalusia. Bila dirunut lebih ke atas, Khaldun merupakan keturunan Yaman dari Hadramaut. Menurut seorang ahli silsilah, yang dikutip oleh Khaldun sendiri, garis nasab Khaldun pertama ini bersambung dengan Wa’il bin Hujr, seorang sahabat Rasul Saw; yaitu Khaldun bin ‘Uthman bin Hani bin al-Khattab bin Kurayb ibnu Ma’dikarib bin al-Harith bin Wa’il bin Hujr.[5]
Di kalangan politisi Bani Umayyah di Andalusia, keluarga Khaldun adalah kelompok yang cukup terpandang. Mereka menempati posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Ketika Raja Ferninand III menetapkan kebijakan Reconquista pada akhir pertengahan abad ke 11 M, keluarga ini pindah ke Tunisia. Ayahnya Ibn Khaldun, Muhammad Abu Bakr, mematahkan tradisi keluarga dengan keluar dari dunia politik dan melanjutkan kehidupannya sebagai peneliti hingga wafatnya pada masa wabah sampar melanda hampir seluruh kawansan Afrika Utara, termasuk Tunisia pada tahun 1348 M.
Ibn Khaldun lahir di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H atau 1332 M. Ketika wabah sampar melumat anggota keluarganya, Ibn Khaldun masih berusia 16 tahun. Pada usia yang sangat belia tersebut, beliau sudah memegang Ijazah dan lisensi untuk mengajar Bahasa dan hukum, yang ia dapatkan langsung dari Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Jabir bin Sultan al-Qaisi al-Wadiyashi, seorang pemegang otoritas hadis terbesar di Tunisia.[6] (AL)
Bersambung ke:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Kata Pengantar Syed Farid Alatas, dalam “Ibn Khaldun; Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi”, Bandung, Mizan, 2013.
[2] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, USA, The Teaching Company, 2016, Hal. 168
[3] Lihat, Syed Farid Alatas, Op Cit
[4] Abd Ar Rahman bin Muhammed ibn Khaldun, The Muqaddimah, Translated by Franz Rosenthal
[5] Nama Khaldun sendiri diambil dari nama leluhur mereka yang bernama Khaldun. Ia adalah salah satu orang pertama yang menjejakkan kakinya di Andalusia pada penaklukan bangsa Arab. Pada era pemerintahan Raja Ferdinand III, putra Alfonso, Raja Galicia. Pada masa Reconquista, Keluarga Khaldun ini pindah ke Tunisia. Lihat, Syed Farid Alatas, Op Cit. hal. 2
[6] Ibid, hal. 3