“Transmisi pengetahuan melalui setumpuk buku bacaan tidaklah memadai, bahkan bisa berdampak negatif. Orang tetap perlu melakukan perjalanan, menemui para pakar dan belajar di bawah petunjuk mereka.”
–O–
Menurut Syed Farid Alatas, secara garis besar babak kehidupan Ibn Khaldun setidaknya dapat dibagi tiga babak. Babak pertama, masa kecilnya dan pendidikannya, berlangsung selama 20 tahun. Babak kedua, kira-kira selama 23 tahun, merupakan masa kelanjutan belajarnya dan aktifitasnya di ranah politik. Babak ketiga, selama 31 tahun terakhirnya, ia bekerja sebagai seorang ilmuwan, guru, dan hakim. Ia menjalani dua babak pertama di Maghribi dan babak ketiganya, di antara Maghribi dan Mesir. Masih menurut Syed Farid Alatas, banyak keadaan sosial dalam pemikiran Ibn Khaldun mungkin dapat dipahami dari periode ketika ia aktif di bidang politik di berbagai penguasa dan Negara di Afrika Utara dan Spanyol.[1]
Babak pertama dalam kehidupan Ibn Khaldun, sebenarnya diakhiri oleh bencana alam yang tidak diduga. Wabah sampar yang menyapu hampir seluruh wilayah di kawasan Afrika Utara, telah menjadikan Ibn Khaldun yatim. Tidak hanya ayah dan ibunya, wabah tersebut juga merenggut guru-guru kesayangannya. Praktis pada usia yang sangat dini, Ibn Khaldun kehilangan semua yang dicintainya, mulai dari keluarga, hingga wahana belajar, tempat ia memahat pondasi intelektualnya. Meski demikian, kecakapannya di usia tersebut, sudah cukup menjadikannya salah satu sosok yang paling diperhitungkan oleh pemerintah setempat kala itu. Dan pada usia 20 tahunan, ia sudah bertindak sebagai sekretaris Sultan di Tunisia dan Fez.[2] Pada titik tertentu, wabah ini sudah berhasil membalikkan suasana sosial masyarakat di hampir seluruh kawasan Afrika Utara kala itu.
Di antara sekian banyak guru yang paling memberikan pengaruh besar pada perkembangan intelektual Ibn Khaldun, adalah Muhammad bin Ibrahim al-Abili. Beliau dikenal sebagai guru besar dari ilmu-ilmu rasional. Al-Abili yang menumbuhkan kesadaran dalam diri Ibn Khaldun, bahwa sangat penting bagi setiap pelajar meraup suatu ilmu langsung dari sumbernya. Transmisi pengetahuan melalui setumpuk buku bacaan tidaklah memadai, bahkan bisa berdampak negatif. Orang tetap perlu melakukan perjalanan, menemui para pakar dan belajar di bawah petunjuk mereka. Kelak apa yang diajarkan oleh al-Abili sangat mempengaruhi Ibn Khaldun dalam menulis Muqaddimah-nya.[3]
Ketika wabah sampar datang, al-Abili meninggalkan Tunisia, dan bergabung dengan Sultan Abu Inan penguasa Fez. Kepergian guru kesayangannya ini membuatnya kehilangan gairah. Setelah wabah sampar merenggut guru-gurunya, Ibn Khaldun benar-benar merasa yatim secara intektual. Meski saat itu ia dipercaya menjabat sebagai sekretaris oleh Sultan Abu Ishaq, penguasa Tunisia, namun ia merindukan suasana pendidikan yang bergairah seperti sebelum wabah menyapu semuanya. Dan yang terpenting, ia tidak menemukan pesona intelektual sebagaimana yang dimiliki oleh al-Abili. Maka setelah membulatkan tekad, ia memutuskan untuk meninggalkan Tunisia dan bergabung bersama al-Abili di Fez. Di tempat inilah ia memulai babak kedua kehidupannya.
Sebagai sosok yang berbakat, tidak sulit bagi Ibn Khaldun mendapat tempat di Istana. Tidak butuh waktu lama, ia langsung diangkat menjadi penasehat ilmiah di Istana Fez. Tapi yang menarik, berdasarkan pengakuan Ibn Khaldun sendiri, jabatan-jabatan tersebut sebenarnya tidaklah menarik baginya. Yang membuatnya sangat senang berada di Fez adalah ia sering bertemu dengan ilmuwan-ilmuwan Maghribi dan Andalusia yang berkunjung ke Istana. Hal ini menunjukkan, bahwa meskipun secara turun temurun keluarganya mewarisi tradisi sebagai politisi, tapi di dalam darah Ibn Khaldun, sebenarnya mengalir deras darah seorang ilmuwan.
Pada kenyataannya, karir politik Ibn Khaldun tidak selalu mulus. Ia telibat dalam terbulensi politik kekuasaan di Fez, hingga sempat merasakan dinginnya hotel prodeo selama dua tahun. Sebagai sosok yang berada di lingkar dalam kekuasaan, hampir tidak memungkin bagi siapapun untuk melepaskan diri dari gejolak politik yang demikian dinamis, termasuk Ibn Khaldun. Ia beberapa kali dicap melakukan tindakan subversif, sehingga harus berhadapan dengan kekuasaannya yang sah. Meski begitu, dalam fluktuasi situasi politik tersebut, Ibn Khaldun selalu memiliki tempat yang penting. Jabatan terakhir yang diembannya di Fez adalah mazalim, sebuah jabatan kehakiman yang berurusan dengan pengaduan kejahatan yang tidak tertangani oleh syariah. Menurut Syed Farid Alatas, meski Ibn Khaldun menjalankan tugasnya dengan sangat baik, namun ia tidak menjabat lama dalam posisi tersebut. Wafatnya Sultan Abu Salim, menyebabkan terjadinya perubahan situasi politik yang tidak menentu, sehingga Ibn Khaldun memutuskan hijrah ke Granada.[4]
Di Granada, Ibn Khaldun disambut baik oleh penguasa setempat. Hingga pada tahun 765 H/1362 M, ia ditugasi oleh Sultan sebagai duta perundingan dengan Raja Kristen di Castille, Seville, yang dijuluki Pedro The Crule. Dalam peristiwa perundingan inilah, untuk pertama kalinya Ibn Khaldun menuliskan silsilah keluarganya. Menyadari bahwa sosok dihadapannya adalah keturunan dari keluarga yang pernah sangat berpengaruh di wilayah kekuasaanya, Pedro memperlakukan Ibn Khaldun dengan baik. Tapi semua itu tidak berlangsung lama. Lagi-lagi, turbulensi politik terjadi dan membuat Ibn Khaldun terombang-ambing dalam kemelut persaingan kekuasaan yang tidak menentu. Ia sempat lari ke Fez, kemudian ke Andalusia, dan akhirnya ia memutuskan untuk berhenti total dari dunia politik. Ibn Khaldun dan keluarganya lalu memilih tinggal di bawah kekuasaan Banu Arif, yang menampung mereka di sebuah benteng, Qal’at Ibn Salama.[5]
Benteng Qal’at Ibn Salama merupakan suatu tempat yang terisolir. Di sinilah ia mengawali babak ketiga kehidupannya, dan mulai menulis magnum opusnya, Muqaddimah. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Syed Farid Alatas, dalam “Ibn Khaldun; Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi”, Bandung, Mizan, 2013, hal. 17
[2] Lihat, The Rise And Fall Of Empires: Ibn Khaldun’s Theory Of Social Development, https://qcurtius.com/2015/05/08/the-rise-and-fall-of-empires-ibn-khalduns-theory-of-social-development/, diakses 20 Maret 2018
[3] Lihat, Syed Farid Alatas, Op Cit, hal. 18
[4] Ibid, hal. 21
[5] Ibid, hal. 22-23