Ia adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. Dilahirkan di Kordoba tahun 520 H/1126 M di tengah-tengah keluarga yang kaya harta dan ilmu. Bapak dan kakeknya adalah sama-sama memegang jabatan sebagai hakim. Pada tahun yang sama kakeknya yang terkenal meninggal. Ia menempuh pendidikan standard yang yang pertama-tama lebih dikenal oleh para ahli biografi Andalusia sebagai seorang ahli hukum daripada sebagai seorang sarjana atau filosof. Di Kordoba ia tumbuh, dan belajar fikih serta kedokteran.[1]
Bani Rusyd tidak hanya sebuah keluarga yang terkenal dalam bidang hukum, namun mereka juga berkecimpung dalam politik. Lebih daripada itu, dua bidang kegiatan tersebut berhubungan dan berguna untuk kajian yang lebih seksama.
Tatkala pemerintah Al Murawi memantapkan diri mereka sendiri di Spanyol hingga akhir abad ke 5 H/11 M, mereka memberlakukan Spanyol sebagai daerah taklukan. Pasukan Berber telah mengingatkan akan kenangan hal-hal yang tidak mengenakkan bagi Rakyat Kordoba tentang malapetaka yang terjadi pada awal abad dengan berakhirnya kekhalifahan Bani Umayyah. Perasaan-perasaan gelisah yang mencapai puncaknya pada tahun 515 H/1121 M dengan memberontak terhadap ibukota dan kemudian menjatuhkan istana gubernur.[2]
Ketika pemerintah tiba dengan balatentaranya, para pemimpin agama membentuk suatu delegasi di bawah pimpinan Abul Walid Muhammad bin Rusyd, sang kakek dan yang kemudian dijadikan nama panggilan Ibnu Rusyd sebagai seorang filsuf. Delegasi tersebut kemudian mengatur rakyat menjadi tempat pertahanan dan memperoleh pengampunan dari pangeran yang membatasi dirinya untuk menuntut kompensasi atas kehancuran (kerugian) material.[3]
Walaupun sukses sang kakek ini, yang di akui oleh dunia luar, merupakan langkah mundur, dan rakyat memperoleh kedudukan semula sebagai manusia biasa yang telah ditetapkan. Bagaimana pun pemerintag mengakui seorang gubernur yang hanya berasal dari salah seorang pemimpin keluarga Berber, dan sepuluh tahun kemudian anaknya sendirin yang menduduki posisi tersebut. Kebijakan ini seimbang hingga akhir tahun 532 H/1137 M ketika pemerintah Al-Murawi memaksa kembali pendukung-pendukungnya sebagai Qadi (hakim), penghuni jabatan baru sesudahnya tidak ada seorang pun yang jadi selain anak Ibnu Rusyd (kakek), yakni Abul Qasim Ahmad ayah dari Ibnu Rusyd.[4]
Ketika giliran mereka, kaum Al-Muwahidin membuat serangan secara mendadak ke Spanyol (541 H/1145 M), rakyat Kordoba mendapat keuntungan dengan tiadanya gubernur yang meninggalkan kota untuk menumpas para pemberontak. Sesuai dengan daerah-daerah yahng memberontak terhadapnya, maka tanpa ragu-ragu rakyat melawan Qadi yang berafilisasi dengannya.[5]
Oleh karena itu, pada awalnya Bani Rusyd menjalin hubungan secara dekat dengan para penentu kekuasaan dan konsekuensinya harus juga berhubungan dengan ideology Al-Murawi. Abul Walid al-Jadd (sang kakek) meninggalkan beberapa fatwa terkenal yang berhubungan dengan karir politiknya. Salah satunya jelas berkaitan dengan masalah-masalah kecil, akan tetapi fatwa-fatwa yang lainnya berkaitang dengan bagaimana memainkan peran besar dalam propaganda yang membenarkan perang sipil. Hal itu terkait dengan pemakaian kerudung oleh pemerintah Al-Murawi sebagai tanda kesetiaan terhadap asal-usul orang sahara dari gerakan mereka, sementara kaum perempuan pergi dengan tidak berkerudung terus bertahan pada praktik matriarkal Berber, Kakek Ibnu Rusyd menyatakan praktik pertama disahkan selama ia berpijakk pada ketentuan kewajiban-kewajiban keagamaan.[6]
Walaupun keluarganya mempunyai hubungan mencolok dengan rezim Al-Murawi, Ibnu Rusyd secara terbuka bersanding dengan Al-Muwahidin. Tampaknya apa yang kita lihat ini tidak perlu dikaitkan dengan oportunisme, mengingat semenjak awal sikap intelektual kakeknya telah meratakan jalan bagi suatu pergantian. Dalam kenyataannya, menentukan rezim baru bukanlah sebuah langkah yang menguntungkan seperti apa yang telah dijelaskan, paling tidak pada tahap-tahap awal.[7]
Ketika Ibnu Rusyd hendak ke Maroko, yang menjadi rajanya adalah Abu Ya’qub bin Abdul Mu’min dan sebagai menterinya adalah seorang dokter sekaligus filosof, yakni Ibnu Tufayl.[8]
Atas bantuan Ibnu Tufayl, Ibnu Rusyd diperkenalkan kepada sultan Al-Muwahidin. Menurut cerita dari penulis kronik Al-Marrakusyi, berdasarkan laporan para saksi mata seperti Abu Bakar Bundud dan Kordoba dan memberi kata-kata actual Ibnu Rusyd, yang telah dikutip dari semua karya sejarah filsafat arab. Riwayat tersebut menunjukan bahwa bagaimana kata-kata Ibnu Tufayl begitu memuji kawannya dimana Sultan, setelah menanyakan tentang keluarga Ibnu Rusyd, bertanya langsung, “apakah pendapat para filsuf atas langit? Apakah mereka terbuat dari substansi yang abadi ataukah langit itu mempunyai permulaan?”. Ibnu Rusyd dibingungkan dan mengelak dari pertanyaan itu, namun untung kemudian Sultan dan Ibnu Tufayl mulai terlibat dengan diskusi membahas permasalahan yang ada dihadapannya itu dengan penampilan yang amat terpelajar dan kemudian secara berangsur-angsur berhasil menarik Ibnu Rusyd ke dalam diskusi tersebut.[9]
Pada kesempatan lain, Ibnu Tufayl menceritakan rahasia kepadanya suatu refleksi yang ditunjukan oleh seseorang yang dijelaskan tanpa perincian lebih lanjut seperti, The Prince of believers: “akankah Tuhan membantu sehingga kita dapat menemukan seseorang yang hendak membuat suatu komentar atas karya-karya (Aristoteles) itu dan menguraikan makna-maknnya secara jelas sehingga seakan-akan membuatnya dapat dijangkau oleh manusia?”. Merasakan dirinya sendiri terlalu tua dan sibuk untuk bertanggung jawab pada tugas ini, Ibnu Tufayl meminta Ibnu Rusyd untuk melaksanakannya.[10]
Dikisahkan pula bahwa Abu Ya’qub pernah meminta Ibnu Thufail untuk mengomentari buku filsafat karya Aristoteles. Abu Ya’qub ini sangat senang dengan hikmah. Akan tetapi tugas tersebut di limpahkan oleh Ibnu Thufail kepada Ibnu Rusyd. Itulah permulaan Ibnu Rusyd mendekati kalangan istana. Kemudian ia dipercaya sebagai hakim di Sevilla. Setelah Ibnu Thufail wafat, Abu Ya’qub meminta Ibnu Rusyd untuk mengganti kedudukan Ibnu Thufail sebagai menteri. Akan tetapi orang-orang yang iri kepadanya menghasut Abu Ya’qub untuk mengeluarkan keputusan terhadap Ibnu Rusyd. Akhirnya Abu Ya’qub mengeluarkan putusan hukum atas Ibnu Rusyd dan membakar seluruh kitab hasil karyanya.[11]
Selama satu tahun Ibnu Rusyd diasingkan di Lucena sebuah kota kecil di selatan Kordoba. Kendati demikian, Ibnu Rusyd masih tetap produktif membuat karya-karya. Setelah berita tentang pembuangannya, para pejabat di Sevilla berinisiatif untuk membantu Ibnu Rusyd. Setelah dua atau tiga tahun, Sultan yang tidak berani memaksanya kembali ke masyarakat Kordoba lagi, mengundang Ibnu Rusyd ke Istananya yang kemudian keduanya meninggal beberapa bulan kemudian. Ibnu Rusyd menghabiskan sisa hidupnya jauh dari hiruk pikuk politik dan masyarakat Maroko, hingga ia meninggal dunia di hari kamis, 9 Safar 595/ 10 Desember 1198. Beberapa anaknya tetap melanjutkan tradisi keluarga dan pergi menjadi hakim dan dokter pribadi sultan.[12]
Periode intelektual dan karya-karya Ibnu Rusyd dibagi menjadi tiga periode, antara lain:[13]
- Pada periode pertama hingga tahun 567 H/1170 M, Ibnu Rusyd mencurahkan diri terutama terhadap komentar-komentar pendek (jami’), dan dari tahun 564 H/1168 M hingga tahun 571/1175 terhadap komentar-komentar menengah (talkhis). Yang disebut pertama adalah karya-karya pendahuluan yang berisi gambaran umum tentang seni logika, fisika, psikologi, ilmiah dan masalah-masalah yang lain daripada memberikan penjelasan secara khusus tentang bagaimana sebetulnya gambaran ilmu logika, ilmu fisika dan ilmu-ilmu Aristoteles yang lain. Pada karyanya Kuliiyat dan risalah On Theriac dimana Ibnu Rusyd mengambil suatu posisi kunci pada masalah-masalah ilmu pengobatan. Untuk ini ia menambahkan fisika, kosmologi, psikologi dan ilmu-ilmu alam, yang saat itu ditunjukan melalui karya Aristoteles. Karya ini telah dirangkai di dalam komentar-komentar menengah dimana Ibnu Rusyd mengambil jarak antara dirinya dari tokoh seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina.
- Pada periode kedua dari tahun 573 H/1177 M, selama periode transisi dalam kehidupan intelektual Andalusia, karyanya memasuki fase doktrinal yang bersifat ofensif. Dari poin ini lalu mendorong pengharapannya dalam upaya mengawinkan antara asas-asas hukum dengan studi filsafat praktis. Sebagaimana ditemui di dalam komentar menengahnya pada buku Nicomachean Ethics, tahun 1177 M. Untuk alasan-alasan yang tidak diketahui Ibnu Rusyd membuang bagian ini untuk suatu saat tertentu dan kembali lagi ke bagian tersebut tahun 591 H/1194 M dengan komentar finalnya, dan komentar menengahnya atas karya Plato yang berjudul Republic.pada waktu itu ia mengunjungi pengadilan di Maroko (574 H/1178 M) dan kembali ke Sevilla tahun berikutnya untuk meluncurkan suaru serangan bersifat doktrin personal, dengan ketiga karya yang sangat independen yaitu Fasl al-Maaqal, Kasyf ‘an Manahij al Adillah dan Tahafut at-Tahafut. Yang disebut terakhir disertai dengan karya-karya filsafat murni yang lain, yaitu gubahan-gubahan atas intelek yang telah memoertimbangkan kembali dan memperbaiki problematika Ibnu Bajjah dan karya De Substansia Orbis.
- Pada periode ketiga Ibnu Rusyd mencurahkan dirinya terutama untuk komentar-komentar panjangnya. Yang pertama adalah atas Posterior Analytics pada tahun 575 H/1180 M. sedang yang terahir tentang jiwa yang disusun tahun 586 H/1190 M dan diperluas dalam gubahan khusus De Anime Beatitudine.
Ibnu Rusyd dianggap sebagai filosof muslim yang paling menguasai filsafat Aristoteles daripada para filosof muslim sebelum dirinya. Hal ini dapat diketahui dari beberapa bukti berikut:[14]
- Ibnu Rusyd mengetahui banyak tentang kitab Aristoteles dibanding pengetahuan para filosof timur. Ibnu Rusyd mampu meluruskan kesimpangsiuran riwayat dari Aristoteles hingga mencapai kesimpulan yang benar. Yang menyebabkan banyak orang terkagum-kagum adalah kemampuan Ibnu Rusyd untuk memilah-milah pendapat asli Aristoteles yang telah tercampur dengan berbagai riwayat dari para filosof lainnya yang tidak jelas sumbernya. Dengan prestasi ini, Ibnu Rusyd sering disebut-sebut sebagai orang yang di anugerahi kemampuan akal yang luar biasa seperti akalnya Aristoteles;
- Kajian Ibnu Rusyd adalah puncak pencapaian filsafat Arab dan permulaan filsafat barat. Para filosof barat banyak yang mengutip, mendiskusikan dan memperdebatkan kajian tersebut hingga abat ke-XIX. Filsafat Arab sendiri, disatu sisi banyak didasarkan pada pemikiran Yunani, dan di sisi lain mengambil ajaran islam sebagai dasarnya. Melalui kajiannya, Ibnu Rusyd sampai pada kesimpulan bahwa filsafat adalah saudara sekandung syariat (agama);
- Dia telah mampu menjelaskan kesesatan pendapat para filosof Aristotelian dan menyangkal klaim pengkafiran mereka. Karena sesungguhnya cita-cita filsafat islam adalah mengantarkan manusia agar berfikir jernih, terbebas dari kekangan hawa nafsu dan moderat.
Ibnu Rusyd banyak meninggalkan karya dalam bidang kedokteran, filsafat, ilmu kalam, falak, fikih dan nahwu. Diantara kitabnya yang terkenal adalah:[15]
- Al-Kulliyat fi Ath-Thib;
- Tahafut At-Tahafut. Kitab ini menentang kitab Tahafut Al Falasifah nya Al-Ghazali;
- Bidayah Al-Mujatahid wa Nihaya Al-Muqtashid (dalam bidang fikih);
- Al-Kasyf’an manahij Al-Adillah fi Aqa’id Al-Millah (dalam bidang Akidah dan ilmu kalam;
- Fasl Al-Maqal fi ma Baina Al-Hikmah wa Asy-Syariah min Al-Ittishal. (SI)
catatan:
[1] Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Khalifa, Jakarta, 2005, hlm 8
[2] Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibnu Rusyd (Averroes), Risalah Gusti, Surabaya, 2000, hlm 49
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid, hlm 50
[7] Ibid, hlm 52
[8] Op.Cit, Ismail Asy-Syarafa hlm 8
[9] Op.Cit, Dominique Urvoy hlm 53-54
[10] Ibid, hlm 54
[11] Op.Cit, Ismail Asy-Syarafa hlm 8-9
[12] Op.Cit, Dominique Urvoy hlm 53-54
[13] Ibid, hlm 61-63
[14] Op.Cit, Ismail Asy-Syarafa hlm 9
[15] Ibid, hlm 9-10