Ibnu Taimiyah

in Tokoh

 

 

Al-ruju’ ila al-Kitab wa al-Sunnah” (kembali ke Kitab Suci dan Sunnah)

Kalimat di atas begitu umum kita kenal, seperti kredo (dasar tuntunan hidup) dalam aspek keagamaan hampir seluruh umat Islam di dunia. Kalimat ini merupakan ringkasan dasar ide pembaharuan Taqiyuddin Abdul Abbas Ahmad bin Abdul Salam bin Abdullah al-Khidr bin Muhammad al-Khidr bin ‘Ali bin Abdullah. Atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Disamping seruan untuk kembali pada Kitab suci dan Sunnah, beliau juga mengajak untuk meneladani kaum salaf yang saleh (al-Salaf al-Shalih), yaitu kaum Muslim dari tiga generasi pertama yang meliputi para Sahabat Nabi, Tabi’in (para pengikut sahabat), dan Tabi’u al-Tabi’in (para pengikut tabi’in). Adapun dalam hal Ijtihad, ia mengikuti metodologi yang mirip seperti dikembangkan Imam Syafi’i, yang ia sebut “al-qias al-syar’i al-shahih”.[1]

Ibnu Taimiyah lahir di Harran,[2] pada 10 Rabiul Awwal 661 Hijriah, atau 22 Januari 1263 Masehi. Lima tahun sebelum kelahirannya, Kota Baghdad yang merupakan pusat khasanah keilmuan Islam takluk oleh invasi bangsa Mongol. Tak terhitung jumlah kerugian akibat invasi ini, namun yang lebih menyedihkan, begitu banyak naskah keilmuan Islam yang hilang dan rusak. Hanya berselang 11 tahun kemudian, atau pada saat Ibnu Taimiyah berusia 6 tahun (667 Hijriah), Kota kelahirannya, yang masuk wilayah Mesopotamia Utara (kini masuk dalam wilayah Turki, dekat perbatasan Irak), diserang pasukan Tartar. Akibat serangan ini, Ibu Taimiyah dan keluarganya mengungsi ke Damaskus, Syiria.

Berlatar belakang mahzab Hanbali yang kental, keluarga Ibnu Taimiyah diterima dengan tangan terbuka di Damaskus. Di tempat baru ini, Ayah Ibnu Taimiyah, yang juga merupakan salah seorang alim ulama terkemuka pada masa itu, mendapat tempat berlabuh yang layak di Universitas Masjid Jami’ Bani Umayyah. Dasar keilmuan agama Ibnu Taimiyah didapatnya dari Ayahnya sendiri. Demikian cemerlangnya ia diusia muda, hingga pada usia masih belasan tahun, ia sudah dipercaya sesekali menggantikan ayahnya memberi kuliah di Universitas masjid tersebut.

Lahir dan tumbuh dalam masa dekadensi imperium Islam, Ibnu Taimiyah memiliki kegemasan ilmiah dan ideologis terhadap para ulama yang kebetulan pada saat itu umumnya bermahzab Syafi’i. Ia mengkritik para ulama dan penguasa yang menurutnya sebagai sebab kemunduran Islam. Ia memandang, bahwa Ulama dan Penguasa adalah yang paling betanggungjawab atas semua kelemahan dan kemunduran umat saat itu.

Akibat kritik-kritiknya yang begitu keras ke semua pihak, ia harus berkali-kali mendekam dalam penjara. Di dalam penjara inilah ia banyak menulis kitab-kitab karangannya yang kemudian banyak berpengaruh di masyarakat. Kritik paling tajam ia arahkan pada kelompok-kelompok tarekat dan kaum syiah. Baginya kedua kelompok ini adalah pelaku bid’ah yang menyimpang dari tuntunan nilai agama yang murni dan asli.

Meski bagi para ulama dan masyarakat Muslim pada waktu itu, pemikirannya lah yang dianggap melenceng jauh dari akidah agama yang selama ini mereka jalani. Tapi Ibnu Taimiyah bersikeras bahwa pemikirannnya inilah Islam yang murni. Berbagai praktek peribadatan yang tidak sesuai dengan pemikirannya, ia kritisi, dan berbagai bentuk tradisi, ia koreksi. Karena itu ia terlibat sangat aktif dalam memberantas apa yang disebutnya sebagai bid’ah, seperti ziarah ke kuburan orang-orang terhormat, dan pemujaan kepada orang-orang mulia yang dianggap wali oleh masyarakat.

Ibnu Taimiyah bahkan tidak ragu menyampaikan kritik pada para sahabat Nabi, termasuk kepada Khalifahu Rasyidin, yang merupakan hal sangat tabu bagi masyarakat dan Ulama pada waktu itu, khususnya yang bermazhab Sunni. Meski ia selalu mengatakan bahwa kebaikan para sahabat itu lebih banyak daripada keburukannya, mereka adalah manusia biasa yang memiliki juga kekurangan dan salah. Maka bagi Ibnu Taimiyah, menimbang seseorang haruslah kritis, tapi dengan rasa keadilan dan kejujuran setinggi-tingginya, dengan kesediaan mengakui segi kebaikannya, sementara dengan tulus menarik pelajaran dari kekurangannya.[3]

Cara pandang Ibnu Taimiyah itu menghasilkan sikap penilaian yang cukup unik tentang para Sahabat Nabi yang terlibat peperangan antar sesama mereka seperti ‘Aisyah melawan Khalifah ‘Ali ra, dan Muawiyah melawan ‘Ali ra. Ibnu Taimiyah menilai masing-masing dari mereka sudah melakukan ijtihad sedemikian rupa sehingga ada ijtihad yang benar dan ada yang salah. Dalam perang Siffin misalnya, menurut Ibnu Taimiyah, ijtihad ‘Ali ra yang benar, sedang Muawiyah salah. Meski demikian, kedua-duanya mendapatkan pahala karena sudah melakukan ijtihad. ‘Ali ra mendapatkan dua pahala karena benar ijtihadnya, sedang Muawiyah hanya mendapatkan satu pahala karena salah. Adapun menurut Ibnu Taimiyah, dalam konflik antar sahabat ini, ia memberi kredit khusus pada para sahabat yang tidak ikut berperang, dan lebih memilih berdiam di Madinah (Ahl Madinah), seperti Abdullah bin Umar dan Sa’ad bin Abi Waqash. Baginya, mereka ini adalah tokoh-tokoh acuan bagi paham jama’ah yang menghendaki persatuan universal.[4]

Ibnu Taimiyah wafat di usia 67 tahun dalam penjara di Damaskus pada 728 Hijriah atau 1328 Masehi, setelah sakit dalam penjara lebih dari 20 hari. Dikabarkan ia dipenjara bersama salah satu murid terbaiknya Ibnu Qoyyim al-Jauziah. Pada masa selanjutnya, Ibnu Qoyyim melanjutkan perjuangan gurunya, tapi dengan cara yang lebih lentur dan damai, meski tanpa mengurangi nilai-nilai ideologis yang didapat dari gurunya.

Namun ironi pun terjadi pada saat kematiannya. Ramai orang yang ingin mengambil berkah dari hanya melihat wajah beliau, memegang jenazah beliau dan bahkan ada yang mencium beliau.[5] Sebagai kelanjutannya, makamnya pun menjadi salah satu pusat ziarah yang ramai dikunjungi di Damaskus. Makan ini dipuja dan diagungkan sebagaimana layaknya makam para wali, sama dengan praktek terhadap banyak makam lain, yang ia kecam dengan penuh kegemasan semasa hidupnya.[6] Namun setelah ajaran-ajarannya menyebar dan mendapat dukungan cukup luas di Timur Tengah, makam yang terletak di kawasan Universitas Masjid itupun akhirnya ditinggalkan, dan sepi dari pengunjung.  [AL]

Sumber : http://wikimapia.org/4380671/Shaikh-Al-islam-Ahmad-ibn-Taymiyyah-Grave, diakses 25 Sepetember 2017

 

Catatan : 

[1] Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta, Dian Rakyat, 2009, Hal. 123

[2] Di masa lalu, kota Harran terkenal sebagai salah satu pusat Hellenisme, dengan penduduk yang menurut Ibnu Taimiyah sendiri dulu menyembah binatang. Kota Harran pula, juga menurut Ibnu Taimiyah sendiri, yang dulu menolak kedatangan Nabi Ibrahim dalam pelarian dari Ur, di Kaldea. Pada era pemerintahan Islam, Kaum Hellenis dari kalangan penduduk Kota Harran dilindungi oleh khalifah karena dianggap sebagai kaum Sabiin (al-Shabi’un) yang menurut sebagian ulama termasuk jenis kaum ahli kitab, sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Quran. Dan Ibnu Taimiyah menolak pandangan serupa itu. Lihat, Ibid, Hal. 120-121

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] http://seutastasbih.blogspot.co.id/2009/02/ibnu-taimiyah-dipenjarakan.html, diakses 26 Juni 2017

[6] Lihat, Nurcholish Madjid, Op Cit, Hal. 123