Masjid Agung Demak menjadi momentum lahirnya sistem pemerintahan Islam pertama di Pulau Jawa. Sejak itu, konsep dakwah Islam menjadi lebih terorganisir dan sistematis, sehingga penyebaran Islam lebih progresif dan massif di Pulau Jawa.
Masjid Agung Demak dipercaya sebagai bangunan yang pertama dibangun pertama di Kesultanan Demak. Menariknya, masjid ini pula bangunan terakhir yang tersisa dari peninggalan kesultanan Islam pertama di pulau Jawa tersebut. Sekarang, lokasi Masjid ini terletak di desa Kauman, Jalan Raya Sultan Fatah No.57 Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Masing-masing Saka Guru memiliki tinggi 1630 cm. Formasi tata letak empat Saka Guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga.[1]
Khusus untuk saka guru sumbangan Sunan Kalijaga, terdapat nama sendiri, yaitu saka tatal. Disebut demikian, karena salah satu dari tiang utama tersebut berasal dari serpihan-serpihan kayu (tatal) yang diketam.[2]
Adapun bagian serambi, merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap limas Masjid terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan.[3]
Terdapat pula lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian yang lain sekaligus sebagai lambang 5 rukun Islam yakni syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Selain itu, terdapat enam jendela pada masjid Demak yang melambangkan 6 rukun iman, yakni percaya kepada Allah SWT, percaya kepada rasul-rasul-Nya, percaya kepada kitab-Nya, percaya kepada malaikat-Nya, percaya datangnya kiamat, serta percaya kepada qada dan qadar.[4]
Adapun pintu utama masjid ini bernama “Lawang Bledeg” (pintu petir), yang dipercaya mampu berfungsi sebagai penangkal petir. Lawang Bledeg mengandung candrasengkala, yang dapat dibaca Naga Mulat Salira Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.[5]
Sangat mungkin, tahun 1466 M tersebut adalah waktu dimulainya proses pembangunan Masjid Agung Demak. Menurut kisah yang populer berkembang, proses pembangunan masjid ini disupervisi langsung oleh para Wali Songo (wali Sembilan).
Menurut salah satu artikel dari museumindonesia.com, arsitek Masjid Agung Demak adalah Wali Songo, sekaligus mengatur pembagian tugas yang melibatkan semua pihak dalam pembangunannya. Para Wali sendiri akan membangun empat saka guru (tiang atau kolom utama). Wali-wali setelah Wali Songo saka pangendhit. Ulama dan elit spiritual lainnya saka rawa. Sedangkan para adipati menyediakan balok primer, keluarga kerajaan dan bangsawan lainnya balok sekunder dan rangka atap. Elit militer menyediakan penopang rangka atap dan pagar. Adapun rakyat, berkontribusi dalam pembangunan atap dari sirap berdasarkan sami urunan kewala.[6]
Lebih jauh, menurut artikel tersebut, rencana arsitektur ini menyingkapkan skema hirarki otoritas yang rapi. Di tempat tertinggi adalah Wali Songo, kemudian elit spiritual lainnya. Para adipati serta keluarga bangsawan saling terkait atau mendukung dalam struktur sosial politik. Pagar yang disumbangkan pihak militer menunjukkan tanggung jawab sebagai penjaga bangunan dan mengamankan perbatasan. Sedangkan rakyat, menjadi “wajah” yang meliputi keseluruhan struktur tersebut.[7] Bahkan saka tatal, yang dibangun oleh Sunan Kalijaga, memberikan makna bahwa otoritas terpenting dari struktur Kesultanan Demak, tidak lain berasal dari rakyat itu sendiri (serpihan/tatal).
Demikianlah Masjid Agung Demak menjadi momentum lahirnya sistem pemerintahan Islam di Pulau Jawa. Dengan adanya identitas politik ini, konsep dakwah Islam menjadi lebih terorganisir dan sistematis, sehingga penyebaran agama Islam lebih progresif dan massif di Pulau Jawa. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Saka Guru Masjid Agung Demak Bukti Kuat Persatuan dan “Kesaktian” Para Wali, https://islamindonesia.id/budaya/khas-saka-guru-masjid-agung-demak-bukti-kuat-persatuan-dan-kesaktian-para-wali.htm, diakses 12 September 2019
[2] Kisah tentang awal mula munculnya sakatatal ini dituturkan dalam Babad Jaka Tingkir. Konon, hingga suatu hari yang ditetapkan untuk membangun masjid, Sakaguru yang didelegasikan kepada Sunan Kalijaga masih tidak terlihat batang hidungnya. Sunan Kalijaga sendiri malahan asyik tirakatan di Pamantingan. Sunan Bonang (putra Sunan Ampel) lalu memanggil dan menegurnya. Sunan Kalijaga tak banyak berkata. Beliau mengumpulkan serpih kayu, yang berasal dari sisa-sisa sakaguru yang sudah jadi. Menyusunnya menjadi sebuah tiang kemudian dengan kekuatan spiritual memampatkan seluruh serpih menjadi tiang. Demikianlah mengalir kisah sakatatal yang jadi dalam waktu semalam. Lihat, Museum Masjid Agung Demak, https://www.museumindonesia.com/museum/10/1/Museum_Masjid_Agung_Demak_Demak, diakses 12 Desember 2019
[3] Lihat, Masjid Agung Demak, http://simas.kemenag.go.id/index.php/arsip/c/2/Masjid-Agung-Demak/?category_id=, diakses 6 September 2019
[4] Lihat, Soko Tatal, Tiang Unik di Masjid Agung Demak, https://www.viva.co.id/arsip/639837-soko-tatal-tiang-unik-di-masjid-agung-demak, diakses 12 September 2019
[5] Ibid
[6] Lihat, Museum Masjid Agung Demak, Op Cit
[7] Ibid