Dikisahkan oleh Tome Pires, bahwa pada awal 16 M, seluruh pelabuhan di pesisir utara Jawa berkembang pesat. Dan umumnya semua bergantung pada sistem perdagangan global yang berpusat di Malaka. Maka ketika pada tahun 1511 M, tersiar kabar bahwa Kesultanan Malaka berhasil ditaklukkan oleh Bangsa Portugis, sistem kehidupan ekonomi dan politik di pulau Jawa juga terguncang hebat.
Armando Cortesao, dalam anotasinya terhadap informasi Tome Pires dalam Suma Oriental menjelaskan bahwa Pate Rodim yang dimaksud oleh Tome Pires adalah Raden Fatah. Tapi ini jelas bertentangan dengan informasi yang ditulis oleh historiografi lokal yang secara umum menyebutkan bahwa Raden Fatah sudah lahir sekitar pertengahan abad ke 15. Itu artinya, ketika Tome Pires ke Demak pada tahun 1515, usinya Raden Fatah sudah jauh di atas 30 tahun seperti yang diasumsikan oleh Pires.[1]
Kesimpangsuiran informasi yang dicatat Pires inilah yang kemudian dikoreksi oleh sebagian sejarawan yang mengatakan bahwa Pate Rodim yang dimaksud oleh Pires adalah pengganti Raden Fatah, yaitu Sultan Trenggana. Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa pada waktu itu Raden Fatah sudah wafat.
Bila menujuk pada asumsi M.C. Ricklefs, Raden Fatah wafat pada tahun 1504 M. Dia kemudian digantikan oleh putranya, yaitu Raden Trenggana yang naik tahta sekitar tahun 1505 M. Pada periode itu, tidak terjadi sebuah turbulensi politik dalam tubuh Kesultanan Demak terkait isu pergantian pemimpin. Meski pun menurut Kronik dari Klenteng Sampo Kong di Semarang, putra mahkota Demak yang sesungguhnya adalah Adipati Unus yang ketika itu berkuasa di wilayah Jepara.[2]
Terkait siapa sesungguhnya putra mahkota yang menggantikan Raden Fatah, menurut Babad Tanah Jawi, Raden Adipati Bintara (Raden Fatah) meninggalkan enam orang anak. Yang sulung adalah perempuan, bernama Ratu Mas, kemudian Pangeran Sabrang Lor (Adipati Unus). Beliau ini yang mewarisi tahta kesultanan Demak. Tapi pemerintahannya tidak lama, dan wafat tanpa meninggalkan putra. Lalu, pangeran Seda Lepen, kemudian Raden Trenggana, Raden Kanduruwan, dan Raden Pamekas.[3]
Serat Kanda menuturkan sebagai berikut: Adipati Bintara (Raden Fatah) memiliki tiga orang putra. Dari istri yang tertua (putri Sunan Giri) lahir Raden Surya (Adipati Unus) dan Raden Trenggana. Dari istri muda yang berasal dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Dan dari istri yang ketiga, Raden Fatah mendapat Raden Kikin dan Raden Mas Nyawa.[4]
Adapun menurut informasi dari Klenteng Sampo Kong di Semarang, pengganti Jin Bun bernama Yat Sun. Menurut tafsir dari Prof. Slamet Muljana, sosok Yat Sun di sini tidak lain adalah Adipati Unus. Dia naik tahta pada tahun 1518, menggantikan Ji Bun. Jadi menurut Prof. Slamet Muljana, Raden Fatah masih hidup sampai tahun 1518.[5] Tapi anehnya, dalam catatan Tome Pires yang datang ke Demak pada tahun 1515, penguasa Demak adalah seorang anak muda yang masih berusia 30 tahunan.
Adapun bila kita berpegang pada pendapat yang mengatakan bahwa Raden Fatah sudah wafat pada tahun 1504 M, bagaimana menjelaskan kedudukan Adipati Unus sebagai putra mahkota, sedangkan tidak terdengar adanya kisah tentang perebutan kekuasaan di antara anak-anak Raden Fatah?
Kisah adanya perebutan tahta Kesultanan Demak baru terdengar pada tahun 1521 M, atau ketika muncul berita kematian Adipati Unus. Keributan ini terjadi setelah Sultan Trenggana secara resmi dinobatkan sebagai Sultan menggantikan Adipati Unus. Hanya saja, tidak jelas siapa saja yang terlibat dalam dinamika perebutan kekuasaan tersebut.[6]
Tapi terlepas dari polemic mengenai masalah tersebut, berdasarkan sejumlah informasi sejarah, hampir semua sepakat bahwa pada awal abad ke 16 M, Adipati Unus memang berkuasa di Jepara. Sedangkan yang ada di Demak ketika itu adalah Raden Trenggana. Sehingga informasi yang mengatakan bahwa pengganti Raden Fatah adalah Sultan Trenggana, agaknya lebih akurat.
Dikisahkan oleh Tome Pires, bahwa pada masa itu, seluruh pelabuhan di pesisir utara Jawa – mulai dari Sunda Kelapa hingga ke Surabaya – berkembang pesat. Dan umumnya para penguasa wilayah pesisir utara Jawa itu menginduk pada satu kepemimpinan, yaitu Kesultanan Demak.
Lebih jauh menurut Pires, hampir semua sistem perdagangan di kawasan Nusantara, termasuk Jawa, bergantung pada sistem perdagangan global yang berpusat di Malaka. Menurut M.C. Ricklefs, sejak adanya Malaka, seluruh komiditi di gugusan pulau Nusantara di kirim ke sini. Sehingga membentuk satu sistem jaring perdagangan tersendiri. Di Malaka, sistem perdagangan Nusantara itu dihubungkan dengan jalur-jalur yang membentang ke barat sampai India, Persia, Arabia, Suriah, Afrika Timur, dan Laut Tengah: ke Utara sampai ke Siam dan Pegu; serta ke Timur sampai ke China dan mungkin Jepang. Ini adalah sistem perdagangan yang terbesar di dunia masa itu.[7]
Maka ketika pada tahun 1511 M, tersiar kabar bahwa Kesultanan Malaka berhasil ditaklukkan oleh Bangsa Portugis, sistem kehidupan ekonomi dan politik di pulau Jawa juga terguncang. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The Suma Oriental of Tome Pires, An Account of The East, From The Red Sea To Japan, Written In Malacca And India In 1512-1515, And The Book of Francisco Rodrigues, Rutter of A Voyage In The Red Sea, Nautical Rules, Almanack And Maps, Written And Drawn In The East Before 1515, Translated from The Portuguse MS in the Bibliotheque de la Chambre de Diputes, Paris, and Edit by Armando Cortesao, Volume I, (London: Printed For The Hakluyt Society, 1994), hal. 184
[2] Prof. Dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LKiS, 2013, hal. 115
[3] Ibid, hal. 116
[4] Ibid
[5] Ibid, hal. 109
[6] Ibid, hal. 110
[7] Lihat, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1991, hal. 30