Kembali ke khittah 1926, NU artinya menekuni kembali bidang garapan pendidikan, dakwah, dan sosial, yang sebelumnya kurang terurus. Selain itu, meninggalkan politik praktis.
Pada akhirnya, gagasan kembali ke khittah 1926 memuncak pada saat diselenggarakannya Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama kedua di Situbondo. Dalam hal ini, Kyai Ali menampakkan keberhasilannya dalam memimpin Nahdlatul Ulama (NU) secara cemerlang.
Pada Munas ini dihasilkan penerimaan azas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, juga dirumuskannya kembali otoritas Syuriah atau Ulama dalam kepemimpinan NU. Setahun berikutnya, yaitu pada tahun 1984, digelar Muktamar NU ke-27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo, atau pesantren milik KH.R. Asad Syamsul Arifin.
Kembali ke khittah 1926 yang dikukuhkan dalam Muktamar NU Ke-27 berarti untuk menekuni kembali bidang garapan NU, yaitu; pendidikan, dakwah, dan sosial, yang sebelumnya kurang terurus. Kembali ke khittah 1926 juga berarti menanggalkan urusan politik praktis, dan menyerahkan kepada masing-masing pribadi warga NU untuk menentukan sendiri saluran aspirasi politik yang disukai, sepanjang tidak merugikan akidah Islam serta dengan dilandasi akhlak mulia.
Dengan demikian, menegaskan kejamiyahan NU dengan melepaskan kaitan formal apa pun antara NU sebagai organisasi dengan organisasi apa pun di luarnya.
Selain Kyai Ali, juga terdapat kyai-kyai lain yang juga menjadi tim sukses dalam Munas ini, seperti KH.R. Asad Syamsul Arifin, KH. Ahmad Shiddiq, dan KH. Tolchah Mansoer. Pada kesempatan ini pula dengan kebesaran hatinya Kyai Ali menyerahkan tonggak kepemimpinan Rais Am kepada penggantinya yang lebih muda, yaitu KH. Ahmad Shiddiq.
Dalam muktamar ini juga mulai dibentuk ahlul halli wal aqdi, yang terdiri atas: KHR. Asad Syamsul Arifin, KH. Ali Maksum, KH. Masykur, KH. Syamsuri Badawi, Prof. Ali Hasan Ahmad, KH. Romli Ahmad, dan KH. Rofii Mahfud. Mereka sepakat untuk mengangkat KH. Ahmad Shiddiq sebagai Rois Am Syuriyah, dan H. Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum PBNU periode 1984-1989.
Pada periode ini dia masih ditunjuk lagi dalam barisan penasehat (mustasyar) bersama KHR. Asad Syamsul Arifin, Dr. Idham Khalid, KH. Masykur, KH. Imron Rosyadi, Prof. KH. Saifuddin Zuhri, KH. Mahrus Ali, Prof. KH. Anwar Musaddad, dan KH.M. Munassir.
Kontribusi dan perjuangan KH. Ali Maksum melalui kendaraan NU bisa dibilang tidak terhitung. Gagasan-gagasan bagi kemajuan pemikiran maupun gerakan sosial telah banyak mewarnai gerak-laju pertumbuhan dan kedewasaan, baik bagi bangsa secara keseluruhan maupun bagi NU sebagai organisasi Islam.
Progresivitas pemikirannya dalam menangkal gejolak antar golongan pun menuai hasil yang membanggakan. Hal ini terbukti ketika terjadi gesekan antara NU dan Muhammadiyah, dia mampu menyelesaikannya bukan dengan pertentangan dan sikap konfrontatif, namun dengan penuh kebijaksaan dan toleransi.
Dalam kancah pemikiran Islam, dia tergolong moderat dan mengambil jalan tengah. Pemikirannya yang progresif mampu menjebol kebuntuan dan kemandegan ijtihadi dalam tradisi NU. Ketika mengomentari posisi umat Islam Indonesia yang mayoritas, Kyai Ali mengatakan, bahwa seharusnya umat Islam yang mayoritas di Indonesia ini juga bermental mayoritas, yakni lebih banyak memberi daripada meminta.
Kesemuanya ini merupakan kontribusi penting yang tidak bisa dianggap remeh, bahkan KH. Ali Maksum sering disebut-sebut sebagai penyelamat NU, hal ini karena; dia muncul di saat NU butuh penyegaran kepemimpinan sebagai Rois Am NU menggantikan KH. Bisri Syansuri; dia bisa dengan lihai berperan ganda saat NU mengalami masa kekosongan kepemimpinan paska pengunduran diri Dr. Idham Khalid sebagai sebagai Rais Am sekaligus Ketua Umum PBNU untuk membenahi persiapan Muktamar Situbondo 1984, yang menghasilkan keputusan strategis dan monumental, yaitu mengembalikan NU ke khittah 1926; menjadi garda depan pelindung dan meredam konflik ketika terjadi gejolak untuk menggoyang Khittah NU 1926 dan membelokkan NU ke partai politik, serta usaha mendongkel Gus Dur dari posisi Ketua Umum PBNU di Munas Alim Ulama NU di Cilacap akhir 1987.
Dengan keterlibatan Kyai Ali dalam berbagai aspek sosial dan politik, maka hal ini semakin memantapkan langkahnya sebagai motor penggerak dalam NU yang senantiasa melakukan perubahan dan pembaruan dalam semua aspeknya.
Di kalangan akademisi, dia dikenal sebagai pakar tafsir Alquran. Namanya pun tercatat sebagai guru besar dalam bidang tafsir di IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta. Bahkan pada tahun 1962 dia pernah ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai anggota tim Lembaga Penyelenggara Penterjemahan Kitab Suci Alquran yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Sunaryo, SH, bersama-sama Prof. DR. Muhtar Yahya, Prof. KH. Anwar Musyaddad, Prof. Hasbi Assiddiqi dan lain-lain. Hal ini semakin melambungkan namanya di kancah intelektual Islam Indonesia.
Di samping itu, beliau juga banyak meninggalkan karya-karya dalam berbagai keilmuan Islam. Misalnya Mizanul Uqul fi Ilmil Mantiq, yang merupakan prinsip-prinsip dasar ilmu mantiq; dalam tata bahasa ada Ash-Shorful Wadhih, berisi tentang kaidah-kaidah dan amtsilatut tashrif (latihan praktis tashriful kalimah) dengan metode baru temuannya sendiri.
Dalam kajian hadis beliau juga menulis Jawamiul Kalim: Manqulah min ahadits al-Jami ash-shoghir murattabah ala huruf al-hijaiyyah ka ashliha, kitab ini berisi kumpulan hadis-hadis pendek beserta keterangannya yang merupakan nukilan dari kitab al-Jamius Shoghir.
Dalam bidang fikih syariah beliau juga menulis Hujjatu Ahlissunnah Wal Jamaah, berisi kajian dalil-dalil yang dijadikan dasar berpijak dalam melaksanakan amaliah. Adapun kumpulan syiir selawatan dalam bahasa Jawa gubahan KH. Ali Maksum terkumpul dalam buku berjudul Eling-eling Siro Manungso.
Sedangkan kumpulan tulisan dan makalah yang terserak dalam berbagai surat kabar dan majalah terkumpul dalam karyanya yang berjudul Ajakan Suci: Pokok-pokok Pikiran tentang NU, Pesantren dan Ulama.
Sebagai aktivis NU sekaligus figur umat, KH. Ali Maksum selalu memikirkan masa depan masyarakat Islam, terutama warga NU. Hampir setengah umurnya diabdikan untuk membangun dan mengembangkan organisasi tersebut.
Bahkan tatkala dia sudah udzur dari aktivitasnya di NU, dia masih menerima tawaran sebagai tuan rumah muktamar ke-28 yang diselenggarakan di Pondok Pesantern Al-Munawwir Yogyakarta. Pada saat itu Kyai Ali hanya bisa memantau jalannya kepanitiaan dari kamarnya.
Demikian pula ketika Presiden Soeharto dan rombongan menteri atau para kyai peserta muktamar menjenguknya, Kyai Ali juga masih sempat menerima mereka dengan berbaring di kamarnya. Meski begitu, muktamar kali ini berjalan lancar dan terbilang sukses, dan mengantarkan kembali KH. Ahmad Shiddiq sebagai Rais Am dan KH. Abdurahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU untuk kedua kalinya.
Beberapa hari setelah muktamar, KH. Ali Maksum jatuh sakit dan dirawat di RS DR Sardjito. Setelah seminggu dirawat, KH. Ali Maksum menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Kamis malam Jumat, tanggal 7 Desember / 15 Jumadil Awwal 1989, tepat pada pukul 17.55 WIB dalam usia 74 tahun.
Keesokan harinya, jenazahnya dilepas dari Masjid Pesantren Krapyak setelah shalat Jum’at, dan dikebumikan berdampingan dengan makam KH.M. Munawwir di dusun Senggotan (Dongkelan), Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul Yogyakarta.
Beliau wafat dengan meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Rr. Hasyimah Munawwir dan 8 orang putra-putri: (1) Adib (wafat masih kecil), (2) KH. Atabik Ali, (3) H. Jirjis Ali, (4) Nyai Hj. Siti Hanifah Ali, (5) Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali, (6) Nafiah (wafat masih kecil), (7) M. Rifqi Ali (Gus Kelik), dan (8) Hj. Ida Rufaidah Ali.[]
Seri Kyai Haji Ali Maksum selesai.
Sebelumnya:
Sumber Referensi:
Disarikan dari A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum: Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya (Cet.1, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989)