“Apa yang bisa dijelaskan tentang sosok manusia dengan kelengkapan mutu kemanusian begitu tinggi. Di dalam dirinya tergabung intelektual jenius, kesalehan agung, dan keberanian tanpa batas. Pantaslah bila Tuhan menganugerakan kesyahidan kepadanya.”
—Ο—
Kalau saja dia ahli komputer atau penemu energi alternatif, mungkin siswa-siswi SMU 8 Bukit Duri sudah memajang foto-fotonya. Kalau saja dia bernama Paul Brown atau Frederick Weismann, lahir di London atau di Wina, maka tentu berbagai pernghargaan internasional telah diraupnya. Tapi semua itu memang bukan impian Muhammad Baqir al-Sadr. Jenius agama ini memilih jalan lebih senyap lagi cadas demi tugas yang suci. Dia rela merajut hidupnya di antara kesenyapan, keterasingan dan pengorbanan demi meraih keridaan Kekasih Sejatinya. Dan seperti pahlawan-pahlawan lain, ajalnya harus berakhir di tangan seorang tiran yang bengis.
Sekiranya orang terpaksa melihat hidup Baqir al-Sadr dari kacamata duniawi, mungkin tak sedikit yang bakal mencibirnya. Mungkin pula tak sedikit orang yang menilainya sebagai politisi yang gagal dan kurang lihai. Tapi kacamata duniawi memang tak cocok buat Baqir al-Sadr karena dia percaya bahwa dunia terlalu sempit dan pengap. Dia percaya bahwa manusia sebenarnya adalah penduduk surga yang mampir di dunia.
Dalam salah satu rekaman ceramah di hadapan ratusan muridnya, Baqir al-Sadr menjelaskan, “Boleh jadi orang yang tertindas di dunia ini adalah orang yang seharusnya memegang tampuk kepemimpinan di mata Allah. Boleh jadi orang yang dilemahkan di dunia ini sebenarnya adalah orang yang layak berkuasa di mata Allah. Kelak di hari penghitungan, yakni di hari manakala penilaian dan hukum semata-mata milik Allah, orang yang semestinya menjadi pemimpin tapi ditindas dan ditinggalkan rakyat itu akan Allah tinggikan derajatnya. Itulah kejadian yang dalam Alquran disebut dengan ‘at-taghabun’.”
Lewat ceramah yang diselingi isak tangis khalayak itu, Baqir al-Sadr seolah-olah ingin meyakinkan murid-muridnya akan janji kemenangan dari Allah. Sekalipun tertindas dan terkalahkan, dia yakin bahwa Allah kelak akan membalik semua kesemuan itu. Demikianlah ironi dalam kisah pejuang keadilan di dunia yang berlumuran dusta ini.
Rabu 9 April 1980, ribuan warga Irak berhambur keluar rumah setelah mendengar kabar kesyahidan Baqir al-Sadr dan adiknya, Aminah Bintul Huda. Setelah gagal meminta Baqir al-Sadr menarik dua fatwanya, Saddam tak kuasa menahan amarah. Dia memerintahkan seorang pengawal yang juga kerabatnya untuk menembak mereka tepat di kepala masing-masing.
Saddam marah atas fatwa Baqir al-Sadr yang melarang mayoritas warga Syiah bergabung dengan Partai Ba’ats. Murka Saddam kian memuncak setelah belakangan al-Sadr menyeru umat Islam untuk mendukung Revolusi Islam Iran pimpinan Imam Khomeini—sebuah revolusi yang disebutnya sebagai realisasi cita-cita para nabi. Fatwa itu laksana bayonet yang menghujam tepat di jantung kekuasaan Saddam. Dua karya besar al-Sadr, Falsafatuna (Filsafat Kita) dan Iqtishaduna (Ekonomi Kita), yang berisi kritik filosofis atas sosialisme dan kapitalisme, membunyikan lonceng kematian mega proyek politik Saddam di Timur Tengah.
Kebencian rezim Ba’ats atas Baqir al-Sadr tidak lunas dengan kematiannya. Saddam meminta sejumlah pimpinan partai untuk menghapus seluruh jejak ulama besar abad 20 ini. Kru televisi Al-Manar milik Hizbullah yang 4 tahun silam membuat film dokumenter tentang al-Sadr sampai tak bisa mengenali kuburannya. Mereka juga kaget melihat rumah keluarganya yang rata dengan tanah.
Laskar Republik Manusia (2)
Tampaknya, permusuhan rezim Ba’ats atas Baqir al-Sadr tidak melulu karena hal-hal di atas. Ada banyak faktor yang membuat Baqir al-Sadr menjadi ancaman nyata bagi rezim Saddam—dan semua tiran lain di dunia. Berikut beberapa di antara sekian banyak faktor yang terungkap dalam film dokumenter Al-Manar yang bertajuk Syahid al-‘Iraq (produksi tahun 2005).
Pertama, kejeniusan Baqir al-Sadr dalam kajian ilmu agama. Sejak memasuki usia balig, Baqir al-Sadr sudah diakui oleh marja’ Najaf kala itu, Abul Qasim al-Khu`i, sebagai seorang mujtahid. Padahal, rata-rata pelajar agama meraih gelar akademis tertinggi ini di atas usia 40 tahun. Capaian menakjubkan ini sebenarnya berkat kurikulum pendidikan agama yang berkembang dalam keluarga al-Sadr. Hingga saat ini, hanya segelintir lembaga pendidikan agama yang mau atau mampu menerapkan kurikulum itu.
Kedua, upaya ilmiah al-Sadr untuk membuat prinsip-prinsip hukum Islam selaras dengan logika yang kukuh. Tak tanggung-tanggung, Baqir al-Sadr memasukkan teori probabilitas kalkulus (nadhariyyah al-ihtimal) sebagai alat pendukung ijtihad. Karyanya dalam bidang ini, al-Usus al-Mantiqiyyah lil Istiqra’ (Prinsip-prinsip Logika Induktif), masih menjadi barang asing di lingkungan studi agama Islam kontemporer.
Ketiga, tawaran-tawaran metodologis untuk membuat syariah menjadi lebih manusiawi dan “merakyat”. Umpamanya, dia mengakui keyakinan pribadi dalam menyimpulkan hukum agama. Bagi al-Sadr, Islam bisa menerima keyakinan pribadi seseorang sekalipun keyakinan itu belum sepenuhnya sempurna secara filosofis. Selain itu, sebagai upaya untuk “merakyatkan” syariah, mengikuti tradisi guru-gurunya di Najaf, al-Sadr memperkuat posisi ‘urf (kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat) sebagai sumber penyimpulan hukum Islam.
Keempat, upayanya untuk terus menceburkan fiqh dalam pusaran kehidupan umat. Sebagai contoh, pada medio 70-an, Baqir al-Sadr menuliskan ekonomi dan perbankan syariah dalam al-Bank Al-la Ribawi fil Islam. Karya ini tak pelak memantik tumbuhnya ekonomi syariah di dunia Islam. Konon, karya ini lahir sebagai tanggapan atas permintaan seorang pejabat Kuwait yang ingin mendirikan bank Islam.
Kelima, ijtihad-ijtihad politiknya yang mendukung gerakan perlawanan atas tirani. Kalangan marji’ Syiah biasanya sangat berhati-hati dalam menanggapi gerakan politik. Ada kekhawatiran dalam pikiran mereka bahwa gerakan politik itu tercampuri motif-motif di luar agama. Bagi kalangan marja’, dukungan yang mengandung otoritas agama terhadap gerakan yang tidak murni agama adalah sebentuk keluar jalur. Tapi, Baqir al-Sadr lebih progresif dalam hal ini. Sejak semula dia mendukung gerakan Islam yang demokratis, terutama dalam bentuk partai politik modern. Untuk itu, dia menulis rangkaian artikel seputar gerakan Islam. Di sana dia menjabarkan pandangan Islam seputar misi dan visi gerakan politik, proses pembentukannya, model dan organisasinya, sumber-sumber kekuatannya, sampai tujuan akhirnya, yakni pemerintahan Islam. Rangkaian artikel yang berjudul Risalatuna (Misi Kita) itu kemudian menjadi anggaran dasar Partai Dakwah dan mengilhami Konstitusi Republik Islam Iran.
Semua itu baru sebagian dari keistimewaan al-Sadr. Ada banyak sisi menarik lain dari kehidupan al-Sadr: kezuhudan, pergaulannya yang luas, sikapnya yang sangat merakyat, tidak menjaga wibawa dan sebagainya. Sebagian besar muridnya beranggapan bahwa al-Sadr sedikit banyak berhasil mengubah wajah keulamaan yang semula eksklusif menjadi lebih terbuka dan merakyat.
Hubungan Baqir al-Sadr dan Saddam ternyata berakhir bak naskah komedi Ilahi. Persis hari Rabu 9 April 23 tahun setelah kesyahidannya, tentara AS merebut Baghdad dan merangsek istana Saddam. Patung Saddam yang semula berdiri gagah pun runtuh dan diinjak-injak ribuan orang. Masyarakat Syiah Irak percaya bahwa kesamaan hari dan tanggal eksekusi Baqir al-Sadr dan kejatuhan Saddam itu sebagai cemooh takdir, sebuah bagian dari komedi Ilahi. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai pembalasan langit.
Maha Suci Allah yang selalu punya cara untuk memenangkan hamba yang berjuang di jalan-Nya, sekaligus menunjukkan kekuasaan-Nya dalam membolak-balik nasib dan takdir anak Adam.[]