“Mereka menyadari sepenuhnya, daripada merenovasi bangunan, jauh lebih sulit membangun kerukunan.”
—Ο—
Di Amerika Serikat setidaknya terdapat lima masjid yang diberi nama Masjid Isa ibn Maryam yaitu Masjid Esa Ibn Maryam, yang terletak di Stratford, Connecticut, didirikan pada 2003.[1]; Masjid Isa Ibn Maryam di Newark, Delaware; Houston, Texas; di Columbus, Ohio; dan yang terakhir di kota Syracuse, New York.[2] Akan tetapi, dari kelima masjid tersebut, Masjid Isa ibn Maryam yang terletak di Syracuse adalah yang paling khas, karena bangunan masjid ini dulunya adalah gereja umat Katholik yang sudah berumur lebih dari 100 tahun.
Perubahan fungsi bangunan dari gereja menjadi masjid ini sebenarnya lebih disebabkan oleh perubahan struktur demografis di kota Syracuse. Awalnya, jamaah Gereja Holy Trinity hampir meliputi semua penduduk di kota itu. Sedemikian pentingnya Gereja ini bagi masyarakat di kota tersebut, sehingga ia sempat menjadi icon kota ini. Hampir semua penduduk yang sudah lama menetap di kota tersebut memiliki kesan emosional yang mendalam dengan Gereja ini.
Namun pada beberapa dekade terakhir situsi berubah. Banyak di antara warga sekitar yang memutuskan pindah ke daerah pinggiran. Satu persatu jamaah pun menghilang. Sedang di sisi lain, imigran pun mulai berdatangan ke kota ini. Salah satu hal yang membuat kota ini menjadi destinasi para imigran, tidak lain karena keramahan menduduknya.
Nuansa keramahan ini tidak bisa dilepaskan dari fungsi Gereja yang secara tidak langsung, menjadi pusat mendidikan karakter masyarakat di kota tersebut. Para imigran di kota ini diterima secara baik, sehingga dengan mudah dapat berbaur dengan masyarakat setempat. Dan memang secara kebetulan sekitar 75% imigran di kota itu adalah Muslim. Mereka berasal dari berbagai negara seperti Irak, Iran, Suriah, Somalia, Bosnia, Albania, dan Nigeria.[3]
Secara tidak langsung para imigran ini memahami sekali makna kultural Gereja ini bagi masyarakat setempat. Sejak tahun 2010, Gereja ini mulai mengalami penyusutan jamaah yang signifikan. Dan pada tahun 2013, pengelola Gereja Holy Trinity menyatakan tidak sanggup lagi membiayai perawatan gereja tersebut, dan memutuskan untuk menjualnya.
Proses penjulan ini juga tidak mudah. Bagitu banyak tawaran yang datang dan berminat membelinya. Diantaranya mereka ingin mengubah Gereja ini menjadi Bar dan lain sebagainya. Namun para pengelola lebih mutuskan untuk menjualnya pada The Northside Learning Center, yayasan yang menolong para imigran untuk berasimilasi dengan masyarakat AS. Alasannya karena The Northside Learning Center berencana mengubah tempat ini menjadi Masjid. Bagi pengelola Gereja ini, itu adalah alasan terbaik. Mereka juga ingin tempat ini tetap menjadi “Rumah Tuhan”.[4]
Ketika dibeli, kondisi bangunan Gereja ini sungguh memprihatinkan. Bahkan atap-atapnya pun sudah banyak yang bocor. Menurut Yusuf Soule, direktur sukarela dari North Side Learning Centre, yang membeli properti tersebut dan mengawasi pembangunan Masjid, biaya yang dihabiskan untuk membeli dan merenovasi Gereja tersebut sudah mencapai $ 300.000 dan ini masih terus bertambah. Meski struktur fisik bangunan tidak berubah, namun bagitu banyak ornament gereja yang memang harus di ubah, salah satunya salib yang jumlahnya lebih dari 10.000 buah. Disamping itu, ada juga lukisan dan beberapa atribut gereja lainnya yang tidak begitu baik bila tetap ada di sana ketika digunakan sebagai Masjid.[5]
Terkait dengan hal ini, The Northside Learning Center mengaku sudah mendapat izin untuk mencopot simbol-simbol Kristen yang ada di dalam gereja itu dari Dewan Perlindungan Sejarah Syracuse. Hanya saja, khusus untuk struktur fisik bangunan, semuanya nyaris tidak ada yang diubah. Dari luar, bangunan ini sangat persis Gereja. Yang membedakannya hanya di puncak-puncak atap yang sebelumnya terdapat salib, diubah menjadi kubah-kubah kecil dan lambang bulan sabit. Sedang di bagian interior, hanya kursi-kursi yang dipindahkan dan diganti menjadi karpet tebal nan lembut.
Proses revonasi ini berlangsung selama setahun, sejak dibeli pada 2013 hingga bisa digunakan secara layak pada tahun 2014. Namun demikian, pada tahun 2012, ketika bangunan ini sudah mulai tidak aktif menjalankan fungsinya sebagai Gereja, kaum Muslimin yang tinggal di tempat ini sempat menyewanya hingga akhirnya secara resmi dibeli pada tahun 2013. Ketika disewa, tidak ada masalah yang muncul. Namun ketika tempat ini dibeli, muncul kekhawatiran dari umat Muslim di sana dengan keputusan mentransformasi bangunan tersebut menjadi Masjid. Mengingat mereka sangat mengerti nilai bangunan ini bagi masyarakat setempat.
Ini terjadi ketika mereka mengajukan izin dari Dewan Perlindungan Sejarah Syracuse pada bulan April 2014 untuk mentransformasi bangunan ini menjadi masjid dan membuang beberapa simbol gereja yang ada di bangunan tersebut. Dalam pertemuan tersebut, hadir juga anggota Gereja Holy Trinity, yang ketika mendengar hal tersebut, mereka tidak bisa menyembunyikan kekecewaan mereka.
Ini sebabnya, oleh pengelola Masjid, bangunan ini tidak dibuat ekslusif dan tetap dibiarkan sebagaimana adanya. Hanya symbol-simbol tertentu saja yang mereka singkirkan, sisanya tetap utuh seperti semula. Mereka menyadari sepenuhnya, daripada merenovasi bangunan, jauh lebih sulit membangun kerukunan. Hal yang sama juga terjadi di warga setempat, menurut Marnie Eisenstadt dalam artikelnya, bagi warga setempat, menyaksikan landmark kota itu bertransformasi bukan hal yang mudah. Tapi yang jauh lebih tidak mudah dari itu adalah “mengubah orang asing dari tempat yang sangat berbeda menjadi teman.”[6] Dengan pertimbangan yang sangat matang pula, Masjid ini kemudian diberi nama Masjid Isa ibn Maryam, atau Mosque of Jesus Son of Mary.
Tapi menariknya, menurut Marnie, masyarakat Muslim ini mengerti apa yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Selama pembangunan berlangsung, tidak sedikit warga yang datang menenngok perkembangan renovasi tersebut. Mereka semua disambut hangat oleh para pengelola Masjid dan diizinkan untuk masuk dan melihat perkembangan renovasi. Bulan Ramadhan, adalah waktu yang tepat. Pengelola Masjid mengundang semua warga untuk berbuka puasa di tempat ini selama 30 hari setiap bulan Ramadhan. Dalam proses ini ternyata banyak yang berubah. Kerukuan di tempat itu semakin erat terjalin dari hari ke hari.
Ada satu kisah menarik yang dituturkan Marnie dalam artikelnya. Waktu itu adalah tahap akhir renovasi bangunan, yaitu menurunkan semua salib yang ada di puncak-puncak menara yang jumlahnya ada 6 buah dan diganti dengan kubah. Toni Franklyn, yang merupakan tetangga depan Masjid menatap dengan campur aduk peristiwa tersebut. Ia adalah jamaah Gereja Holy Trinity sejak 83 tahun yang lalu. Di bangunan inilah ia menikah. Serta menyaksikan ibunya berangkat misa setiap hari sejak ia pindah ke tempat itu pada usia 6 tahun. Ia menangis ketika mengikuti misa terakhir pada tahun 2010, dan mendapati kenyataan Gereja tersebut akan ditutup.
Melihat Franklyn mematung di depan bangunan ibadah itu, Soule, pengurus masjid menghampirinya, dan mengundangnya untuk masuk. Ketika masuk, Soule meminta Franklyn membuka alas kakinya, karena inilah kebiasaan di sini. Ketika masuk ke dalam, seketika perasaannya membaik. Ia menyaksikan langit-langit yang bocor sudah tidak ada lagi. Altar dan bangku juga sudah menghilang. Tapi bangunan itu terasa hidup kembali. Ia merasakan dengan lembut karpet mewah menyentuh telapak kakinya. Dan sisa potongan salib-salib itu, ternyata tidak dibuang. Tetap di simpan dengan apik oleh pengelola Masjid.
Ketika selesai menyimak bangunan tersebut, Franklyn kemudian berkomentar, “awalnya saya memulai dengan sebuah sikap.., saya merindukan Gereja saya. Tapi mereka sangat baik pada saya. Saya masuk ke dalam dan menyaksikan sendiri betapa mereka sangat baik merawat bangunan ini. (seketika) perasaan saya menghilang begitu saja”, ujarnya.
Selama menjadi jamaah Gereka Holy Trinity, Franklyn bertugas merawat kebun yang ada di halaman bangunan tersebut. Seiring dengan usianya yang semakin senja, iapun berhenti merawat halaman tersebut. Tapi bagaimanapun, dialah orang yang mengerti sifat-sifat tanaman yang berada di sekitar bangunan tersebut. Saat itu usianya sudah menginjak 89 tahun. Tapi ketika ditanya apakah ia bersedia mengajari anak-anak muda Muslim ini bagaimana cara merawat tanaman yang ada di sekitar bangunan tersebut, ia spontan mengatakan siap membantu mengajari mereka. (AL)
Berikut ini profil Masjid Isa ibn Maryam dalam Video Pendek. Sumber Video: youtube.com
Catatan kaki:
[1] http://www.stratfordmasjid.com/
[2] http://www.satuharapan.com/read-detail/read/di-as-dan-yordania-ada-masjid-yesus-kristus
[3] Lihat, https://www.kiblat.net/2014/09/14/komunitas-muslim-di-as-ubah-gereja-jadi-masjid/, diakses 5 Februari 2018
[4] Lihat, https://www.voaindonesia.com/a/dari-gereja-menjadi-masjid-yesus-putera-maryam/4193380.html, diakses 5 Februari 2018
[5] https://www.kiblat.net/2014/09/14/komunitas-muslim-di-as-ubah-gereja-jadi-masjid/
[6] Lihat, Marnie Eisenstadt, “From church to mosque: Syracuse Islamic group cuts crosses, tries to connect to neighborhood”, http://www.syracuse.com/news/index.ssf/2015/08/from_church_to_mosque_syracuse_islamic_group_cuts_crosses_tries_to_connect_to_ne.html, diakses 5 Februari 2018
Amazing…
Religion is for life peacefully
Amazing…
Religion is for life peacefully