Dalam diskursus mengenai Perang Salib, muncul hipotesis yang mengatakan bahwa ada aliansi antara Pasukan Salib dengan Fatimiyah untuk mengalahkan Saljuk. Sebagai akibat adanya hipotesis ini – ketika nanti Pasukan Salib berhasil merebut Yerusalem dan melakukan pembantaian terhadap penduduknya – intrik politik Fatimiyah ini dianggap sebagai sumber kesalahannya.
Sebelum melanjutkan kisah penaklukkan Yerusalem oleh Pasukan Salib I, dalam edisi kali ini akan sedikit diulas mengenai interplay antar tiga kekuatan adidaya kala itu; Pasukan Salib, Saljuk dan Fatimiyah. Dalam perkembangan diskursus mengenai Perang Salib I, muncul satu hipotesis atau dugaan, mengenai adanya semacam kesepakatan antara Fatimiyah dengan Pasukan Salib untuk menghancurkan Saljuk. Hipotesis ini pada tahap selanjutnya dijadikan proposisi oleh sebagian sejarawan dalam menuturkan narasi Perang Salib I.
Sebagaimana dikisahkan oleh Eamonn Gaeron, bahwa ketika Pasukan Salib berhasil menyapu Asia Kecil dan mengusir Saljuk dari wilayah tersebut, para tinggi Dinasti Fatimiyah bergembira. Karena bagi mereka, ancaman sesungguhnya bukan Pasukan Salib, melainkan Saljuk yang telah berhasil merebut Yerusalem dari mereka. Tapi kegembiraan ini seketika berubah menjadi kekhawatiran, tatkala mereka melihat laju Pasukan Salib terus bergerak ke selatan dan memiliki kecenderungan membidik Yerusalem.[1] Melihat perkembangan yang terjadi, Fatimiyah mengirimkan utusan khusus sebanyak 15 orang kepada tentara Salib yang ketika itu sedang mengepung Antoikhia. Pada intinya, Fatimiyah mengajukan tawaran aliansi kepada Pasukan Salib untuk bersama-sama mengalahkan Saljuk.
Salah satu sejarawan barat paling awal yang meriwayatkan proses negosiasi ini dikenal bernama Albert of Aachen. Sebagaimana dikutip oleh Maher Y. Abu-Munshar, Albert mengisahkan, bahwa utusan Fatimiyah mengatakan saat itu mereka sudah berhasil merebut Yerusalem. Mereka kemudian meminta agar Pasukan Salib tetap kukuh merebut dan mempertahankan Antiokhia dari serangan Saljuk. Karena bagi Fatimiyah, Saljuk adalah musuh utama yang paling membahayakan eksistensi mereka. Dan bila Pasukan Salib bersedia bersepakat mengalahkan Saljuk di Antiokhia, mereka akan dengan sukarela menyerahkan kota Yarusalem pada Pasukan Salib, dan berdiskusi tentang agama dengan mereka.[2]
Hanya saja, terdapat kejanggalan yang fatal dari periwayatan Albert atas momen diplomatik tersebut. Sebagaimana dibantah kemudian oleh sebagian besar sejarawan, bahwa peristiwa penaklukan Antoikhia terjadi pada bulan Juni 1098, sedang penaklukan kembali Yerusalem oleh Fatimiyah terjadi pada bulan Agustus 1098.[3] Dengan kata lain, proposisi diplomatik Fatimiyah kepada Pasukan Salib jelas keliru. Dimana kekeliruan ini terbilang fatal, sehingga hampir tidak mungkin disengaja oleh Fatimiyah. Sangat mungkin kekeliruan ini justru berasal dari sumber informasinya sendiri.
Persoalannya, sampai saat ini, belum ada satupun bukti empiris yang cukup otentik untuk memastikan hipotesis bahwa Fatimiyah melakukan manuver politik yang dituduhkan tersebut. Maher Y. Abu-Munshar, seorang peneliti Yerusalem, dalam jurnal ilmiahnya meragukan hipotesis tersebut sebagai sebuah produk ilmiah yang kridibel. Karena hipotesis tersebut tidak ditarik dari informasi primer, melain dari informasi sekunder yang lemah. Dari hasil menelusurannya, Maher menemukan bahwa hipotesis pertama yang mengemukakan hal ini adalah statement Ibn Athir yang dipublikasi sekitar tahun 1233 M.[4] Statement tersebut sebut berbunyi sebagai berikut:[5]
“It has been said that the Alid rulers of Egypt became fearful when they saw the strength and power of the Saljuq state, that it had gained control of Syrian lands as far as Gaza, leaving no buffer state between the Saljuqs and Egypt to protect them, and that Aqsis [sic] had entered Egypt and blockaded it. They therefore sent to the Franks to invite them to invade Syria, to conquer it and separate them and the [other] Muslims, but God knows best (Wa llahu ta’ala a’lam)”
Yang terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut: “Telah dikatakan bahwa penguasa Alid di Mesir (Dinasti Fatimiyah) menjadi khawatir ketika mereka melihat kekuatan tentara Saljuk, yang sudah menguasai wilayah Suriah sampai ke Gaza, (sehingga) tidak menyisakan lagi wilayah menyangga antara Saljuk dan Fatimiyah (yang berfungsi) untuk melindungi mereka, (dikarenakan) Aqsis[6] telah memasuki Mesir dan memblokade (wilayah tersebut). Oleh karena itu mereka mengirim pesan pada kaum Frank (Pasukan Salib) untuk menyerang Suriah, agar menaklukkan wilayah tersebut serta memisahkan mereka dan kaum Muslimin lainnya, tapi (hanya) Allah Yang Mahamengetahui (Wa llahu ta’ala a’lam)”
Menurut analisis Maher, umumnya sejarawan Muslim maupun non-Muslim, yang menuduh adanya intrik dari Fatimiyah, menyandarkan argumentasinya dari statement ini. Padahal, bila diperhatikan secara seksama, tampak sekali bahwa Ibn Athir pun tidak meyakini statement yang dibuatnya. Hal ini terlihat dari pernyataan akhirnya yang menggunakan istilah “Wa llahu ta’ala a’lam,” yang artinya “hanya Allah Yang Mahamengetahui” (hal sebenarnya). Sebagaimana umum dipahami di masyarakat Muslim, ketika seseorang mengunakan istilah “Wa llahu ta’ala a’lam,” maka besar kemungkinan orang tersebut tidak bisa memastikan validitas statementnya.
Lebih jauh menurut Maher, ketidakyakinan Ibn Atsir sangat mungkin disebabkan informasi yang dimilikinya bukan berpijak pada sumber primer. Sebagaimana dikatakannya di awal kalimat dalam statement tersebut, “It has been said that…” (Telah dikatakan), menunjukkan bahwa dia tidak bisa memastikan dari siapa, kapan dan dimana tepatnya informasi tersebut di dapat.[7]
Sayangnya, para sejarawan modern kemudian menghilangkan kalimat awal dan akhir dari statement Ibn Atsir tersebut. Sehingga menjadikan statement tersebut terkesan seperti fakta. Di sinilah awal kontroversi itu terjadi. Sebagai akibatnya, ketika nanti Pasukan Salib berhasil merebut Yerusalem, dan melakukan pembantaian terhadap penduduknya – intrik politik yang dilakukan Fatimiyah ini dianggap sebagai sumber kesalahannya.[8] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 111
[2] Lihat, Maher Y. Abu-Munshar, Fatimids, Crusaders and the Fall of Islamic Jerusalem: Foes or Allies?, Routledge, Tailor and Francis Group, Al-Masaq, Vol. 22, No. 1, April 2010
[3] Lihat, https://www.britannica.com/event/Crusades/The-siege-of-Jerusalem, diakses 20 Januari 2019
[4] Ibn Athir adalah sosok sejarawan Muslim yang terkemuka. Nama lengkapnya Alī b. Abī al-Karam Muhammad b. Muhammad, atau yang dikenal sebagai Izz al-Dīn Ibn Athīr. Beliau lahir pada 4 Jumadil akhir 555 H/13 Mei 1160 M. Karya-karyanya banyak dirujuk oleh para sejarawan Muslim maupun non Muslim. Beberapa karya antara lain: Al-Kāmil fī al-Tarikh (Karya kesejarahan di bidang sejarah dunia secara umum); dan Al-Tarikh al-Bahir fi al-Dawla al-Atabikiyah (tentang sejarah berbagai negara dinastik yang didirikan oleh Imad al-Din Zankī di Mawsil dari tahun 521 H./1127 M.—yakni era tatkala penulisnya menjalani kehidupannya); Usud al-Ghābah fi Ma’rifat al-Saḥāba, (biografi para sahabat Nabi); dan Al-Lubāb fi Tahdhzīb al-Ansāb, (karya dalam bidang kajian ilmu genealogi Arab). Lihat, Koes Adiwidjajanto, Historicum Calamitatum (Masa-masa Kekalutan) Dunia Islam dalam Historiografi Ibn Athīr di dalam al-Kāmil, Qurthuba; The Journal of History And Islamic Civilization, Volume 1, Nomor 1, September 2017, hal. 32-35
[5] Lihat, Maher Y. Abu-Munshar, Op Cit
[6] Al Aqsis adalah panggilan bagi penguasan Saljuk di Suriah yang memerintah tahun 1070-1077. Nama aslinya adalah Atsiz Ibn Uwaq al-Khwarizmi. Dalam banyak pelafalan, namanya disebut juga sebagai Atsiz ibn Uvaq, Atsiz ibn Oq dan Atsiz al-Khwarizmi. Lihat, https://infogalactic.com/info/Atsiz_ibn_Uvaq, diakses 20 Januari 2019
[7] Lihat, Maher Y. Abu-Munshar, Op Cit
[8] Ibid