“Mesir abad 18, adalah icon kemodernan peradaban Islam. Tapi tiang-tiang peradaban itu dibangun dari satu titik yang penuh tragedi. Sebuah pembantaian tanpa ampun di Benteng Kota Kairo.”
—Ο—
Kairo, di awal abad 19, kekuasaan di Mesir sedang mengalami kevakuman. Napoleon Bonaparte yang beberapa tahun sebelumnya berhasil menaklukkan Mesir, kembali ke tanah airnya, setelah dikalahkan oleh Inggris dalam sebuah pertempuran di tahun 1801. Penguasa Mesir sebelumnya, Dinasti Mamluk, yang dikalahkan oleh pasukan Napoleon pada Juli 1798, berduyun-duyun kembali ke Mesir untuk mengambil kembali tampuk kekuasaan disana. Tapi sebagian masyarakat menolak mereka. Sedang dari utara, Salim III sultan dinasti Ottoman, mengutus salah satu perwiranya yang memiliki kecakapan diplomasi dan taktik militer bernama Muhammad Ali untuk menduduki Mesir. Maka jadilah Kairo sebagai kota yang mencekam. Berbagai kekuatan berkumpul di sini. Semua mengambil sikap siaga, meski dipermukaan dinamika tampak seperti biasa.
Muhammad Ali, melihat situasi ini tidak sebagai masalah, ia justru melihat peluang, muncul sebuah visi di benaknya. Kedatangan pasukan Ottoman sejak awal memang disambut baik oleh masyrakat Mesir. Dengan cekatan Muhammad Ali membaca situsi dan memetakan masalah. Tahap demi tahap ia jinakkan kekuatan yang ada di sana dengan metode diplomasi. [1] Kecakapannya mengundang simpati dari masyarakat Mesir, dan ini menjadi alasan yang cukup bagi Sultan Ottoman untuk mempercayakan kekuasaan Mesir padanya.
Ia dilantik menjadi Wali di Mesir oleh Sultan Ottoman pada 18 Juni 1805 dengan pangkat Pasha, dan ditugaskan untuk merapihkan semua situasi di sana. Tugas ini diterima dan dijalankan dengan baik oleh Muhammad Ali. Tapi yang tidak diketahui oleh Sultan, Muhammad Ali ternyata memeram ambisi pribadi dalam misinya yang sukses ini.[2]
Sejak awal datang ke Mesir, ia sudah membawa pasukan kepercayaannya yang berasal dari bangsa Albania. Adapun pasukan Ottoman hanya sedikit jumlahnya bila dibanding dengan orang-orang Albania. Pada awal tahun 1811, kondisi di Mesir sudah jauh berubah. Kekuatan yang tersisa disana hanya tinggal Muhammad Ali dan para elit dinasti Mamluk yang masih memendam ambisi untuk mengambil alih kekuasaan.
Adapun pasukan Ottoman yang jumlahnya hanya sedikit, sudah diperintahkan pulang ke negerinya. Sehingga praktis ia hanya didampingi oleh pasukan andalannya, yaitu orang-orang Albania yang bertugas menjaga stabilitas di Mesir. Kepada orang-orang Mamluk ini, Muhammad Ali sudah mengupayakan berbagai cara untuk meredam ambisi politik mereka. Mulai dari pemberian tanah, hingga pajak yang murah. Namun ia merasakan ambisi tersebut tak kunjung reda. Disisi lain, rakyat Mesir tidak berharap nasib mereka kembali jatuh ke tangan orang-orang Mamluk.[3]
Di Timur Tengah, tersiar kabar bangkitnya dinasti Saud. Dinasti baru ini dengan begitu progresif berhasil merebut satu persatu wilayah kekuasaan Turki di Timur Tengah. Bahkan mereka berhasil menguasai dua kota suci, Mekkah dan Madinah, dan mengintervensi berbagai kebiasaan dan peribadatan di sana. Dinasti Saud membawa misi pemurnian agama dengan cara ekstrim. Mereka menyalahkan praktek agama seperti penghormatan kepada orang-orang suci, ziarah kubur dan praktek tasawuf. Bahkan mereka tidak segan bertindak kasar pada orang-orang yang dianggap menyimpang ini, dan menghukum mereka dengan cara mereka sendiri. Situasi ini kemudian melahirkan gejolak di kawasan Timur Tengah.[4]
Untuk meredam gejolak ini, Sultan memerintahkan Muhammad Ali mengatasinya, karena posisinya paling dekat dengan kawasan Timur Tengah. Mematuhi perintah Sultan, Muhammad Ali menyiapkan segala sesuatunya. Rencananya ia akan mengutus putra sulungnya yang bernama Tusun untuk misi tersebut, sementara ia menuntaskan segala urusan di Mesir. Pada tanggal 1 Meret 1811, Muhammad Ali menggelar pesta di Benteng Kairo. Ia mengundang semua elit Mamluk dalam upacara pelepasan putranya ke medan perang. Tak kurang dari 470 elit Mamluk di undang dalam acara tersebut.[5]
Pada hari H, acarapun digelar. Seluruh pasukan Muhammad Ali yang merupakan orang-orang Albania hadir dengan persenjataan lengkap di Benteng Kairo. Para elit Mamluk yang menjadi tamu undangan pun berdatangan. Setelah melakukan prosesi minum kopi, mereka dipersilahkan memasuki benteng dengan diiringi oleh pasukan Albania. Sesampainya mereka di dalam bentang, tiba-tiba gerbang ditutup keras. Lalu muncul perintah dari komandan pasukan, bahwa atas perintah Pasha, semua orang-orang Mamluk yang berada di dalam benteng harus dibunuh.
Seketika terjadilah hysteria. Para elit Mamluk yang tidak bersenjata lengkap ini berlarian mencari perlindungan. Mereka dikejar dan ditembaki. Ada yang berlari memanjat benteng, ataupun bersembunyi di bangunan-bangunan. Tapi jumlah mereka tak lebih dari 500 orang, sangat sulit mencari jalan keluar diantara kepungan ribuan tentara Albania. Tak butuh waktu lama, semua tamu undangan tersebut habis dibantai pasukan Muhammad Ali.
Tapi masalah tak berhenti sampai di situ. Mendengar aksi pembantaian ini, sadism di dalam benteng Kairo segera menyebar di masyarakat. Perasaan tertindas yang mereka rasakan selama dibawah pemerintahan dinasti Mamluk menemukan momentum pelepasannya. Konflik horizontal pun terjadi. Semua orang Mamluk di Mesir diburu, dan rumah-rumah mereka dibakar. Dua hari berikutnya, Muhammad Ali dan Putranya berjalan keliling Mesir untuk meredam gejolak di masyarakat, tapi semua sudah terlambat. Kerusuhan reda setelah ratusan rumah orang Mamluk terbakar dan habis dijarah, dan kepala-kepala para elit Mamluk di bawa ke Istambul. (AL)
Bersambung…
Catatan Kaki:
[1] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Ali_dari_Mesir, diakses 14 November 2017
[2] Lihat, https://www.britannica.com/biography/Muhammad-Ali-pasha-and-viceroy-of-Egypt, diakses 14 November 2017
[3] Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Ali%27s_seizure_of_power, diakses 14 November 2017
[4] Lihat, https://www.britannica.com/place/Saudi-Arabia/Daily-life-and-social-customs, diakses 12 November 2017
[5] Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Ali%27s_seizure_of_power, Op Cit