Akhirnya, tibalah Rasul yang mulia ke Madinah pada 16 Rabi’ul awwal 1 Hijriah. Anas bin Malik yang saat itu masih belia mengenang, bahwa suasana hari itu begitu meriah. Seluruh kota menyambut Nabi SAW dengan suka cita. Setiap klan berbenah, mengias diri seindah mungkin. Semua berharap Rasul yang mulia bersedia singgah di tempat mereka, dan memilih klan mereka sebagai tempat menetap. Setiap melewati perkampungan, mereka segera menawarkan tempat tinggal dan perlindungan yang penuh pada Nabi SAW, sambil menyebut-menyebut keutamaan klan mereka.
Tapi sebagaimana pula sejarah mencatat, Rasul SAW yang mulia memilih melepas tali kekang Untanya,[1] dan membiarkan Unta itu berjalan sendiri. Rasulullah SAW bersabda, “biarkan tali kekang lepas, karena (Unta) ini telah diperintah”. Kemudian semua orang melepas tali kekang unta Nabi SAW, dan mengikuti kemana unta itu berjalan.
Dan akhirnya sampailah unta itu di sebuah lapangan tempat pengeringan kurma. Lapangan ini adalah milik dua anak yatim yang bernama, Sahl dan Suhail. Dan Rasul SAW memilih tempat ini sebagai tempat tinggalnya. Awalnya kedua anak yatim ini memaksa memberikan tanah itu secara cuma-cuma kepada Rasulullah SAW, tapi Rasul yang mulia tetap membayar mereka dengan harga pantas.
Di tempat inilah kemudian Rasulullah SAW memerintahkan dibangun masjid, yang sekarang kita kenal dengan Masjid Nabawi. Masjid ini dibangun 4 persegi, dengan panjang sekitar 45 meter x 45 meter. Di sisi timur dibangun dua kamar, satu untuk Nabi SAW, dan satu lagi untuk putri bungsunya, Fatimah Az Zahra. Masjid ini kelak menjadi pusat episentrum ajaran Islam. Di tempat inilah Rasul SAW mendidik masyarakat, membangun sistem sosial, pendidikan, ekonomi dan hukum kemanusiaan universal.
Setelah itu, Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar. Kaum muhajirin ini, pergi meninggalkan kampung halamannya, bahkan tidak sedikit yang diputus tali persaudaraanya oleh keluarganya akibat mengikuti agama Muhammad SAW. Mereka memilih Allah dan Rasulnya daripada keluarga, harta dan nyawanya. Dan ketika Rasul SAW mempersaudarakan mereka dengan kaum Anshar, pecahlah tangis mereka, kebahagian mereka membuncah. Kaum anshar ini adalah kaum yang pertolongannya dan keutamaannya di puji-puji oleh Nabi SAW. Mereka bersedia melakukan apapun, memberikan apapun, demi melapangkan jalan dakwah Nabi SAW. Maka karunia apa yang lebih indah dari memiliki saudara seperti kaum anshar, dan kebanggan macam apa yang lebih tinggi dari memiliki saudara seperti kaum muhajirin ?
Persaudaraan dua kaum mulia ini dicatat oleh sejarah. Inilah podasi emas sistem peradaban umat Islam, sebuah benteng persatuan yang berdaya tahan tinggi, dan modal sosial (social capital) yang tak ada habisnya. Nanti dalam sejarah terlihat, bagaimana musuh-musuh Islam berkali-kali mencoba menembus benteng persatuan ini. Mereka mencari celah paling sempit untuk memecah belahnya, namun semua kandas.
Dan setelah merampungkan basis internal kekuatan umat Islam, Rasulullah SAW mulai merancang tata kehidupan sosial politik dengan berbagai kaum yang ada di Madinah. Menurut Syed Ameer Ali, terdapat setidaknya 3 golongan kekuatan politik di Madinah pada waktu itu. Pertama, adalah umat Islam yang terdiri dari kaum muhajirin dan anshar. Kedua, kaum munafikin yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Ubayy, yang berhasrat menjadi raja di Madinah. Niatnya kandas saat kedatangan Nabi SAW yang mulia, pamornya sirna, dan kelompok ini akhirnya berpura-pura tunduk, namun di belakang, mereka tetap menyembah berhala dan memusuhi dakwah Nabi SAW. Ketiga, adalah kelompok Yahudi yang memiliki modal ekonomi begitu tinggi di Madinah. Secara diplomatik, mereka memiliki hubungan khusus dengan kaum kafir Mekah, demikian juga secara ekonomi.[2] Di tempat ini, mereka menempati cluster tersendiri yang begitu ekslusif. Wilayah mereka di kelilingi benteng yang tinggi dengan rancangan yang rumit. Benteng ini bernama Khaibar (dalam bahasa yahudi kuno artinya benteng), sehingga nyaris mustahil ditembus oleh pasukan pada masa itu. Kelak dalam perang Khaibar, benteng ini ditaklukan oleh pasukan kaum Muslimin.[3]
Berdasarkan realitas politik ini, pada tahun pertama Nabi SAW sampai di Madinah, Beliau menawarkan perjanjian perdamaian yang akan menjadi hukum bagi semua kelompok yang ada di Madinah. Beliau membangun sebuah pondasi sistem konfederasi yang tertib dan adil bagi semua. Perjanjian inilah yang kemudian kita kenal dengan nama “Piagam Madinah”.
Berikut ini cuplikan Piagam Madinah tersebut :[4]
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Piagam ini berasal dari Muhammad. Pada kaum muslimin baik kaum Quraisy atau orang Yasrib dan bagi setiap orang dari manapun yang mempunyai kepentingan bersama, maka merupakan satu bangsa.
Kemudian setelah mengatur pembayaran Diyat oleh berbagai suku dan menentukan beberapa peraturan tentang kewajiban pribadi di kalangan kaum Muslimin, piagam itu melanjutkan :
Mengenai keadaan perang atau damai harus ditentukan bersama di kalangan kaum Muslimin. Tak seorangpun di kalangan kaum Muslimin berhak membuat perdamian atau menyatakan perang melawan musuh dari orang seagama mereka. Kaum Yahudi yang menggabungkan diri dengan persemakmuran ini harus dilindungi dari segala macam hinaan dan gangguan. Mereka harus mendapatkan hak yang sama dengan hak kaum Muslimin untuk memperoleh pertolongan dan perlakukan baik.
Kaum Yahudi dari berbagai macam kabilah ‘Auf, Najjar, Harits, Jasym, Tha’laba, Aus, dan cabang-cabang lainnya yang tinggal di Yasrib harus menjadi satu bangsa bersama kaum muslimin. Mereka bebas menjalankan ibadah agama mereka sama dengan kaum Muslimin. Klien dan sekutu kaum Yahudi harus mendapatkan keamanan dan kebebasan yang sama. Yang berbuat salah harus ditangkap dan dihukum. Kaum Yahudi harus bersatu dengan kaum Muslimin untuk mempertahankan Yasrib (Madinah) dari serangan semua musuh. Wilayah dalam kota Yasrib merupakan tempat suci bagi semua pihak yang menerima Perjanjian Perdamaian ini. Budak dan sekutu kaum Muslimin dan kaum Yahudi harus dihormati sebagaimana majikan mereka. Setiap orang Mukmin harus mencela orang yang melakukan kejahatan, aniaya, atau kekacauan. Tak seorangpun boleh membela orang yang salah walau si bersalah itu keluarganya sendiri.
Kemudian setelah mengatur beberapa ketentuan tentang pengelolaan internal Negara, piagam yang luar biasa ini diakhiri dengan kata-kata sebagai berikut :
Segala perselisihan yang terjadi diantara para pihak yang menerima piagam ini harus dikembalikan kepada Tuhan melalui rasul-Nya.
Demikianlah tentang tahun 1 hijrah. Ini adalah tahun yang padat dengan rangkaian peristiwa monumental yang membentuk sejarah peradaban Islam dan dunia. Tahun ini adalah titik balik sejarah kenabian dan risalah yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Setelah tahun ini, risalah kebenaran memancar hingga ke segala penjuru bumi. Revolusi kesadaran menyebar kemana-mana. Satu persatu imperium runtuh, mulai dari kekuasaan klan seperti di Mekah, hingga imperium raksasa seperti Romawi dan Persia.
Dan para pemimpin kaum kafir Mekah, mereka yang dulu bersekongkol di Danu’n-Nadwah untuk membunuh Nabi yang mulia, tidak pernah menyadari, bahwa itulah tahun terakhir penganiayaan mereka pada Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Karena setelah tahun itu, arus sejarah berubah seluruhnya. Dan mereka yang dulu hidup teraniaya, dihina dan terusir dari kampung halamannya, hanya beberapa tahun setelahnya, telah berhasil menjadi pemimpin semua bangsa di dunia. (AL)
Selesai.
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Unta Rasulullah SAW bernama Quswah. Ia dibeli oleh Nabi SAW dari Abu Bakar dengan harga 400 rial pada saat hijrah dari Mekah ke Madinah. Meski awalnya bayaran dari Nabi SAW ditolak oleh Abu Bakar, akhirnya diterima. Unta inilah yang selalu menjadi kendaraan Nabi SAW selama sisa hidup beliau. Unta ini hidup sampai tahun pertama masa kekhalifahan Abu Bakar, atau tak lama setelah tuannya wafat.
[2] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, Hal. 66
[3] Lihat, O. Hasem, Op Cit, Hal. 216-227
[4] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, Hal. 67-68