Kesultanan Demak dipercaya sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Tapi sejarah yang menyelubungi eksistensi kesultanan ini tidaklah secerah nama besarnya. Padahal, kesultanan ini berdiri di salah satu fase paling krusial dalam sejarah di Nusantara, yaitu pertengahan abad ke 15 sampai pertengahan ke 16 Masehi.
Bila kita melacak sejarah masuk dan berkembangnya Islam ke Nusantara, maka kita tidak bisa melepaskan eksistensi Kesultanan Demak dari garis waktu. Umumnya sejarawan menilai bahwa Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa. Di sinilah anasir keIslaman yang sudah dipupuk selama berabad-abad di pulau Jawa untuk pertama kalinya mewujud dalam bentuk identitas politik yang utuh. Dan dari sini pula, penyebaran Islam di tanah Jawa mulai berlangsung secara masif pada masa-masa setelahnya.
Meski begitu, sejarah yang menyelubungi eksistensi Kesultanan Demak tidaklah secerah nama besarnya. M.C Ricklef dalam karyanya berjudul “Sejarah Indonesia Modern” yang diterbitkan tahun 1981 mengatakan sebagai berikut:[1]
“Negara Islam yang paling penting di wilayah pantai utara Jawa pada awal abad ke 16 adalah Demak. Pada masa itu Demak merupakan sebuah pelabuhan laut yang baik walaupun timbunan lumpur yang sangat banyak di pantai pada abad-abad berikutnya telah menjadikan letak Demak dewasa ini beberapa kilometer jauhnya dari laut.
Asal-usul negara ini sangat tidak jelas. Tampaknya Demak didirikan pada perempat terakhir abad 15 oleh orang asing yang beragama Islam, yang kemungkinan besar seorang Cina yang bernama Cek Ko-Po. Putranya adalah seorang yang oleh orang-orang Portugis disebut dengan nama “Rodim”, yang kemungkinan besar sama dengan Badruddin atau Kamaruddin; tampaknya dia meninggal sekitar tahun 1504.
Putra Rodim, atau mungkin adiknya, adalah orang yang menegakkan hegemoni Demak di jawa yang bertahan lama. Dia dikenal dengan nama Trenggana, dan tradisi-tradisi Jawa yang kemudian menyebutkan bahwa dia bergelar sultan walaupun hal ini mungkin bersifat anakronistis.
Trenggana agaknya memerintah Demak dua kali, sekitar tahun 1505-18 dan sekitar 1521-1546; kurun waktu antara dua masa pemerintahan tersebut diisi oleh iparnya, Raja Yunus dari Jepara. Trenggana mengatur perluasan pengaruh Demak ke arah timur dan barat, dan selama masa pemerintahannya yang kedualah kerajaan Hindu-Budha yang terakhir di Jawa Timur runtuh sekitar tahun 1527.”
Tidak hanya asal usulnya yang masih samar, bahkan letak pastinya Kesultanan Demak pun masih diperdebatkan oleh para sejarawan. Dari hasil penilitian IAIN Walisongo Jawa Tengah tahun 1974 tentang bahan-bahan Sejarah Islam di Jawa Tengah bagian utara, telah dilaporkan bahwa ada beberapa pendapat mengenai letak kesultanan (istana kerajaan) Demak, yaitu:[2]
Pertama: bahwa bekas kesultanan Demak itu tidak ada. Dengan keterangan bahwa Raden Patah mulai menyebarkan agama Islam di Demak adalah semata-mata untuk kepentingan agama Islam. Pendirian masjid Demak bersama para walisongo merupakan lambang Kesultanan Demak. Adapun tempat kediaman Raden Patah bukan berupa istana yang megah, tetapi sebuah rumah biasa yg letaknya diperkirakan sekitar stasiun Kereta Api sekarang, tempat itu dinamakan “Rowobatok”.
Kedua: bahwa pada umumnya letak masjid tidak terlalu jauh dari istana. Diperkirakan letak keraton Demak berada ditempat yang sekarang didirikan Lembaga Pemasyarakatan (sebelah timur alun-alun), dengan alasan bahwa pada zaman kolonial ada unsur kesengajaan menghilangkan bekas kraton, pendapat ini didasarkan atas adanya nama-nama perkampungan yang mempunyai latar belakang historis. Seperti nama: sitihingkil (setinggil), betengan, pungkuran, sampangan dan jogoloyo.
Ketiga: bahwa letak kraton berhadap-hadapan dengan Masjid Agung Demak, menyeberangi sungai dengan ditandai oleh adanya dua pohon pinang. Kedua pohon pinang tersebut masih ada dan di antara kedua pohon itu terdapat makam Kyai Gunduk. menurut kepercayaan masyarakat setempat, yang ditanam itu sesungguhnya berupa tombak (pusaka).
Saat ini, sejumlah penelitian masih terus dilakukan untuk memastikan asal usul dan lokasi tepatnya Keraton Kesultanan Demak (jika memang ada). Sejumlah perspektif dari multi-disiplin pun digunakan, mulai dari kajian literatur, antropologis, arkeologis, bahkan geografis dengan menggunakan analisis sedimentasi.[3] Semua upaya itu menunjukkan betapa tingginya signifikasi Kesultanan Demak sebagai salah satu mata rantai sejarah Nusantara.
Tapi tantangan ke sana tentu tidak mudah. Bahkan belakangan, menurut Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo, “Dogma sejarah bahwa Demak adalah kerajaan Islam pertama, pada dasarnya tidaklah benar karena tidak didukung oleh data arkelologi maupun historiografi yang memadai.”[4]
Tapi terlepas dari anggapan tersebut, umumnya sejarawan sepakat – termasuk Agus Sunyoto – bahwa corak keislaman di tanah jawa yang kemudian diwarisi oleh Kesultanan Mataram Islam, bila dilacak kronologisnya, akan bermuara pada Kesultanan Demak.
Tulisan sederhana ini, hanya sedikit upaya untuk mengisahkan sejarah Kesultanan Demak sebagai salah satu aktor penting dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa.
Hal yang juga tak kalah penting, kesultanan ini berdiri di salah satu fase paling krusial dalam sejarah di Nusantara, yaitu pertengahan abad ke 15 sampai pertengahan ke 16 Masehi. Periode ini adalah masa dimana pengaruh imperium Majapahit kian menyusut, dan wilayah Nusantara secara de facto mengalami kekosongan kekuasaan (vacum of power). Sedang di sisi lain, kolonialisme bangsa Eropa dimulai, dan penetrasi pengaruh kekaisaran China kian kuat di perairan Nusantara. Pada masa inilah posisi Demak menjadi salah satu yang paling sentral di panggung sejarah Nusantara. (AL)
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] Lihat, M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hal. 54-55
[2] Lihat, Drs. M. Nur Rokhman, M.Pd., Dkk, Laporan Penelitian Hibah Bersaing: Pengembangan Maket Kerajaan Demak Sebagai Media Pembelajaran Sejarah, (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarta, 2015), hal. 42
[3] Ibid, hal. 44
[4] Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, (Jakarta: Pustaka IIMaN, 2016), hal. 122