Sejarawan Bernard Lewis mengatakan, “Budaya Islam di Timur Tengah adalah yang pertama yang benar-benar internasional, antar budaya, antar ras, dalam arti tertentu, bahkan antar benua, dan kontribusinya bagi dunia modern sangatlah besar.”
Di mana saja Zaman Keemasan Islam Berlangsung?
Pada awalnya Baghdad yang menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah adalah jantung dari Zaman Keemasan Islam. Namun seiring berjalannya waktu, dinasti ini kehilangan pengaruh kekuasaannya di sudut-sudut wilayah yang jauh dari ibu kota, termasuk di Andalusia, yang berada di Semenanjung Iberia di Spanyol dan Portugal modern; Afrika Utara; dan sebagian dari Asia Tengah dan Persia.
Belakangan, banyak dari wilayah-wilayah pinggiran ini yang berkembang menjadi pusat kebudayaan dan pembelajaran yang signifikan dengan cara mereka tersendiri. Misalnya, pada abad ke-10 di Kairo — yaitu ibu kota dinasti saingan Abbasiyah, Dinasti Syiah Fatimiyah — astronom dan matematikawan Ibnu Haitham memimpin studi terobosan dalam bidang optik dan cabang sains lain yang pada akhirnya menjadi inspirasi yang penting bagi Leonardo da Vinci dan lainnya.
Lebih jauh ke barat, di Kordoba pada abad ke-12 — yaitu di Andalusia — kita dapat menemui Ibnu Rusyd, atau di barat dia lebih dikenal sebagai Averroes. Ibnu Rusyd adalah seorang filsuf Muslim yang membela rasionalisme Aristoteles. Dia juga memberikan pengaruh yang besar dan unik kepada dunia filsafat abad pertengahan dari ketiga agama Ibrahim: Yudaisme, Kristen, dan Islam.
Masih di Kordoba, kita juga dapat menemui salah satu sarjana Talmud terbesar sepanjang masa: Moses Maimonides. Oleh sebagian orang dia disebut-sebut sebagai penjelmaan dari zaman keemasan budaya Yahudi di Andalusia.[1]
Meskipun pada akhirnya karena adanya tekanan dari Dinasti Almohad kepada orang-orang Yahudi di Spanyol, Moses bersama keluarganya melarikan diri dan mencari perlindungan kepada Dinasti Fatimiyah di Kairo. Dia terus menetap di sana, dan bahkan ketika Kairo akhirnya dikuasai oleh Dinasti Ayubiyah, Moses menjadi dokter pribadi Sultan Salahuddin Ayyubi.[2]
Siapa saja yang Terlibat pada Zaman Keemasan Islam?
Beberapa kalangan dari sarjana Barat, seperti Eamonn Gearon misalnya, menilai bahwa Zaman Keemasan Islam yang berlangsung selama lebih dari 500 tahun, di mana pertumbuhan kebudayaan dan intelektual berlangsung sedemikian pesat, tidak bisa serta merta dipahami karena adanya dorongan agama.
Eamonn mengakui, benar bahwasanya pertumbuhan kebudayaan dan intelektual yang berlangsung sedemikian pesat ini berada di bawah kepemimpinan para penguasa Muslim. Namun menurutnya ada hal lain yang sama-sama memberikan pengaruh yang besar ketimbang sebatas persoalan agama, yaitu geografis.
Eamonn lebih menyukai bahwa studi tentang Zaman Keemasan Islam bukanlah tentang sejarah Islam — atau salah satu agama yang berkontribusi pada periode menakjubkan dalam sejarah manusia ini. Melainkan, ini tentang sejarah dan pencapaian sebuah peradaban yang menganut Islam sebagai agama negaranya.
Para khalifah Arab Muslim yang mendorong dan mensponsori Zaman Keemasan Islam termasuk di antara yang pertama mengakui hutang yang mereka miliki pada kebijaksanaan Yunani kuno dan lainnya — kebijaksanaan-kebijaksanaan yang, dalam banyak kasus, akan hilang selamanya jika bukan karena jasa para khalifah yang mensponsori gerakan penerjemahan ini.
Masih menurut Eamonn, tetapi juga salah — dan ahistoris — apabila utamanya orang-orang Barat menilai bahwa orang-orang Arab tidak lebih dari sekadar peniru pasif dari ilmu-ilmu kebijaksanaan asing, atau paling buruk, mereka bahkan disebut sebagai parasit yang hanya mengambil dan tidak pernah memberi.
Pada faktanya para sarjana Arab menyumbangkan karya asli yang tak terhitung banyaknya di setiap cabang sains, matematika, teknik, teknologi, dan hampir setiap cabang pembelajaran lainnya. Meskipun demikian, akan keliru jika menyiratkan bahwa kemajuan ilmiah dan intelektual lainnya saat ini dan di tempat ini adalah bidang-bidang yang ada hanya untuk orang Arab. Bukan itu.
Bernard Lewis, sejarawan Inggris-Amerika di Timur Tengah, pernah menulis bahwa, “(Sebelum kebangkitan Islam) hampir semua peradaban… terbatas pada satu wilayah, satu budaya, dan biasanya satu ras.
“Budaya Islam di Timur Tengah adalah yang pertama yang benar-benar internasional, antar budaya, antar ras, dalam arti tertentu, bahkan antar benua, dan kontribusinya — baik langsung maupun tidak langsung — bagi dunia modern sangatlah besar.”
Zaman Keemasan Islam adalah jembatan intelektual penting antara kekaisaran kuno Yunani dan Roma dan kemudian Renaisans Eropa yang dimulai di Florence selama abad ke-14. Bahkan kritikus yang paling bodoh pun dipaksa untuk mengakui bahwa kelahiran kembali budaya Eropa Barat tidak akan terjadi tanpa ditemukannya kembali budaya Yunani dan Romawi.
Dengan demikian, pada saat yang bersamaan para cendekiawan Muslim ini, yang mencerahkan jalannya Zaman Keemasan Islam bukan hanya pemelihara ilmu-ilmu sebelumnya, melainkan mereka juga sebagai inovator bagi hadirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang orisinil dan baru.[3] (PH)
Seri Zaman Keemasan Islam selesai.
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 6.
[2] Ben Zion Bokser, “Moses Maimonides: Jewish philosopher, scholar, and physician”, dari laman https://www.britannica.com/biography/Moses-Maimonides, diakses 9 Mei 2021.
[3] Eamonn Gearon, Op.Cit., hlm 10-11.