Mozaik Peradaban Islam

Zaman Keemasan Islam (3): Penerjemahan Agresif Buku-Buku Asing

in Sejarah

Last updated on May 9th, 2021 03:12 pm

Misi Khalifah Harun al-Rasyid adalah menerjemahkan setiap manuskrip dan buku dengan nilai intelektual apa pun, terlepas dari asal geografis, budaya, atau agama dari mana buku tersebut berasal.

Ilustrasi Khalifah Harun al-Rasyid dan suasana keilmuan di lingkungan istananya. Foto: elregio.com

Kapan dan Mengapa Zaman Keemasan Islam dapat Terjadi?

Mengapa Zaman Keemasan Islam dapat terjadi adalah sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, dan periode tersebut — seperti semua sejarah manusia — harus dilihat sebagai perpaduan kompleks faktor-faktor yang muncul bersamaan pada satu momen tertentu.

Salah satu jawaban yang barangkali perlu dipertimbangkan adalah bahwa kekuatan militer Dinasti Abbasiyah pada awal Zaman Keemasan Islam begitu kuat, sehingga membuat kekhalifahan ini relatif aman.

Dengan kemampuan seperti ini, maka ketimbang menghabiskan lebih banyak biaya untuk menambah pertahanan yang sudah mumpuni, mereka bisa mengalihkan beberapa sumber daya kerajaan untuk penelitian-penelitian ilmiah.

Gagasan terkait lainnya adalah bahwa ukuran Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah yang begitu besar —meliputi Timur Tengah, Afrika Utara, Persia, dan lebih banyak lagi — sehingga hal ini memberikan kontribusi yang besar bagi kemakmuran ekonomi kerajaan ini.

Dengan hamparan wilayah kekuasaan yang sebesar itu, maka itu berarti juga menghadirkan keanekaragaman yang begitu luas, mulai dari kebudayaan, filosofi, agama, dan pengetahuan tentang Yunani, Bizantium, Persia, Cina, India, dan tempat-tempat lain yang diperkenalkan ke dalam masyarakat Abbasiyah.

Sementara itu, kapan dimulai dan berakhirnya Zaman Keemasan Islam masih sangat terbuka untuk diperdebatkan, seperti halnya banyak periode sejarah lainnya. Namun ada satu patokan yang telah digunakan secara luas oleh para sejarawan, setidaknya sejak paruh kedua abad ke-20.

Berdasarkan tanggal-tanggal ini, Eamonn Gearon, seorang profesor Sejarah dan Politik Timur Tengah di Johns Hopkins University School of Advanced International Studies, menentukan bahwa Zaman Keemasan Islam dimulai pada tahun 750 yang bertepatan dengan digulingkannya Dinasti Umayyah yang berbasis di Damaskus dan bangkitnya Dinasti Abbasiyah.

Sementara itu, masih menurut Eamonn, tanggal berakhirnya periode emas ini adalah pada tahun 1258, yaitu ketika tentara Mongol menjatuhkan Baghdad dan menghancurkan gedung pengetahuan dan pembelajarannya — yang disebut Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan).[1]

Adapun waktu yang diajukan oleh Eamonn tersebut, sebenarnya adalah tanggal yang disepakati oleh banyak sejarawan sebagai rentang waktu berdirinya Dinasti Abbasiyah (750-1258). Atau, dengan kata lain dia hendak menyakan bahwa Zaman Keemasan Islam adalah ketika Dinasti Abbasiyah berdiri.[2]

Meski demikian, masih banyak argumen di luar sana yang menyajikan waktu-waktu alternatif kapan dimulai dan berakhirnya Zaman Keemasan Islam. Misalnya: sejak tahun 762, yaitu ketika kota Baghdad didirikan; atau 786, ketika Harun al-Rasyid menjadi khalifah.

Dan begitu pula mengenai waktu berakhirnya, masing-masing tanggal yang berbeda memiliki pendukungnya tersendiri, di antaranya adalah ketika invasi Tentara Salib Eropa pertama di wilayah tersebut pada tahun 1096 atau tanggal-tanggal lainnya yang terjadi jauh setelah tahun 1258 — termasuk akhir abad ke-15 hingga ke-16.

Bagaimana Zaman Keemasan Islam Terjadi

Kemajuan ilmiah dan pencapaian budaya yang menjadi inti dari Zaman Keemasan Islam menyebar keluar dari Baghdad pertama kali dengan bermigrasi melintasi kekaisaran Abbasiyah, dan kemudian ke sudut-sudut wilayah non-Abbasiyah di dunia Muslim.

Kemudian semangat zaman ini dengan segera juga menemukan jalannya untuk menembus ke negeri-negeri non-Muslim, yang pada gilirannya juga mendorong terciptanya semangat belajar di Eropa dan wilayah-wilayah lainnya.

Bagaimana ledakan pencapaian kemanusiaan yang brilian ini menyebar adalah pertanyaan yang penting tetapi seringkali mudah dilupakan. Hal ini dimulai dari Bayt al-Hikmah yang sekarang telah lama hilang dan ketika gerakan penerjemahan buku-buku asing digalakkan oleh Harun al-Rasyid sekitar tahun 786.

Misi al-Rasyid — dan misi khalifah penggantinya secara berturut-turut, yang dimulai dengan putranya, Khalifah al-Mamun — adalah menerjemahkan setiap manuskrip dan buku dengan nilai intelektual apa pun, terlepas dari asal geografis, budaya, atau agama dari mana buku tersebut berasal.

Akibatnya, kebijaksanaan-kebijaksanaan orang Yunani – yang meskipun dianggap musyrik oleh Muslim – diserap dengan amat banyak sebagaimana juga yang berasal dari Kristen Bizantium, Zoroaster Persia, dan Hindu dari India. Gerakan ini adalah pendekatan yang benar-benar mencerahkan sekaligus non-agamis, untuk memperoleh pengetahuan bagi negara adidaya Muslim yang baru bangkit, Kekhalifahan Abbasiyah.

Keilmuan dalam bahasa Arab asli sendiri sebenarnya baru saja muncul pada masa itu. Untungnya, sebagian besar khalifah Abbasiyah menggunakan akal sehat mereka untuk lebih mengandalkan orang-orang Yahudi, Kristen, dan lainnya untuk menerjemahkan. Sebabnya adalah mereka dianggap sudah memiliki asimilisasi budaya yang telah berlangsung selama ribuan tahun di Timur Tengah.[3]

Sebagai contohnya adalah Khalifah al-Mansur yang menunjuk cendekiawan Muslim yang sejatinya berasal dari lingkungan keluarga Kristen yang masuk Islam, dia adalah Ibnu Ishak. Kakek Ibnu Ishak adalah seorang tawanan Kristen Irak yang kemudian masuk Islam. Ayah dan paman Ibnu Ishaq adalah pengumpul hadis-hadis yang disampaikan secara lisan.

Berdasarkan tradisi keluarganya ini Ibnu Ishaq menjadi sangat ahli dalam hal ilmu hadis dan sejarah tentang peperangan dalam Islam (maghazi). Selain itu karena pengetahuannya yang luas yang didapat dari orang-orang Yahudi dia juga menulis Kitab al-Mubtada, yang isinya adalah tentang sejarah penciptaan dan sejarah nabi-nabi pra-Islam. Sepanjang hidupnya Ibnu Ishaq sangat produktif – karena dibantu oleh para putranya – sehingga dia sangat dihargai oleh khalifah Abbasiyah atas usaha-usahanya.[4]

Faktor lainnya yang turut memberikan kontribusi dalam penyebaran pengetahuan yang luas selama Zaman Keemasan Islam adalah munculnya dinasti-dinasti saingan yang juga gandrung akan keilmuan — termasuk di Kordoba, Kairo, dan Samarqand — beriringan dengan meledaknya jumlah pemeluk Islam dari sejak abad ke-8 dan seterusnya.

Para ahli geografi, penjelajah, dan pedagang — baik Muslim maupun non-Muslim — dapat bergerak bebas ke seluruh dunia Muslim pada masa-masa ini, menemukan ide-ide baru saat mereka berkelana.

Salah satu yang paling terkenal dari para pendatang ini adalah seorang pria yang bernama al-Masudi, yang dikenal sebagai Herodotus-nya Arab, yang melakukan perjalanan dari Baghdad ke Persia, India, Sri Lanka, dan Cina. Catatan perjalanannya adalah dokumen yang tak ternilai dari abad ke-10.[5]

Maka, berdasarkan artikel di atas, ada beberapa kesimpulan mengapa pada masa Dinasti Abbasiyah berkuasa Zaman Keemasan Islam dapat terjadi: (1) wilayah yang luas dan relatif aman, (2) penerjemahan buku-buku asing secara agresif, dan (3) munculnya dinasti-dinasti saingan. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 6.

[2] Encyclopaedia Britannica, “ʿAbbasid caliphate”, dari laman https://www.britannica.com/topic/Abbasid-caliphate, diakses 6 Mei 2021.

[3] Eamonn Gearon, Op.Cit., hlm 6-7.

[4] “Ibn Ishaq, Muhammad”, dalam Juan E. Campo (ed), Encyclopedia of Islam (Facts On File, Inc.: New York, 2009), hlm 332-333.

[5] Eamonn Gearon, Op.Cit., 7.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*