Tasannun dan Tasyayyu’, Bertemu Lagi Dalam Tasawuf (1)

in Studi Islam

Last updated on July 7th, 2022 08:21 am

Sebenarnya, jika mau berpikir jernih, semua konflik antar mazhab ini—meski juga selalu melibatkan orang-orang ekstrem dan intoleran di antara kedua belah pihak—lebih banyak didalangi oleh penguasa atau tangan-tangan jahat politik kekelompokan.

Oleh: Haidar Bagir

Gambar ilustrasi. Sumber: tarihnotlari.com

Konflik Sunnah-Syiah sudah berusia berabad-abad. Sampai saat ini pun kita belum bisa membayangkan kapan masalah ini teratasi. Bahkan, ada kesan bahwa persoalan kronis ini seperti makin meroyak. Tak sedikit peperangan di antara umat muslim diwarnai dengan konflik mazhab. Atau, setidaknya, konflik mazhab terlibat di dalamnya. Seringkali malah ditunggangi dan direkayasa untuk menimbulkan sentimen kekelompokan dan kebencian kepada kelompok yang berbeda.

Sebenarnya, jika mau berpikir jernih, semua konflik antar mazhab ini—meski juga selalu melibatkan orang-orang ekstrem dan intoleran di antara kedua belah pihak—lebih banyak didalangi oleh penguasa atau tangan-tangan jahat politik kekelompokan. Sejak pembunuhan Sayidina Utsman, dilanjutkan dengan Fitnah Besar (al-Fitnah al-Kubra) di zaman Sayidina Ali, dan pembantaian Sayidina Husein dan keluarganya di Karbala, tangan-tangan kotor yang mengintai kekuasaan dengan menghalalkan segala cara sudah belepotan kejahatan pecah-belah ini.

Sayangnya, awam termakan dengan plot jahat orang-orang seperti ini. Bukannya tersadarkan, konflik ini diwariskan secara turun-temurun. Kadang mendingin sebentar, lalu memanas lagi saat tangan-tangan jahat politik dan kekuasaan bermain lagi. Padahal, jika mau merenung dengan hati bersih, dan akal sehat, lalu menggali ke kedalaman esensi ajaran kedua mazhab, tak ada perbedaan esensial di antara keduanya. Kalau pun ada perbedaan, maka besarnya perbedaan di antara kedua kelompok bisa dibilang tak lebih besar dibanding perbedaan-perbedaan inter kelompok masing-masing.

Saya berani menyatakan bahwa tak ada satu pun pandangan fikih dalam Syiah—Itsna ‘Asyariyah atau Zaydiyah—yang tak ada padanannya dalam Ahlusunnah. Demikian pula dalam teologi. Dalam pengetahuan saya, pandangan seperti al-amr bayn al-amrayn Syiah pun pada esensinya bisa dibilang sejalan dengan kalam Asy’ari.

Tapi, kali ini, tulisan yang sedang Anda baca ini tidak bicara mengenai hal-hal tersebut, antara lain karena juga sudah banyak dibahas di tulisan-tulisan lain.[1] Tulisan ini akan menyoroti suatu fakta yang mungkin belum banyak diketahui orang. Yakni, bahwa sesungguhnya hubungan kelompok Sunnah-Syiah—di level non-penguasa politik—bukannya tak pernah diwarnai dengan kedamaian. Bahkan di awal-awal sejarah Islam pasca tragedi Karbala.

Di arus bawah, sesungguhnya hubungan antara ulama Sunni—tepatnya, tasannun—dan ulama Syiah—tepatnya, tasyayyu‘— diwarnai interaksi damai dan saling memperkaya, dalam perbedaan-perbedaan yang ada. Masalah ini penting diungkap untuk membersihkan hubungan kedua kelompok dari kekeruhan yang tidak perlu.

Mari kita mulai. Pertama sekali, saya sengaja menggunakan istilah tasyayyu‘ sebagai alternatif terhadap Syiah, dan tasannun sebagai alternatif terhadap Ahlusunnah untuk suatu alasan yang tertentu. Meski lebih sering keduanya diidentikkan, tapi ada suatu tujuan penting—yang akan saya uraikan di bawah— yang hendak saya capai dengan membedakannya.

Tujuan tersebut adalah untuk mengungkapkan bahwa sebenarnya tak ada satu makna tunggal yang tercakup dalam istilah-istilah tersebut. Salah satu sumber masalah terbesar yang menyebabkan konflik Sunni-Syiah adalah pemahaman monolitik tentang kelompok ini, dari kedua belah pihak. Lebih parahnya, kadang pemahaman yang diambil adalah yang ekstrem tentang keduanya.

Tak sedikit kaum Sunni melihat Syiah secara monolitik bukan saja sebagai kelompok Rafidhi—penolak tiga khalifah pertama dari rangkaian Khulafa’ al-Rasyidin— melainkan juga sebagai pencela/pengafir mereka dan banyak sahabat (serta isteri) Nabi. Sementara sebagian Syiah—dari kelompok Rafidhi ini—menganggap bahwa pengikut Sunni adalah pengikut kelompok pembenci keluarga Nabi (nashibi) dan kolaborator Islam Umawi yang menindas mereka.

Sudah tentu kedua pemahaman ini salah, karena hanya melihat dari sudut pandang ekstrem. Pada kenyataannya, kelompok Syiah—bahkan yang menolak keabsahan tiga khalifah pertama itu—tidaklah identik dengan penghujat sahabat. Saya berani mengatakan bahwa mayoritas ulama Syiah sekarang tetap menghormati ketiga khalifah pertama itu, setidaknya karena menganggap mereka adalah manusia-manusia terhormat (bagian dari muqaddasat). Mereka malah melarang penghujatan kepada simbol-simbol suci itu.

Lebih jauh dari itu, bukan hanya kaum Zaydi, bahkan sekelompok Syiah dan ulama Imamiyah Ja’fariyah yang dominan sekarang, tak jarang menyatakan bahwa kekhalifahan tiga khalifah pertama itu absah, meski mereka tetap menganggap bahwa Imam Ali sesungguhnya yang paling afdhal di antara keempat sahabat utama itu. (AL)

Bersambung…

Catatan kaki


* Yang dimaksud “tasawuf” di sini lebih dekat kepada pengertian gabungan antara ‘irfan (teoretis/filosofis) dengan tasawuf praktis (yakni sayr wa suluk, atau disebut suluk saja), sebagaimana diungkap oleh Murtadha Muthahhari. Kenyataannya, bahkan ‘irfan yang sangat filosofis, sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Arabi sekali pun, tak bisa dilepaskan dari suluk. Yang tidak tercakup di sini adalah tarekat, sebagai ordo tasawuf. Karena, di kalangan Syiah, meski sama sekali tak menafikan sentralnya keberadaan Syaikh, tarekat dilihat dengan kecurigaan.

[1] Baca, antara lain, Tim Ahlul Bait Indonesia, Buku Putih Mazhab Syiah Menurut Para Ulamanya yang Muktabar (Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bait Indonesia, 2012).

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*