Tasannun dan Tasyayyu’, Bertemu Lagi Dalam Tasawuf (2)

in Studi Islam

Last updated on July 8th, 2022 09:23 am

Seseorang bisa diakui sebagai Sunni tapi pada saat yang sama ber-tasyayyu‘. Saya memang belum bisa mendapatkan rujukan tentang Syiah yang ber-tasannun. Tapi, seperti saya sebutkan sebelumnya, selain kaum Zaydi, bahkan bukan tak ada kaum Imamiyah Itsna ‘Asyariyah yang menghormati ketiga khalifah pertama sebagai khalifah-khalifah/sahabat-sahabat yang lurus.

Oleh: Haidar Bagir

Sumber gambar: https://in.pinterest.com/

Sudah tentu kuper dan salah fatal juga jika ada orang Syiah yang beranggapan bahwa semua Sunni adalah Nashibi dan Umawi.

Bagaimana bisa? Seperti dikatakan sebagian ulama besar Syiah sendiri, mayoritas—kalau tak mau disebut semua Sunni, kecuali amat sedikit—adalah pencinta keluarga Nabi Saw. Bahkan, bukan tak ada juga tokoh Sunni dalam sejarah Islam, menurut catatan para ulama Sunni sendiri, yang sejak awalnya merupakan pengikut Imam Ali, dan mengunggulkan beliau di atas ketiga khalifah pertama.

Nah, dari sini masuklah kita ke inti persoalan yang akan saya bahas dalam tajuk ini. Secara etimologis, kata tasyayyu‘ mengandung makna sikap mengikuti dan membela oleh sekelompok orang kepada satu pribadi tertentu, secara umum. Namun, kata “Syi’ah”—seperti ditegaskan oleh Kamil Musthafa al-Syaibi—dalam penggunaannya memuat signifikansi khusus, yaitu sekelompok orang yang membela Ali, mengikuti, berdiri di belakangnya, dan menjadikannya sebagai pemimpin (imam) yang diikuti, dan menempatkannya pada posisi yang lebih luhur dari orang-orang sezamannya, kecuali dari Rasulullah saw.[1]

Makna “Syi’ah” yang masih bersifat umum ini juga muncul dalam definisi Abul Hasan alAsy’ari (w. 324 H). Menurutnya, Syiah disebut Syiah adalah karena mereka mengikuti Ali, dan mengunggulkannya di atas semua sahabat Rasulullah.[2]

Ibn Hazm juga sepakat dengan definisi ini. Menurutnya, “Siapa saja yang sepakat dengan Syiah dalam hal bahwa Ali adalah orang yang paling utama setelah Rasulullah, maka dia adalah Syiah—meskipun ia berbeda dengan Syiah dalam hal-hal lain yang juga diperselisihkan oleh umat Islam. Namun, jika ia berbeda dari Syiah dari apa yang kami sebutkan (yakni, soal pengutamaan ‘Ali), maka ia bukanlah Syiah.”[3]

Nah, sekarang lihatlah pandangan para ulama Sunni sendiri:

Syaikh Sa’d ibn Abdullah al-Humaid, dalam bukunya yang berjudul Al-Fatawa al-Haditsiyah, berkata: “(Tasyayyu‘) adalah orang yang menempatkan ‘Ali di atas Utsman (dalam hal keutamaan), senyampang mereka membenci Muawiyah dan ‘Amr ibn Al-Ash (ra).”[4]

Tokoh lainnya, Amir Hasan Shabri, dalam bukunya yang berjudul Mu’jam Syuyukh al-Imam Ahmad fi al-Musnad mengatakan:

Tasyayyu‘ dalam pemahaman (ulama) masa lalu merujuk kelompok (Muslim) yang lebih memilih ‘Ali daripada Utsman, dan membenci orang-orang yang memerangi ‘Ali tetapi sekaligus memohonkan ampunan untuk mereka.”[5]

Dan yang dimaksud dalam definisi-definisi tersebut bukanlah hanya orang-orang yang secara definitif bisa disebut sebagai Syiah, melainkan juga Sunni. Contoh yang gamblang adalah terkait dengan Imam al-Hakim, seorang ahli hadis yang sangat dihormati oleh kaum Sunni.

Al-Hafiz Abil Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi (w. 507 H) pernah memberikan komentar terkait Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Hakim al-Nisaburi (w. 405 H), penulis kitab hadis Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihayn ini, dengan mengatakan:

Saya berkata: Al-Hakim sangat fanatik terhadap Syiah di dalam batinnya, namun menampakkan sikap tasannun dalam hal taqdim dan khilafah. Dia telah menyimpang dan bersikap ekstrem terhadap Mu’awiyah dan keluarganya, secara terang-terangan dan tak merasa bersalah.”[6]

Komentar senada juga muncul dari Al-Hafiz al-Dzahabi (w. 748), yang adalah murid Ibn Taimiyyah. Dalam Siyar-nya, al-Dzhahabi menolak jika Imam Al-Hakim disebut sebagai rafidhi. “Tidak. Dia bukan rafidhi, tapi dia ber-tasyayyu‘”.[7]

Kutipan-kutipan di atas sekaligus menunjukkan bahwa istilah tasannun bisa dipakai sebagai lawan kata istilah “tasyayyu‘”—dengan kata tasannun sebagai bermakna “(ke-sunni-sunnian),” sementara tasyayyu‘ sebagai bermakna “(ke-syiah-syiahan)”. Dan bahwa mutasyayyi‘ tak mesti rafidhi.

Jelasnya, seseorang bisa diakui sebagai Sunni tapi pada saat yang sama ber-tasyayyu‘. Saya memang belum bisa mendapatkan rujukan tentang Syiah yang ber-tasannun. Tapi, seperti saya sebutkan sebelumnya, selain kaum Zaydi, bahkan bukan tak ada kaum Imamiyah Itsna ‘Asyariyah yang menghormati ketiga khalifah pertama sebagai khalifah-khalifah/sahabat-sahabat yang lurus.

Sebagai contoh, Syaikh Ahmad al-Wa’ili—seorang alim Iraq—dengan bahasa yang gamblang, mengungkapkan hal ini. Dan, seperti umumnya Sunni, memberi contoh dengan menyematkan doa radhiyallah ‘anhu kepada masing-masing dari mereka. Ali Syariati pun pernah digelari “Crypto Sunni” karena pendapat-pendapatnya yang berbeda dari pandangan standar Syiah dan lebih dekat ke Sunnah.

Setelah ini nanti, saya akan menyampaikan pandangan sebagian ulama Syiah, yang cenderung kepada tasawuf, yang tak segan-segan memasukkan para sufi Sunni ke dalam golongan tasyayyu‘ ini. (AL)

Bersambung…


Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Kamil Mushthafa al-Syaibi, Al-Shilah bayna al-Tashawwuf wa al-Tasyayyu‘ (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt.), h. 15.

[2] Lihat, Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin (Istanbul: tpn, 1929), h. 5.

[3] Lihat, Abu Muhammad ‘Ali bin Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal (Mesir: tpn, 1321), II: 113.

[4] Lihat, “Fatawa al-Hadisiya”, hal 37, dicetak di Saudi Arabia.

[5] Lihat, ‘Amir Hasan Shabri, Mu’jam Syuyukh al-Imam Ahmad fi al-Musnad (Dar al-Basya’ir al-Islamiyyah, 1413), h. 45.

[6] Lihat, Abul Fadhl Muhammad bin Thahir bin ‘Ali al-Maqdisi, Muntakhab al-Mantsur min al-Hikayat wa al-Su’alat (Riyadh: Dar al-Shumai’i, 2009), h. 354.

[7] Lihat, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1983), XVII: 174.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*