Tasannun dan Tasyayyu’, Bertemu Lagi Dalam Tasawuf (3)

in Studi Islam

Last updated on July 9th, 2022 08:46 am

Dalam studi-studi awal, Imam Bukhari dan Imam Muslim mengambil hadis dari lebih dari 50 orang mutasyayyi’in (yang ber-tasyayyu), bahkan rafidhi. Dan jelas ini bukanlah disebabkan karena ketidaktahuan para imam ahli hadis ini akan ke-tasyayyu- an atau ke-rafidhi-an mereka

Oleh: Haidar Bagir

Sumber: alchetron.com

Sudah menjadi pengetahuan yang diterima luas bahwa para penulis kitab-kitab Shahih menerima bahkan periwayatan hadis oleh orang-orang yang nyata-nyata mereka sebut sebagai memiliki kecenderungan tasyayyu—dalam makna pengunggulan Imam Ali atas Sayidina Abu Bakar dan Umar. Kadang mereka disebut sebagai rafidhi. Sebagian mereka—yang diterima hadis-hadisnya oleh para muhadditsin Sunni—ini dikabarkan bahkan sampai pada tingkat mengecam Sayidina Abu Bakar dan Umar.

Dalam studi-studi awal, Imam Bukhari dan Imam Muslim mengambil hadis dari lebih dari 50 orang mutasyayyi’in (yang ber-tasyayyu), bahkan rafidhi. Dan jelas ini bukanlah disebabkan karena ketidaktahuan para imam ahli hadis ini akan ke-tasyayyu- an atau ke-rafidhi-an mereka—karena riwayat kecenderungan orang-orang (perawi) ini ditulis dengan gamblang dalam kitab-kitab rijal atau jarh wa ta’dil.

Kenyataan ini kiranya menunjukkan kepada kita satu hal penting. Yakni, bahwa batas-batas antara kesunnian dan kesyiahan belumlah senyata itu. Sudah tentu para ulama Sunni memahami adanya perbedaan di antara kedua kelompok, namun mereka masih melihat kelompok yang berbeda itu sebagai sama-sama muslim, sampai sejauh menerima hadis-hadis yang mereka riwayatkan. Artinya, riwayat kebencian dan konflik penuh kekerasan adalah gejala yang relatif belakangan.

Selanjutnya, baru di abad ke-5 H, terjadi perkembangan baru yang di dalamnya tasyayyu menjelma menjadi suatu mazhab definitif dengan ciri-ciri khusus, yang membedakannya dari kesunnian. Salah seorang teolog besar Syiah, Syaikh Mufid (w. 413 H) menambahkan kriteria atas kata Syiah—yang aslinya bermakna “pengikut/pendukung/pembela” (Imam ‘Ali) saja— dan tasyayyu, dengan mengaitkan tasyayyu dengan keyakinan bahwa Imam Ali adalah imam bagi kaum muslimin melalui wasiat dari Rasul dan berdasarkan kehendak Allah, “baik secara nash seperti pandangan Imamiyah, maupun secara sifat (washf) seperti pandangan Jarudiyah dari Zaidiyah.”[1]

Dalam kata-kata Syaikh Mufid sendiri, jika penyebutan “Syi’ah” menggunakan definite article—menjadi Al-Syi’ah—maka secara khusus digunakan hanya untuk menyebut para pengikut Amirul Mukmininl Ali bin Abi Thalib, yang ber-wila’ dan meyakini ke-imam-annya setelah Rasul Saw tanpa jeda, sekaligus menafikan imamah dari orang-orang yang mendahuluinya dalam (urutan) khilafah, serta meyakini Ali adalah sosok yang diikuti (matbu’) oleh mereka (sahabat Nabi) dan tidak mengikuti seorang pun dari kalangan mereka.[2]

Yakni, kelompok kedua ini tetap meyakini secara nash, hanya saja nash itu menyebutkan sifat-sifatnya, bukan pribadinya secara langsung. Definisi ini otomatis meng-eksklusi beberapa kelompok dalam Zaidiyah, seperti Sulaimaniyyah dan Batriyah.

Bersama beberapa tokoh lain di sekitar masa-masa di sekitar ini—termasuk Ibn Babawayh al-Qummi yang dikenal dengan sebutan Syaikh Shaduq (abad ke-4 H), dua bersaudara Syarif al-Radhi dan al-Murtadha (abad ke-4 H)— Syiah pun berevolusi menjadi mazhab yang memiliki akidah (teologi dan kalam) sendiri yang khas, maupun juga mazhab fikih yang berbeda dari yang selama ini dianut oleh umumnya pengikut Sunni, atau kelompok tasannun.

(Sekadar catatan: Omongan soal seorang Yahudi bernama Abdullah ibn Saba’ yang disebut-sebut sebagai penghasut yang mendirikan Syiahisme untuk mengadu domba kaum Muslimin di masa-masa awal itu segera terdengar sangat ahistoris. Bukan saja ada kemungkinan besar bahwa pribadi ini sesungguhnya fiktif—atau setidaknya direkayasa untuk menggelapkan sejarah— kenyataannya butuh waktu sedikitnya 5 abad sebelum terbentuknya mazhab Syiah yang khas dan bisa dibedakan dari Sunnah).

Marshall Hodgson, seorang sejarawan Barat amat terkemuka— termasuk dalam hal peradaban Islam—menunjukkan betapa perkembangan Syiah dari “sekadar” kelompok orang yang mengunggulkan Imam ‘Ali atas Sayidina Utsman, atau menolak keabsahan dua/tiga khalifah pertama, hingga menjadi suatu sekte tersendiri, berjalan secara evolusioner dan dipengaruhi banyak peristiwa historis yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru dan pelan-pelan membentuk doktrin kelompok ini.[3]

Adalah juga merupakan simplifikasi pandangan yang mengatakan tokoh A atau tokoh B, yang hidup di masa-masa sebelum abad ke-5 H ini sebagai Sunni atau Syiah—dalam makna definitifnya di masa sekarang. Seperti sudah ditunjukkan dalam diskusi di atas, perbedaan antara Sunni dan Syiah sama sekali belum se-dikotomis sekarang, bahkan di masa-masa yang mengikuti abad 5 H itu.

Untuk lebih mengungkapkan hal ini, saya akan memberikan sebuah contoh. Di kalangan Thariqah ‘Alawiyah, sempat ada perdebatan, apakah Sayid Ahmad bin Isa al-Muhajir (abad 3-4 H) penghulu kaum ‘Alawiyin di Hadhramawt, adalah seorang Syiah atau Sunni.[4]

Pertanyaan ini sudah salah sejak awal. Imam Ahmad bin Isa, yang hidup di abad 3 H, sudah pasti seorang “Syiah”—atau, mungkin lebih tepat disebut sebagai ber-tasyayyu‘—karena beliau memang adalah keturunan langsung Imam Ali.

Bukan hanya itu, seperti disepakati oleh semua tokoh ‘Alawiyin, doktrin mereka diyakini sebagai ajaran murni yang diturunkan dari Rasulullah Saw melalui Imam Ali—sebagai datuk-datuk mereka—hingga Imam Ahmad dan para keturunannya setelah itu, melewati apa yang disebut sebagai mata rantai emas (al-silsilah al-dzahabiyyah).

Tapi apakah dengan demikian Imam Ahmad bisa disebut sebagai Syiah, sebagaimana istilah ini dipahami sekarang atau setelah abad ke-5 H itu? Tentu saja tidak, karena memang Syiah dalam makna ini belum ada di masa itu.

Jadi, Imam Ahmad bisa disebut sebagai bagian Syiah (Imam Ali) sekaligus sebagai bukan Syiah—dalam maknanya yang sudah berkembang sejak abad ke-5 H itu sampai di zaman sekarang. (AL)

Bersambung…


Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Kamil Mushthafa al-Syaibi, Al-Shilah bayna al-Tashawwuf wa al-Tasyayyu‘ (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt.), h. 16.

[2] Muhammad bin Muhammad bin Nu’man al-Mufid, Awa’il al-Maqalat fi al-Madzahib wa al-Mukhtarat (Beirut: Dar al-Kitab al-Islami, 1983), h. 37-38.

[3] Marshall G. S Hodgson, “How did the Early Shi’a Become Sectarian?”, dimuat dalam Journal of the American Oriental Society 75 (1): 1-13 (1955).

[4] Masalah ini dibahas, antara lain, dalam Muhammad bin Ahmad bin ‘Umar Al-Syathiri, Adwar al-Tarikh alHadhrami (Hadhramaut: Dar al-Muhajir, 1994), h. 160.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*