Tasannun dan Tasyayyu’, Bertemu Lagi Dalam Tasawuf (4)

in Studi Islam

Istilah taqiyyah, berarti tidak mengungkapkan misteri Ilahi—termasuk di dalamnya tidak mengumbar penjelasan-penjelasan esoteris/batini yang diterima dari para imam— kepada masyarakat awam dan bukan menyembunyikan kesyiahan, karena bagi kaum sufi pemisahan mazhab sudah tidak relevan.

Oleh: Haidar Bagir

Gambar ilustrasi. Sumber: kurio.co

Nah, sekarang, kita akan menginjak kepada bagian akhir pembahasan ini. Jika dalam fikih dan kalam tasannun dan tasyayyu‘ berpisah jalan, keduanya justru bertemu dalam tasawuf. Sebelum yang lain-lain, sudah merupakan fakta yang diakui bahwa Imam Ali diterima sebagai penghulu tasawuf/tarekat, bahkan termasuk Naqsybandiyah, yang melacak asalnya dari Sayidina Abu Bakar.

Seperti diketahui, dalam mata rantainya, silsilah Naqsybandiyah melalui nama Imam Ja’far al-Shadiq—yang merupakan cicit Imam Ali dan salah satu yang diyakini sebagai Imam terkemuka kaum Syiah—sebelum berakhir pada Sayidina Abu Bakar. Bahkan ada nama Salman al- Farisi—seorang pengikut dan sahabat dekat Imam Ali—juga.[1]

Kecintaan kaum sufi kepada Imam Ali dan Ahlul Bayt (keturunan Nabi, yang juga merupakan sumber imam-imam Syiah) pun sangatlah menonjol dan sama sekali tak bisa dibilang lebih rendah dibanding kecintaan orang-orang Syiah kepada mereka.

Setelah itu, kita melihat adanya keyakinan-keyakinan mendasar yang di-share oleh kedua kelompok ini. Setidaknya ada dua hal:

Pertama, gagasan tasawuf tentang wilayah (kewalian) yang bersifat esoteris dan imam yang merupakan penunjukan dari Allah SWT — bersama berbagai keyakinan lain yang mengikutinya— yang amat mirip dengan gagasan Syiah tentang Imamah.

Kedua, gagasan tentang adanya lapis-lapis makna (batin) dari ayat-ayat Al-Qur’an.

Masih ada beberapa common beliefs lain, tetapi dua hal ini kiranya cukup untuk menggarisbawahi kesamaan-kesamaan keduanya. Lebih dari itu, kaum Syiah sendiri—bukan tanpa dukungan dari kaum Sunni—melihat bahwa dalam sejarah ada kedekatan di antara nama-nama besar sufi Sunni yang dekat, bahkan menjadi murid para Imam Ahlusunnah.

Beberapa rujukan ke arah ini telah ditunjukkan kemungkinan kekeliruannya. Yakni, bahwa hubungan guru-murid antara para Imam dan tokoh-tokoh sufi besar yang diyakini sebagai Sunni tersebut sebagian besarnya ahistoris,[2] karena masa hidup mereka yang berbeda (paling banter, hubungan guru-murid ini bisa diterima dalam makna spiritualnya).

Tapi, lepas dari itu, tetap saja penerimaan/keyakinan kaum Syiah—dan sebagian Sunni—tentang hal ini, mengungkap adanya persepsi kedua kelompok mazhab mengenai kedekatan—kalau bukan malah identitas—tokoh sufi Sunni dan imam-imam Syiah.

Qadi Nur Allah al-Syusytari, yang dikenal di India dan Pakistan sebagai Syahid-e Tsalits, meskipun merupakan seorang Syiah yang setia, memasukkan dalam catatannya tentang tokoh-tokoh sufi Syiah, nama-nama Bisyr al-Hafi, Syaqiq al-Balkhi, Bayazid al-Busthami, Ibrahim ibn Adham, Yahya ibn Mu’adz al-Razi, Sirri al-Saqati, Junayd al-Baghdadi, al-Syibli, Sahl ibn Abdullah al Tustari, Husayn ibn Mansur al-Hallaj, Syaikh Ahmad Jami, Ibn al-Faridh, Muhyi al-Din ibn al- ‘Arabi, Sadr al-Din al-Qunawi, Najm al-Din Kubra, Sa’d al-Din al-Hamawi, Farid al-Din ‘Attar, Jalal al-Din Rumi, Syekh Sa’di Syirazi, Hafizh, ‘Ala’ al-Dawlah al-Simnani, dan banyak penyair dan wali sufi Sunni lainnya, bersama dengan tokoh-tokoh Syiah yang dikenal sebagai ‘urafa’, seperti Kumayl ibn Ziyad, Bahlul al-‘Aqil, Syihab al-Din al-Suhrawardi al-Maqtul, Sayyid Haydar al-Tuni, dan Sayyid Haydar al-‘Amuli.

Dengan maksud untuk mendekatkan kaum Sunni kepada Syiah, seorang tokoh besar sufi Syiah, Sayyid Haydar ‘Amuli (abad 8 H) mengatakan bahwa al-Tabarri tidak berarti menolak atau menjelek-jelekkan tiga khalifah pertama, tetapi menyiratkan pembebasan dari (hawa nafsu) diri sendiri dan meninggalkan keterikatan duniawi.

Demikian pula, ia menafsirkan kembali istilah taqiyyah, dengan menjelaskan bahwa itu berarti tidak mengungkapkan misteri Ilahi—termasuk di dalamnya tidak mengumbar penjelasan-penjelasan esoteris/batini yang diterima dari para imam— kepada masyarakat awam dan bukan menyembunyikan kesyiahan, karena bagi kaum sufi pemisahan mazhab sudah tidak relevan.[3]

Terbukti pula bahwa kaum Syiah amat mengagumi dan menjadikan panutan tokoh-tokoh sufi besar Sunni, termasuk di antaranya, Ibn ‘Arabi, Jalaluddin Rumi, Khwaja Abdullah Anshari, bahkan Imam Ghazali. Yang tak kalah menarik, bukan tak ada di antara sedikit tarekat yang berkembang di kalangan Syiah—seperti Dzahabiyah dan Ni’matullahi—yang dalam aspek-aspek keagamaannya lebih dekat kepada mazhab Sunni.

Akhirnya, jika kita bandingkan, kitab-kitab manual tasawuf (suluk) dalam Syiah memiliki tema-tema bahasan yang amat mirip dengan kitab-kitab bertema sama di kalangan Sunni. Salah satu yang terkemuka adalah kitab Tuhfah-yi ‘Abbasi oleh Syaikh Muhammad ‘Ali Mu’adzdzin Sabzawari Khurasani.[4] Orang tak sulit melihat, kecuali adanya kutipan dari para Imam Syiah, adanya kesamaan-kesamaan yang menonjol pada tema-tema dan materi-materi bahasannya. (AL)

Selesai

Sebelumnya

Catatan kaki:


[1] 12 Denis Hermann and Mathieu Terrier, Shi’i Islam and Sufism Classical Views and Modern Perspective (London: The Institute of Ismaili Studies, 2020), h. 5.

[2] Denis Hermann and Mathieu Terrier, Shi’i Islam and Sufism Classical Views and Modern Perspective (London: The Institute of Ismaili Studies, 2020), h. 42. Bandingkan dengan Murtadha Muthahhari, Al-‘Irfan (Beirut: Dar al-Wila, 2011), terutama Bab 4, h. 41 dst.

[3] Dalam catatan sejarah, di masa hidupnya Imam Ja’far pernah meng-ekskomunikasi salah seorang yang disebutsebut awalnya sebagai murid beliau. Yakni, Abu al-Khaththab—karena melanggar perintah Imam Ja’far untuk tidak mengumbar ajaran-ajaran esoteris/batini kepada masyarakat awam. Bisa diduga, larangan Imam Ja’far ini terkait erat dengan ucapannya, “taqiyyah adalah din (prinsip)-ku.” Dalam catatan sejarah, Abu al-Khaththab belakangan disebutsebut mempropagandakan khurafat tentang Imam ‘Ali, dan sering disebut sebagai salah seorang yang memulai aliran Syiah ghulat/ekstrem.

[4] Syaikh Muhammad ‘Ali Mu’adhdhin Sabzawari Khurasani, Tuhfah yi-‘Abbasi The Golden Chain of Sufism in Shi’ite Islam (University Press od America, 2008), translated by Mohammas H. Faghfoory.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*