Oleh: Khairul Imam
“Simbolisme arsitektural tidak saja terletak pada aspek keindahan, namun mampu menyejukkan mata dengan permainan warna-warni ornamentasi, tata ruang yang nyaman, dan kekokohan bangunan yang selaras dengan spirit al-Quran dalam menggambarkan penciptaan alam semesta. Simbolisme pun memainkan pemaknaan dalam setiap detail garis, lengkung, dan pola rancang bangun yang menampilkan kekayaan warisan budaya Islam.”
—Ο—
Manusia berbicara melalui perantara bahasa. Dengan bahasa pula ia berpikir, berbudaya, dan berinteraksi dengan lainnya, sehingga terjadi pemahaman di antara mereka. Di dalam bahasa tersimpan simbol-simbol yang menjadi ciri khas manusia. Karena itulah, Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai animal symbollicum, di mana realisasinya terwujud dalam sistem budaya, seperti mite, religi, sastra, seni, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Tak terkecuali dalam beragam artefak dan penemuan arkeologis simbol menjadi bahasa non verbal yang bisa mengkomunikasikan jarak dan waktu antar manusia.
Dalam karya arsitektur, simbol menjadi bermakna dan mencirikan kecenderungan artistik masa lalu. Simbolisme ini tidak lahir dari suatu kebetulan semata, tercipta tanpa niat pekerja seninya, atau muncul begitu saja tanpa makna. Simbolisme dalam arsitektur mengirimkan pesan masa lalu yang diproduksi dalam ruang sosial tertentu agar tersampaikan kepada pembaca masa kini, sehingga terjadi pertukaran makna yang terjadi di balik simbol-simbol yang tersembunyi. Termasuk di dalamnya simbol-simbol religi yang menandakan adanya pertautan pemahaman keislaman seseorang dengan kecenderungan artistik rancang bangun yang kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai arsitektur Islam atau islami.
Pada dasarnya, pengkajian tentang simbolisme dalam arsitektur Islam telah banyak dilakukan. Dua di antara yang paling menonjol dalam kajian simbol, tanda, dan signifikansinya di dalam budaya Islam adalah Rudi Paret dan Jacques Waardenburg. Sementara analisis tentang beragam simbol dan tanda di dalam arsitektur Muslim dilakukan oleh Oleg Grabar. Sebagaimana disebutkan Grabar, Paret membatasi dirinya pada peran observatorium ketika membahas arti simbol dalam Islam. Dia menyatakan bahwa keterbatasan studi terhadap sudut pandang religius dalam menjelaskan makna tanda dan simbol membuatnya lebih bersifat deskriptif daripada interpretatif.
Selanjutnya, Rudi Paret membuat perbedaan antara simbol primer dan sekunder. Simbol primer yaitu ekspresi langsung dari subjek atau objek yang dilambangkan, sementara simbol sekunder bersifat intrinsik yang kemungkinan terwakili dengan sesuatu yang kontradiktif seperti kehidupan dan kematian, atau kegelapan dan cahaya. Dalam hal mistisisme, Paret dipengaruhi oleh Hellmut Ritter, seorang ilmuwan Jerman, untuk melampaui simbolisme deskriptif dan menafsirkan berbagai simbol dan tanda dalam arsitektur Islam. Namun, Paret tidak membahas dampak dari tanda dan simbol arsitektur ini di masyarakat.[1]
Adapun Jacques Waardenburg melakukan penyelidikan tentang beberapa aspek arsitektur Islam. Dalam hal ini ia mempertanyakan apakah Islam yang dipraktekkan dalam pengertian ideologis atau agama. Akan tetapi, metodologinya dalam menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini kurang kuat, dan gagal mencapai kesimpulan yang masuk akal. Waardenburg mengabaikan bentuk visual gaya dekoratif yang digunakan dalam arsitektur Islam namun membawa banyak makna dan simbolisme. Sedangkan karya-karya Hellmut Ritter termasuk di antara studi yang paling elaboratif dalam arsitektur Islam terutama Das Meer der Seels (Leiden, 1955). Dia melampaui makna teologis dari simbol yang digunakan dan mengeksplorasi penguasaan arsitektural dari arsitektur Muslim.[2]
Pemaknaan simbolik dalam arsitektur Islam merupakan bentuk kebebasan yang lahir dari corak komunikasi, dan ini bergantung pada si penerima pesan. Sistem budaya dan pengetahuan dalam hal ini sangat memengaruhi penerima pesan. Antara pengirim dan penerima pesan simbolik ini kemungkinan akan terjadi perbedaan dalam pemaknaan. Makna pun menjadi cair bergantung pada ruang budaya di mana pesan tersebut diproduksi. Di sinilah kekuatan sejarah literatur yang mengambil peran dalam pola interpretasi simbolik. Simbolisme dalam arsitektur Islam, meski multi interpretatif, namun memiliki kejelasan makna karena adanya sistem budaya yang turut memperjelas, serta bentuk seni dan geometri dari ragam arsitektural dalam bentuk bangunan dan ornamentasi artistik di dalamnya.
Jika ditelisik lebih jauh, simbolisme dalam arsitektur Islam akan bersinggungan dengan pendekatan para perenialis seperti T. Buckhardt, SH. Nasr, dan Martin Lings. Didorong oleh ketertarikan mendalam pada wilayah sufisme, mereka menunjukkan bagaimana pengalaman mistik Islam pramodern telah memainkan peranan dalam segala aspek kehidupan, termasuk kreativitas dalam penciptaan. Mereka berpandangan bahwa spiritualis sufi dapat ditarik ke berbagai ragam ekspresi, dan yang paling menonjol dalam ruang lingkup seni dan arsitektur. Karena sufisme lebih dari sekadar objek ketertarikan akademik, alih-alih merupakan jalan hidup sekaligus langkah untuk mencapai pengetahuan.
Dalam melakukan pelacakan simbolik dan kaitannya dengan sufisme, kita tidak bisa lepas dari karya-karya Annemarie Schimmel, Henry Corbin, Louis Massignon, Toshihiko Izutsu, and Hellmut Ritter. Mereka telah membubuhkan kontribusi penting dalam hal interpretasi dan pemahaman terhadap pengetahuan mistik abad tengah, khususnya tentang sufisme. Pendekatan simbolisme secara ekstensif juga dilakukan Mircea Eliade yang telah menuliskan instrumen dalam menemukan ulang piranti metodologis tentang simbolisme. Selain menguraikan dasar metodologi simbolisme religius, Eliade juga mengartikulasikan kerangka teoretis untuk menafsirkan mitologi tradisional dan memahami fungsi sosial dan religiusnya. Penemuannya ini telah memperkuat metode simbolisme dengan memungkinkan “mitos” memainkan peran sebagai mediator yang efektif antara prinsip-prinsip Kitab Suci yang abstrak dengan pengalaman manusia yang konkret.[3]
Mengikuti jejak Sammer Akkach, penulis di sini ingin pula menunjukkan bagaimana simbolisme itu terbangun melalui artikulasi Imam al-Ghazali dalam risalahnya yang berjudul Al-Hikmah fi Makhluqatillah. Ia mengutip dua ayat Qs. Qaf [50]: 6 dan Qs. Ath-Thalaq [65]: 12. Dari kedua ayat ini, ia menjabarkan bagaimana alam semesta laksana rumah yang kokoh, lengkap dengan segala kebutuhannya. Langit menjulang tinggi seperti atap, bumi terbentang layaknya hamparan, bintang-bintang yang dihamparkan ibarat lampu-lampu, dan mutiara yang tersimpan seperti harta terpendam. Allah Swt. juga menciptakan langit dan memberinya warna yang sangat sesuai dengan dan untuk menguatkan mata. Andaikan warna itu berupa sinar atau cahaya, tentu akan membahayakan orang yang memandangnya. Karena memandang warna hijau atau biru itu selaras dengan kekuatan mata. Ketika jiwa memandang langit nan luas, ia merasakan kenikmatan dan kedamaian, terutama ketika bintang-bintang bertebaran dan cahaya rembulan bersinar.[4]
Dari inspirasi al-Quran yang terejawantah dalam penjelasan al-Ghazali maka simbolisme arsitektural tidak saja terletak pada aspek keindahan, namun mampu menyejukkan mata dengan permainan warna-warni ornamentasi, tata ruang yang nyaman, dan kekokohan bangunan yang selaras dengan spirit al-Quran dalam menggambarkan penciptaan alam semesta. Simbolisme pun memainkan pemaknaan dalam setiap detail garis, lengkung, dan pola rancang bangun yang menampilkan kekayaan warisan budaya Islam.
Bersambung
[1] Lihat Oleg Grabar, “Symbols and Signs in Islamic Architecture” dalam Architecture and Community, edited by Renata Holod and Darl Rastorfer (New York: Aperture, 1983), hlm. 26
[2] Ibid.,
[3] Samer Akkach, Cosmology and Architecture in Premodern Islam: An Architectural Reading of Mystical Ideas (New York; Albany Press, 2005), hlm. 5
[4] Abu Hamid al-Ghazali, “Al-Hikmah fi Makhluqatillah” dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali, tahqiq. Ibrahim Amin Muhammad (Kairo: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, tt), hlm. 6