Simbolisme dalam Arsitektur Islam (2)

in Arsitektur

Last updated on January 6th, 2018 10:01 am

 

Oleh: Khairul Imam

 

“Spirit “Allah itu Mahaindah, dan menyukai keindahan” ini menyiratkan makna bahwa segala keindahan bersumber dari Allah, sementara manusia hanya mengemas ulang keindahan itu ke dalam karya seni dan arsitektur”

 —Ο—

 

Arsitektur Islam merupakan perpanjangan tangan dari seni dalam Islam. Ia tercipta berkat perpaduan jiwa seni dan pandangan dunia Islam (worldview) seniman Muslim yang tidak hanya mengandalkan rasionalitas semata, tetapi berusaha menghadirkan aspek terdalam dari konsepsi estetis dan esensi geometris dengan penglihatan batinnya. Sehingga memunculkan simbolisme di balik keindahan dan ketepatan sekaligus menyiratkan makna lain dari sekadar yang tampak mata. Meski memiliki kebebasan menorehkan imajinasi kreatifnya, dalam menjalankan idenya selalu terbimbing dan tak bisa lepas dari dua sumber utama Islam: Al-Quran dan Sunnah. Dalam arti, peradaban Islam adalah konsekuensi dari komposisi seni dengan spiritualitas, filsafat dan emosi religius dari seorang seniman rancang bangun.

Secara tegas bisa dikatakan bahwa arsitektur Islam identik dengan bangunan masjid. Ia terdiri dari beberapa elemen penting seperti kubah, mihrab, mimbar, menara, dan tempat wudhu. Masing-masing memiliki fungsional yang berbeda, dan tentu makna simbolik yang berlainan. Elemen-elemen tersebut mempunyai hubungan penting antara seni dan filsafat dan penerapan arsitektural dalam hal pewarnaan, hiasan arabesque, kaligrafi, ukiran kayu, lukisan ornamen, dan lain-lain.

Seperti kubah pada masjid, kualitas bawaan dan permanen harus diakui sebagai manifestasi kecil dari kubah utama planetarium yang merupakan gambaran surga. Meski model dan bentuknya beragam dan berbeda antara satu bangunan dengan bangunan lain, tetapi ini menandai semangat besar cakupan alam semesta sebagai sumber pertama asal mula seluruh makhluk.[1] Dengan begitu, masjid menjadi simbol kosmos dan epistemologi. Dan untuk melampaui dunia metafisik, maka keindahan rancang bangun harus dihadirkan guna mengantarkan orang-orang agar lebih khusyuk dalam peribadatan mereka.

Kubah dibuat dengan bentuk mengerucut ke atas menuju satu titik. Di situlah muara segala peribadatan yang tertuju pada satu lokus utama. Titik tempat memuncaknya segala permohonan manusia yang baik-baik dan seluruh kebajikan akan diangkat (Qs. Fathir [35]: 10). Di sini akan ditampakkan bahwa Allah adalah pusat orbit yang menyatukan kerajaan dunia dan akhirat sebagai Arsy-Nya. Satu fokus utama dari bumi menuju dunia Ilahi. Sementara ruang sekitarnya sengaja dibuat kosong menandakan bahwa Tuhan tidak bisa dilokalisir ke dalam ruang dan waktu, sehingga memunculkan makna identik bahwa bumi ini secara keseluruhan sebagai tempat bersujud dan beribadah. Selain kubah, makna simbolik juga tersembunyi di balik menara yang merupakan simbolisme api dan cahaya. Menara berbentuk trapesium dan menjulang ke atas menggambarkan proses iluminasi spiritual dan tempat berpijak menuju perjalanan kepada Dzat Yang Mahatinggi.

Pada dasarnya, inspirasi al-Quran dan hadis ini melampaui semua bentuk imajinasi artistik jauh sebelum ide-ide sufistik hadir mencanangkan fondasinya. Dalam hadis disebutkan “Allah itu Mahaindah, dan menyukai keindahan.” Ini  menandakan bahwa keindahan bersumber dari Allah, sementara manusia hanya mengemas ulang keindahan itu ke dalam karya seni dan arsitektur. Antusiasme al-Ghazali dalam memberikan tafsiran tentang kemegahan penciptaan alam semesta seakan ingin menunjukkan betapa cita rasa arsitektural Ilahi ini tak tertandingi.[2]

Biasanya di dalam masjid dilengkapi dengan banyak pintu dengan pernak-pernik keindahannya. Seperti Masjidil Haram di Mekah. Ini diibaratkan sebagai langit yang terdapat banyak jalan. Jejaknya selalu ada sejak ufuk timur sampai ufuk barat, serta tidak pernah kosong dan tidak menghadap gambaran cahaya. Ada yang mengatakan bahwa jalan ini sebagaimana disinggung dalam firman Allah Swt., “Demi langit yang mempunyai jalan-jalan.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 7) Kata “al-hubuk” bisa berarti ath-thuruq (jalan). Atau ada pula yang mengatakan dzatuz zinah, atau yang mengandung perhiasan. Semua itu merupakan bukti-bukti nyata yang menunjukkan adanya Dzat yang menciptakannya.[3]

Ada pula yang mengatakan, jalan tersebut adalah bintang-bintang kecil yang menebal dan berkumpul, hingga bisa dijadikan petunjuk jalan orang yang tersesat dan kebingungan, lalu mengikuti petunjuk arahnya. Gambaran tentang  langit dan penyematan warna-warni yang tidak menjenuhkan mata, terutama warna biru dan hijau menginspirasi para seniman untuk meletakkannya pada karya arsitektural langit-langit sebuah bangunan. Mereka mengeksplorasi bangunan layaknya alam raya nan luas ketika semburat cahaya rembulan bersinar berpadu bintang-bintang yang berpendar sehingga memandangnya akan merasakan kenikmatan dan kedamaian yang tak terkira. Pesona ornamentasi arabesque menunjukkan unsur spiritualitas melalui proporsi, harmoni, kesatuan, keseimbangan. Juga menunjukkan hubungan antara unsur-unsur dalam alam semesta: ruhani dan jasmani. Pola dekoratif yang dibentuk dengan menggunakan daun, vena, dan bentuk geometris semakin menambah kekaguman dan memperkuat imajinasi penyaksinya.

Demikian pula, banyak ayat Al-Quran yang mengilustrasikan bentuk bangunan dan keindahan abstraks yang mengantarkan imajinasi pembacanya. Misalnya peristiwa Nabi Sulaiman dan Balqis yang terekam dalam Qs. An-Naml [27] 20-44. Pada ayat ke-44 Allah begitu rupa menggambarkan kemegahan kerajaan Sulaiman, yang bahkan Balqis yang memiliki kerajaan dengan segenap bala tentara pun takjub dan dibuat tercengang dengan lantai yang terbuat dari kaca. Sehingga, ia pun mengangkat sebagian kainnya karena takut terkena air.

Permainan Cahaya dan Warna dalam Seni Rancang Bangun

Selain sisi geometris, aspek penting dalam arsitektur Islam adalah cahaya dan warna. Keduanya merupakan elemen spiritual dan mistik dalam seni dan arsitektur Islam yang berkaitan dengan esensi identitas unik di samping fungsi estetis dari sebuah ruang. Demikian ini menjadi fakta tersembunyi di balik selubung dunia material dan pluralitas.

Kehadiran cahaya dalam karya arsitektur Islam sangat penting terutama jika dikaitkan dengan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang cahaya (nur). Aspek penting ini dianggap sebagai bentuk penerang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, sekaligus berperan penting dalam jiwa manusia yang melihat Tuhan sebagai sumber cahaya. Hal ini seperti digambarkan dalam al-Quran dan terutang dalam pemikiran para filosof, bahwa “Allah adalah cahaya langit dan bumi.” Oleh karena itu, cahaya menjadi simbol kesatuan dan aspek absolut Ilahi. Allah sebagai kebenaran yang melekat pada semua makhluk dalam teori kesatuan. Keunikan realitas internal yang berhubungan dengan beragam manifestasi. Sebuah perbandingan antara fenomena alam seperti cahaya yang tak berwarna dan tak terlihat dengan keredupan yang terlihat dan berwarna; lahiriah dan batiniah. Konsep ini ditunjukkan dalam Qs. An-Nur [24]: 35.[4] Maka, dengan adanya cahaya maka semua hal yang tak tampak menjadi tampak, dan dengan cahaya Allah, maka segala sesuatu menjadi tampak nyata dan bermakna.

Bersambung…

Simbolisme dalam Arsitektur Islam (3)

Sebelumnya:

Simbolisme dalam Arsitektur Islam (1)

Catatan kaki:

[1] Robab Faghfoori, dkk. “Theosophical Principles of Light and Colour in the Architecture and Decorations of Soltaniyeh Dome” dalam International Journal of Arts, vol. IV, tahun 2014, hlm. 9

[2] Abu Hamid al-Ghazali, “Al-Hikmah fi Makhluqatillah” dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali,  tahqiq. Ibrahim Amin Muhammad (Kairo: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, tt), hlm. 6

[3] Ibid.,

[4] Abu Hamid al-Ghazali, “Misykat al-Anwar” dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali., hlm. 292

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*