Simbolisme dalam Arsitektur Islam (3)

in Arsitektur

Last updated on January 8th, 2018 12:16 pm

 

Oleh: Khairul Imam

 

“Kekayaan khazanah Islam tak akan habis dibahas, karena semua bermuara pada satu sumber: Al-Quran. Semua melalui lisan yang satu: lisan Muhammad saw. Seperti ungkapan kebesaran dan keagungan Allah swt., ketika ilmu Allah ditulis dengan air laut sebagai tinta, maka lautan akan mengering sebelum Kalimat-Nya habis ditulis, meskipun didatangkan berjuta-juta samudera untuk menuliskan kembali firman-Nya.”

 —Ο—

 

Cahaya memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Tanpa cahaya manusia tak akan mampu melihat sekitarnya. Mata terbuka menerima cahaya, menjadikan semua yang ada tampak nyata. Ketika mata tertutup, maka cahaya pun redup, dan mata tak lagi sanggup menembus kegelapan dengan absennya cahaya. Seperti dijelaskan al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar, bahwa Allah adalah cahaya alam semesta, selain cahaya-Nya bersifat majazi. Karena segala sesuatu selain dirinya jika dilihat dari segi dzatnya maka ia tidak memiliki cahaya. Tetapi cahayanya dipinjam dari selain dirinya, lalu cahaya pinjaman itu tidak ditopang oleh dirinya, melainkan oleh selain dirinya. Nisbat peminjaman itu benar-benar majazi.

Aspek terpenting dari arsitektural Islam adalah cahaya. Pun dengan simbolisme filosofis dari proses sampainya cahaya dalam ruangan. Seperti menara, secara fungsional, menara adalah tempat mengumandangkan azan, atau saat ini menjadi tempat diletakkan pengeras suara sehingga panggilan azan atau kumandang ayat-ayat suci melampaui tempat-tempat terjauh. Akan tetapi, dari segi bahasa, menara berasal dari bahasa Arab al-manara yang berarti “tempat cahaya.”[1]

Sebagai tempat cahaya, menara menjadi “corong” untuk memanggil setiap orang agar datang menuju masjid. Cahaya diibaratkan petunjuk Allah, dan pengumandangan azan di atas menara merupakan bias-bias cahaya. Maka, setiap orang yang mendatangi azan setelah dikumandangkannya sama halnya telah beroleh cahaya. Bisa jadi tidak hanya azan, lantunan ayat-ayat suci al-Quran, langgam shalawatan dan lain sebagainya menjadi cahaya yang mampu menembus kerak-kerak di dalam hati manusia yang mau menerimanya.

Dalam hal ini, simbolisme cahaya mendefinisikan batas ruang arsitektur Islam sekaligus mengungkapkan presisi geometris dan keindahan estetis. Cahaya diidentifikasikan melalui prinsip spiritual yang menciptakan, mengatur, dan membebaskan, dan pada saat yang sama menjadi faktor penentu sakralitas karya arsitektur muslim. Sehingga gambaran alam semesta di dalam Islam ditampilkan dengan simbolisme langit biru cerah dan bercahaya yang juga diwujudkan dalam arsitektur. Contoh paling cemerlang di antaranya monumen dan masjid Taj Mahal (1653), Masjid Sheikh Zayed di Abu Dhabi (2003), Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin (1958) yang tampak seperti cahaya yang mengkristal.[2]

Peran mistisisme cahaya menjadi bukti kehadiran Ilahi. Suatu kesatuan yang luar biasa pada Cahaya Ilahi yang berkorelasi dengan ide Neo-Platonis tentang manifestasi Ilahiah dalam konsepsi filsafat. Neo-Platonisme Arab dengan bentuk mistiknya yang agung mengambil posisi terdepan dalam bidang seni, terutama arsitektur di negara-negara Arab. Gambaran cahaya dan kegelapan bersifat determinatif, dengan menciptakan garis batas antara antara hidup dan mati, baik dan jahat, tuhan dan manusia.

Kecenderungan mistik untuk merenungkan tuhan melalui gagasan dominan tentang emanasi ketuhanan tunggal di dunia menjadi dasar tasawuf. Dan ini merupakan konsep penting dalam tradisi pemikiran filsafat Iran baik sebelum dan sesudah Islam. Tuhan Zoroaster (Ahura Mazda) diidentikkan dengan Allah dalam Islam sekaligus mengejawantah dalam cahaya. Setelah terjadi pergeseran kecederungan kepada Islam, manifestasi Zoroaster tidak dihilangkan sama sekali, dan karenanya bersinggungan dengan konsepsi mistik Islam, sehingga saling memberikan pengaruh di antara keduanya. Cahaya sebagai elemen sakral sebelum Islam begitu diperhatikan, dan banyak pula konsep-konsep lain yang kemudian dihidupkan kembali secara serius dan khusus melalui usaha Shihab al-Din Suhrawardi.

Selain tanggapan menarik Suhrawardi dan beberapa filosof Islam lainnya seperti Ibnu Sina atau al-Ghazali tentang penafsiran ayat cahaya, teosofis seperti Najmuddin Kubra, Sheikh Mohammad Lahiji, ‘Ala’ ad-Daulah Semnani dan Najmuddin Razi menawarkan penggalian dan gagasan bernilai mengenai isu-isu cahaya dan warna. Cahaya adalah simbol kesatuan dan aspek absolut Ilahi. Dalam pemikiran Islam, Tuhan merupakan kebenaran inheren atas semua makhluk di dalam teori kesatuan.

Gagasan konsep cahaya Neo-Platonis yang telah diadopsi ini kemudian diekspresikan melalui transformasi arsitektur masjid. Bangunan ini menggunakan kekhasan bahasa arsitektural sampai batas maksimal. Kebanyakan masjid-masjid di era Islam awal, komposisi bagian tengahnya adalah halaman bagian dalam yang lebar dilengkapi dengan air mancur yang dipenuhi cahaya terang. Pada abad ke-12, ajaran filosofis dan teologis sufi mulai menyebar luas, dan pusat komposisi di masjid bergeser ke ruang di bawah kubah yang minim cahaya sekadar sinar matahari yang masuk melalui lubang kubah. Alhasil, tema keagungan semakin intens, didukung dengan rahasia kesadaran tentang Cahaya Ilahi yang semakin meningkat. Pada saat yang sama, halaman tengah tetap menjadi penghubung penting dalam suatu komposisi arsitektural. Halaman persegi panjang yang dilengkapi dengan kolam untuk wudhu di bagian tengah mendahului ruang sholat. Ruang yang diterangi sinar matahari yang memasuki lorong gelap secara bebas melalui ventilasi-ventilasi yang terbuka.

Pada hakikatnya, simbol-simbol lain juga memainkan peranan penting dalam arsitektural Islam. Seperti peletakan air mancur di tengah-tengah bangunan taman atau masjid. Taman dan air mancur yang memancar dari satu sumber kemudian mengalir ke segala penjuru menjadi simbolisme dari mata air sekaligus memberikan nuansa kesejukan layaknya di surga. Ia menjadi representasi dari surga di bumi. Biasanya ini terdapat pada rancangan arsitektur Islam yang mengemuka di wilayah Persia, yang mana wilayah sekitarnya gersang dan cenderung padang pasir. Taman “surga” ini akan terasa lebih lengkap dengan adanya air mancur, taman, tempat-tempat yang teduh, dan pepohonan buah seperti kurma dan buah delima.

Begitu pula dengan permainan pola dalam ornamen, seperti persegi empat (square), segi tiga sama kaki (triangle), bintang (star), dan persegi enam (hexagon). Segi tiga sama kaki merupakan simbol dari kesadaran manusia (human consciousness) dan prinsip keseimbangan. Persegi empat menjadi simbol dari pengalaman jasmani dan dunia material, dan persegi enam menjadi simbolisme dari alam akhirat. Sedangkan simbolis pola ornamen bintang, mulai dari yang memiliki 6, 8, 10, 12, atau 16 titik,  menjadi perlambang kesamaan radiasi dalam semua arah melalui satu titik. Semburat cahaya bintang dari satu titik menjangkau segala arah bermakna bahwa Islam menyebar ke segala penjuru melalui satu titik.

Demikian ini menjadi kekayaan khazanah Islam yang tak akan habis untuk dibahas, karena semua akan bermuara pada satu sumber: Al-Quran. Semua melalui lisan yang satu: lisan Muhammad saw. Seperti ungkapan kebesaran dan keagungan Allah swt., ketika ilmu Allah ditulis dengan air laut sebagai tinta, maka lautan akan mengering sebelum Kalimat-Nya habis ditulis, meskipun didatangkan kembali berjuta-juta samudera.

Bersambung…

Simbolisme dalam Arsitektur Islam (4)

Sebelumnya:

Simbolisme dalam Arsitektur Islam (2)

Catatan kaki:

 

[1]Lihat https://www.almaany.com/. Berdasarkan penelitian K.A.C. Creswell, seorang pemerhati arsitektur Islam dari Inggris bahwasanya tidak ditemukan menara di masjid-masjid zaman Nabi Muhammad saw. Menara baru ditemukan di masjid Damaskus pada 673 M, atau 41 tahun sepeninggal Nabi. Sebelum itu, azan dikumandangkan melalui atap sebuah masjid untuk menjangkau wilayah-wilayah sekitar masjid dengan mengandalkan echo dari pantulan suara di dalam kubah. Lihat, Tabish Ahmed Abdullah dan Safiullah Khan, “Symbolism in Islamic Architecture” dalam SM. Akhtar (ed.), Islamic Architecture at the Cross Road (New Delhi: WellworthBooks International, 2011)., hlm. 132.

[2]Wail Houssin, “Light and Colour Symbolism in Arab Architecture” dalam jurnal Arts and Design Studies, Vol.32, 2015, hlm. 6

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*