“Dalam naskah-naskah sejarah diceritakan, bahwa Arya Wiraraja adalah salah satu pejabat penting dalam Kerajaan Singasari di bawah pemerintahan Sri Kertanegara, dan juga aktor penting yang mendukung upaya Raden Wijaya dalam mendirikan Majapahit. Dengan demikian, fakta keislaman Arya Wiraraja sangat potensial mengubah secara signifikan perspektif kesejarahan Singasari, Majapahit, dan terutama perkembangan Islam di Pulau Jawa.”
—Ο—
Berdasarkan apa yang diungkap oleh Agus Sunyoto dalam karyanya, sementara dapat disimpulkan sejauh ini bahwa kerajaan Islam pertama di Jawa bukan Demak, tapi masih ada Kerajaan Giri – yang menurut laporan Tome Pires, pada sekitar tahun 1513 M dirajai oleh Pate Zainal, yang tidak lain adalah Sunan Giri II, putra Sunan Giri yang memiliki nama abhiseka Prabu Satmata sebagaimana ditulis dalam Babad tanah Jawi, Babad Ing Gresik, dan Serat Kandha. Sebagai catatan, hanya seorang raja yang memiliki gelar prabu.[1]
Tapi tidak sampai di sana, rekonstruksi terhadap narasi sejarah kerajaan Islam di Jawa oleh Agus Sunyoto juga menyingkap adanya kerajaan-kerajaan Islam yang lebih tua dari Kerajaan Giri, yaitu Tuban dan Surabaya.
Berdasarkan laporan dari catatan H. J. de Graaf dan Th. G. Th Pigeaud yang menguraikan silsilah raja-raja pesisir yang berhubungan dengan Majapahit seperti tercatat dalam Sedjarah Dalem, menguraikan bahwa Arya Lembu Sura, raja Muslim dari Surabaya, adalah ayah kandung dari putri rana Penjawi, Permaisuri Raja Brawijaya ketiga Majapahit. Nama “Lembu” dari Arya Lembu Sura, menurut de Graaf dan Pigaeud, menunjukkan kedudukan bangsawan bahkan putra raja. Arya Lembu Sura adalah raja pribumi dan sekali-kali bukan keturunan asing. [2]
Masih dalam Sedjarah Dalem, disebutkan bahwa putri Arya Lembu Sura yang lain dinikahi oleh Raja Islam bernama Arya Teja dari Tuban, yang memiliki putra yang dikenal sebagai Adipati Wilatikta dan putri bernama Raden Ayu Candrawati dengan gelar Nyai Ageng Manila.[3] Putri Arya Teja kemudian menikah dengan Raden Rahmat, atau lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Raden Rahmat diangkat oleh Brawijaya V menjadi imam di Surabaya dan mendirikan pesantren berlokasi di Ampel Delta. Dari perkawinan Nyai Ageng Manila dengan Sunan Ampel, lahirlah Nyai Ageng Manyura, Nyai Ageng Maloka, Nyai Panggulu, Raden Mahdum Ibrahim atau Sunan Bonang, dan Raden Kosim atau Sunan Drajat.[4]
Yang justru mengejutkan adalah asumsi Agus Sunyoto tentang keislaman sejumlah punggawa utama Majapahit yang bahkan turut andil bersama Raden Wijaya mendirikan salah satu imperium terbesar di Nusantara itu.
Narasi Agus Sunyoto dimulai dari nama beken dalam transisi sejarah Singasari ke Majapahit, yaitu Arya Wiraraja – yang berdasarkan kesaksian dari keturunannya adalah seorang Muslim. Keturunan Arya Wirajaya saat ini tersebar di beberapa tempat, di antaranya adalah klan Pinatih di Bali yang beragama Hindu, keluarga Bupati-bupati Surabaya, dan Sultan-sultan Cirebon. Para ketunanannya ini setiap tahun selalu mendatangi makam Arya Wiraraja yang merupakan salah satu situs kuno terletak Biting, Kutorenon, Sukadana, Lumajang, Jawa Timur.
Menurut Babad Pararaton, nama kecil Arya Wiraraja adalah Banyak Wide, yang secara etimologis yaitu, “Banyak” biasanya adalah nama yang disandang kaum Brahmana, sedangkan “Wide” yang berarti “Widya” yang berarti pengetahuan. Jadi nama banyak ‘wide’ sendiri berarti brahmana yang punya banyak pengatahuan atau cerdik.[5]
Terkait tempat kelahirannya, menurut sumber dari Wikipedia, dikenal ada 3 versi tentang kelahiran Arya Wiraraja. Pertama, versi dari penulis Sumenep bahwa ia dilahirkan di desa Karang Nangkan, Kecamatan Ruberu, Kabupaten Sumenep, Madura. Kedua, versi tradisional Bali di mana menurut “Babad Manik Angkeran“, ia dilahirkan di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Ketiga, menurut Mansur Hidayat, seorang penulis sejarah Lumajang, bahwa ia dilahirkan di dusun Nangkaan, Desa Ranu Pakis, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang. Pendapat ini didasarkan pada hasil analisanya dari kisah di Pararaton tentang pemindahan Arya Wiraraja ke Sumenep dalam rangka “dinohken” yang berarti “dijauhkan”, sehingga dimungkinkan ia bukan berasal dari Madura.[6]
Masih menurut Wikipedia, kelahiran Arya Wiraraja di wilayah Lumajang (Lamajang) juga dideduksi berdasarkan pemindahan kerajaannya dari Sumenep ke Lamajang pada tahun 1292-1294 Masehi. Adapun tentang kelahirannya, tokoh ini diperkirakan lahir pada tahun 1232 Masehi karena dalam “Babad Pararaton” dinyatakan ketika terjadi ekpedisi Pamalayu, ia berusia sekitar 43 tahun dan menjadi Adipati Sumenep pada usia 37 tahun. Dalam perjalanan politik selanjutnya, nama Banyak Wide atau Arya Wiraraja lebih mencuat dalam sejarah politik di kerajaan Singhasari.[7]
Dalam naskah-naskah sejarah diceritakan, bahwa Arya Wiraraja adalah salah satu pejabat penting dalam Kerajaan Singasari di bawah pemerintahan Sri Kertanegara, dan juga aktor penting yang mendukung upaya Raden Wijaya dalam mendirikan Majapahit. Dengan demikian, fakta keislaman Arya Wiraraja sangat potensial mengubah secara signifikan perspektif kesejarahan Singasari, Majapahit, dan terutama perkembangan Islam di Pulau Jawa. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 121
[2] Ibid, hal. 123
[3] Kisah tentang Arya Teja dan Adipati Wilatikta juga dijelaskan dalam Babad tanah Jawi, Babad Tuban, dan Serat Kandha. Lihat, Prof. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindi-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LKiS, 2005, hal. 119
[4] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit
[5] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Aria_Wiraraja, diakses 26 Agustus 2018
[6] Ibid. Lihat juga, Mansur Hidayat, “Sejarah Lumajang: Melacak Ketokohan Arya Wiraraja dan Keemasan Lamajang Tigang Juru“. Denpasar: Cakra Press, 2012.
[7] Ibid