“Bagaimana orang bisa mengabaikan bukti-bukti otentik mengenai keimanan Abu Thalib, dan memvonis beliau sebagai kafir? Mengapa orang tidak jujur, tidak adil dan curang dalam menilai orang lain? Apa faktor-faktor yang mendorong lahirnya ketidakjujuran, ketidakadilan dan kecurangan dalam penilaian? Mengapa terjadi manipulasi dalam sejarah?”
—Ο—
Setelah membaca buku “Abu Thalib, Mukmin Quraisy” karya Abdullah Al-Khunaizi, benak pembaca bakal seperti diberondong oleh sederetan pertanyaan berikut: Mengapa orang sampai bisa percaya bahwa seorang Abu Thalib adalah kafir? Bagaimana orang bisa mengabaikan bukti-bukti otentik mengenai keimanan Abu Thalib, dan memvonis beliau sebagai kafir? Mengapa orang tidak jujur, tidak adil dan curang dalam menilai orang lain? Apa faktor-faktor yang mendorong lahirnya ketidakjujuran, ketidakadilan dan kecurangan dalam penilaian? Mengapa terjadi manipulasi dalam sejarah? Mengapa seorang pejuang dan pahlawan bisa dicoreng hitam oleh para penulis sejarah, sedangkan penjahat dan penipu bisa dipuji-puji dan disanjung? Dan akhirnya, kalau kita langsung bertanya kepada Abu Thalib, “Bagaimana engkau ingin ditampilkan dalam sejarah Islam?” Maka apakah kira-kira jawaban yang akan beliau kemukakan?
Sebagian besar pertanyaan di atas sejatinya lebih berkaitan dengan soal kejiwaan daripada soal kesejarahan. Hampir seluruh pertanyaan di atas bermuara pada persepsi dan penilaian (judgment) orang. Menurut para filosof, manusia mula-mula mengamati objek di luar dirinya secara sederhana (simple perception), tanpa melibatkan suatu penilaian (judgment) atau penegasan (assent) mengenai objek tersebut. Setelah menggagas objek yang diamatinya, baru dia akan menilai dan menetapkan putusan dan kesimpulan mengenainya. Pada umumnya, di tahap kedua ini timbul kerumitan dan kekeliruan, mengingat keputusan ini biasanya dipengaruhi oleh suatu jaringan daya dalam dirinya.
Jaringan daya yang mempengaruhi penilaian manusia terdiri atas daya akal, daya khayal, daya syahwat dan daya amarah. Tiap-tiap daya ini bekerja dengan input internal dari fitrah, hati, emosi, ingatan, naluri, susunan hormon, jenis makanan dan lain sebagainya; dan input eksternal seperti keluarga, pendidikan, teman, kelompok, masyarakat, budaya dan lain sebagainya. Pergumulan ini dalam istilah sebuah hadis Baginda Nabi disebut dengan jihâd an-nafs (pertarungan batin). Dan pertarungan ini sebetulnya bekerja untuk mempengaruhi kehendak (iradah) dan pilihan (ikhtiyâr) akhir manusia sebagai pemegang wewenang tertinggi.
Dalam bahasa Al-Qur’an, kehendak atau kebebasan memilih ini diungkapkan dalam beberapa istilah. Di antaranya ialah dengan istilah اراد (arâda) yang berarti mencari sesuatu dengan tenang; سعى (sa’a) yang secara harfiah berarti berjalan dengan cepat dan secara istilah bermakna usaha sungguh-sungguh untuk memperoleh sesuatu; كسب (kasaba) yang bermakna hasil dari upaya; dan lain sebagainya.[1]
Dalam surah Al-Isra’, Al-Qur’an mendahulukan arâda dari sa’a untuk menunjukkan urutan kemunculannya dalam jiwa manusia; irâdah lebih lembut dan lebih dahulu ketimbang sa’y. Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang menghendaki (arâda) kehidupan akhirat dan berusaha (sa’a) menujunya dengan betul-betul dan dia dalam keadaan beriman, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya akan disyukuri (dibalas dengan baik).” (QS 17: 19)
Dalam ayat lain, Allah berfirman: Dan bahwasanya tiada (hasil) bagi manusia kecuali apa yang telah dia usahakan. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (QS 53: 39-40). Dalam surah Al-An`am ayat 164, Allah berfirman: Katakanlah: “Apakah aku akan mencari tuhan selain Allah, padahal Dialah Tuhan segala sesuatu. Dan setiap orang akan (merasakan) kejelekan dari apa yang diupayakannya (kasaba); dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada Tuhan dan Dia akan memberitakan semua hal yang kalian perselisihkan. (QS 6: 164).
Maksud kehendak atau upaya dalam ayat-ayat di atas gampangnya adalah kemampuan untuk bertindak sesuai dengan kehendak dan kebebasan memilih. Secara paradoksal, para filosof sering menyatakan bahwa “Tuhan telah memaksa manusia untuk berkehendak dan bebas memilih.” Mungkin saja ada orang atau kekuatan yang dapat memaksa manusia untuk melakukan sesuatu di masa tertentu. Tetapi, tanpa kehendak dan memilih untuk tunduk, pemaksaan itu tidak akan berlangsung lama. Orang yang dipaksa pasti akan mempunyai kesempatan untuk mematahkan kekuatan yang memaksanya. Dengan demikian, semua tindakan dan penilaian manusia pastilah bersumber dari kehendak dan kebebasan memilih.
Oleh karena itu, dalam segala kerumitan pertarungan batin itu, kita menemukan suatu “konsistensi” perilaku dan penilaian manusia. Allah berfirman: Sesungguhnya manusia itu mengetahui dirinya meskipun ia mengemukakan dalih-dalih. (QS 75: 14-15). Maksudnya, ketika manusia memutuskan sesuatu, dia sepenuhnya menyadari kebaikan dan keburukan akhir dari keputusannya. Akal pasti sudah memberinya pertimbangan baik dan buruk, fitrah juga pasti telah mendorongnya kepada kebenaran dan hati telah menyuruhnya untuk jujur, tetapi kemudian daya syahwat bergandengan dengan daya khayal bekerja untuk menyimpangkan pertimbangan-lurus akal, dorongan-tulus fitrah dan kejujuran hati nurani dengan dalih-dalih pembenaran kehendaknya. (MK)
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] Abu al-Qasim al-Raghib al-Isfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Dar Al-Ma`rifah, Beirut, t.t.