Ahlus-Sunnah Wal-Jamaa’ah: Sejarah Kelahiran dan Perkembangannya

in Studi Islam

Oleh: Haidar Bagir

(Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta)

Yang harus dipahami terkait dengan asal mula mazhab ahlus-Sunnah. Mereka memang mungkin menjauh dari pertikaian, termasuk tidak secara terang-terangan mengambil sikap membela Sayidina Ali ketika terjadinya al-Fitnah al-Kubra (Kekacauan Besar). Tapi, mereka juga bukanlah bukan serta-merta pendukung kelompok Mu’awiyah, apalagi Khawarij.

Gambar Ilustrasi. Sumber: news.detik.com

Banyak ahli, termasuk Fazlur Rahman di kalangan ahli kajian Islam internasional, dan murid beliau, Nurcholish Majid, di Indonesia, berkeyakinan bahwa kelahiran mazhab Ahlus-Sunnah bermula pada masa-masa terjadinya al-Fitnah al-Kubra (Kekacauan Besar) bersamaan dengan masa kekhalifahan Sayidina Ali bin Abi Thalib.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kelahiran Ahlus Sunnah semata-mata merupakan produk politik. Sebagaimana mazhab lainnya, politik bisa saja menjadi pemicu, yang absah (legitimate), bagi kelahiran sebuah mazhab. Tapi selalu ada dasar-dasar doktriner yang lebih asli (genuine) – yakni yang berakar pada penafsiran orisinal suatu kelompok terhadap ajaran Islam – baginya.

Seperti kita ketahui, pada masa terjadinya al-Fitnah al-Kubra, terjadi konflik yang hebat – bahkan tak kurang dari tiga perang saudara – di antara sesama Muslim. Melihat hal ini, dan kenyataan kuatnya politik identitas di antara – setidaknya, sebagian cukup besar – dari berbagai kelompok yang terlibat, sebagian tokoh lain umat Muslim masa itu memilih untuk bersikap netral.

Bisa saja sebagian orang menyatakan bahwa sikap netral di masa itu adalah suatu kesalahan (kenyataannya ada catatan sejarah bahwa Ibn ‘Umar sendiri – yang peran pentingnya akan disebut di bawah ini, menyesalkan sikap netralnya ini di kemudian hari). Tapi kiranya kita juga perlu juga berupaya menempatkan diri kita dalam kekisruhan hebat masa itu.

Bisa jadi lebih sedikit orang bersimpati pada kaum Khawarij, bahkan juga kepada klan Mu’awiyah – meski yang disebut terakhir ini dikenal sangat cerdik, hingga menghalalkan segala cara, dalam berpolitik. Tapi, keterlibatan para sahabat di berbagai kelompok non-khalifah yang sah pada masa itu, bahkan Siti Aisyah, sudah pasti membuat sebagian orang merasa serba salah untuk bersikap. Bukan itu saja, bisa dipahami bahwa mereka boleh jadi berpikiran bahwa kalau pun mereka melibatkan diri, belum tentu hal itu akan memperbaiki keadaan.

Maka, seperti dicatat dalam sejarah, sebagian sahabat – (Abdullah) ibn ‘Umar di antaranya – memilih untuk tetap netral. Menurut sebagian ahli, mereka disebut juga sebagai kaum mu’tazilah, dalam makna yang berbeda dengan aliran kalam rasionalistik bernama sama yang terbentuk belakangan. Mereka disebut mu’tazilah karena memilih i’tazala (memisahkan diri) dari kelompok- kelompok yang bertikai tersebut.

Dalam hal gagasan teologis (kalam), mereka memilih – dalam kontras dengan keyakinan kaum Khawarij yang cenderung mengafirkan – untuk menunda sikap teologis terhadap berbagai kelompok yang bertikai tersebut dan, sebagai gantinya, memasrahkan penilaian (judgment) atas mereka kepada Allah. Karena itu, mereka juga disebut- sebut sebagai cikal bakal kelompok al-Murji’ah.

Inilah hal pertama yang harus dipahami terkait dengan asal mula mazhab ahlus-Sunnah. Mereka memang mungkin menjauh dari pertikaian, termasuk tidak secara terang-terangan mengambil sikap membela Sayidina Ali. Tapi, mereka juga bukanlah bukan serta-merta pendukung kelompok Mu’awiyah, apalagi Khawarij.

Bahwa belakangan – khususnya setelah terbunuhnya Sayidina Ali, lalu juga Sayidina Hasan, dan Sayidina Husein- banyak juga yang kemudian menjadi pendukung Bani Umayah, maka hal ini mesti dikaitkan dengan kecerdikan Bani Umayah yang dengan segala cara  memanipulasi sebagian kaum Muslim untuk mau mendukung mereka – termasuk menekan, melakukan propaganda politik, bahkan juga “menyuap”.

Tentu saja selalu tak tertutup kemungkinan adanya, di luar itu, sekelompok (kecil) yang bisa jadi memang menyimpan benih-benih permusuhan terhadap Sayidina Ali dan para keturunannya. Mereka sering disebut sebagai kaum Nawashib.

Tapi, para pengikut Ahlus-Sunnah yang sejati tentu bukanlah pembenci Sayidina Ali dan keturunannya (ahlul bait). Malah sebaliknya dari itu. Kecintaan Ahlus-Sunnah kepada ahlul bait kiranya sama sekali tak bisa diragukan. Sampai sekarang, di mana-mana di negeri-negeri Ahlus-Sunnah, tradisi mencintai keluarga Nabi Saw amatlah kuat.

Di Nusantara, di Turki, di India, di Afrika (tentu termasuk Mesir), dan di mana saja, kecintaan penduduk muslim Ahlus-Sunnah sangatlah meluap-luap. Apalagi di kalangan yang di dalamnya tradisi sufi amat kuat. Boleh dikatakan bahwa sufisme di kalangan Ahlus-Sunnah adalah semacam spiritualitas Islam yang dilambari oleh kecintaan kepada ahlul bait dan didorong oleh semangat mendapatkan keberkahan dari mereka.

Maka, tak heran jika semua silsilah tasawuf – kecuali satu, yang akan saya singgung setelah ini – berujung pada Sayidina Ali. Bahkan Tarikat Naqsybandiyah, yang berujung pada Sayidina Abibakar, silsilah mereka pun melalui Imam Ja’far ash-Shadiq (bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zaynal Abidin, bin Husayn bin Ali bin Abi Thalib, suami Sitti Fathimah) serta Salman al-Farisi – sahabat utama Nabi yang oleh Nabi sendiri disebut sebagai “bagian ahlul bait” juga.

Kalau pun di luar itu – tentu tidak termasuk di dalamnya kaum Nawashib yang sikapnya sudah jelas itu – ada kelompok-kelompok yang terkadang seperti mengesankan sikap kritis terhadap para tokoh ahlul bait, maka tak bisa dengan serta merta hal itu dianggap permusuhan atau kebencian terhadap ahlul bait. Bahkan terkadang kecintaan dan pemuliaan ahlul bait di kalangan seperti yang saya sebut belakangan ini sampai cenderung eksesif.

Ada, misalnya, Ibn Taymiyah – yang kritis terhadap strategi atau motif pergerakan Imam Husein – yang mewajibkan kafa’ah bagi kaum syaraif (perempuan dari keturunan Nabi Saw) sehingga tak membolehkan mereka dikawini non-Sayid.

Ada juga Ibnul ‘Arabi – al-qadhi (sang kadi), bukan Ibn’ Arabi, Syaikhul Akbar – yang, meskipun lebih jauh dalam menyalah-nyalahkan Imam Husein dalam pergerakannya di Karbala, menyatakan bahwa kencing ahlul bait hukumnya suci (thahir) (sic).

Imam mazhab yang empat di kalangan ahlus-Sunnah pun dikenal sebagai pencinta-pencinta ahlul bait sedemikian, sehingga sebagian dari mereka (khususnya Imam Syafi’i) tak luput dari tuduhan (salah, tentu saja) sebagai Rafidhi (penolak tiga khalifah pertama, karena pemihakannya kepada Sayidina Ali).

Betapa tidak, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik diriwayatkan pernah menjadi murid langsung Imam Ja’far ash-Shadiq, sedang Imam Syafi’i dan Imam Ahmad adalah murid-murid keduanya.

Pemahaman seperti ini kiranya perlu dipunyai oleh semua kelompok Muslim, dari mazhab mana pun, agar bisa lebih menempatkan fenomena keragaman mazhab dalam Islam ini secara lebih adil dan proporsional. (AL)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*