“Di balik berdirinya Al-Quran Al-Akbar, ada sejumlah nama negarawan yang turut berperan penting dalam proses pendiriannya. Mereka adalah Marzuki Alie, Taufik Kiemas, dan Susilo Bambang Yudhoyono.”
–O–
Adalah Syofwatillah Mohzaib yang pertama kalinya mendapatkan ide untuk membuat Al-Quran seperti Al-Akbar. Pada tahun 1995, usai lulus dari pesantren, Syofwatillah memulai bisnis kaligrafi yang dia mulai dari kaki lima. Awalnya dia menulis kaligrafi di media kertas karton. Hingga kemudian bisnisnya terus berkembang, dia mulai mendapatkan order untuk membuat kaligrafi di musholla-musholla dan masjid-masjid.
Puncaknya, pada Ramadhan tahun 2002 dia mendapatkan order untuk membuat kaligrafi di Masjid Agung Palembang. Di Masjid Agung Palembang, Syofwatillah bersama timnya mengerjakan kaligrafi dalam bentuk ukiran di mimbar, pintu, dan daun jendela. Di tengah-tengah proses pengerjaan, suatu malam Syofwatillah tertidur. Di dalam tidurnya dia bermimpi, dia mendapat ilham kenapa tidak membuat Al-Quran saja dalam bentuk ukiran seperti yang sedang dia kerjakan?
Setelah melalui perenungan, Syofwatillah bertekad untuk mewujudkan mimpinya. Kemudian dia menemui kiai-kiai, ulama-ulama, dan pengurus di lingkungan Masjid Agung Palembang untuk berkonsultasi dan menyampaikan idenya. Gayung bersambut, mereka menyatakan mendukung ide pembuatan Al-Quran dari ukiran kayu tersebut. Namun terdapat kendala, ternyata biayanya besar sekali, yakni 1,2 miliar Rupiah. “Kau harus cari dari mana uang sebanyak itu?” Ujar para ulama, sebagaimana diceritakan oleh Syofwatillah kepada reporter Gana Islamika 16 November 2017.
Kemudian, atas saran para ulama, Syofwatillah disuruh menemui salah seorang tokoh masyarakat di Palembang. Tokoh ini dikisahkan pada tahun tersebut merupakan seseorang yang sukses dalam karirnya di pekerjaan. Dia adalah salah seorang direktur di perusahaan PT. Semen Baturaja (Persero) Palembang yang aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan di Masjid Agung Palembang, serta gemar membantu dalam kegiatan-kegiatan sosial. Tokoh tersebut bernama Marzuki Alie. Di kemudian hari Indonesia akan mengenal Marzuki Alie sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) periode 2009-2014.
Singkat kata, Syofwatillah dan Marzuki bertemu, dan dia menyatakan kesediaannya untuk mendukung ide Syofwatillah. Lalu Marzuki meminta Bakti Setiawan, Direktur Utama Semen Baturaja, untuk turut serta membantu dalam proyek ini. Bakti kemudian bersedia untuk menjadi Ketua Umum tim pencarian dana proyek pembuatan Al-Quran Al-Akbar, dan yang bertindak sebagai ketua hariannya adalah Marzuki Alie.
Masih di tahun 2002, Marzuki didaulat menjadi Ketua Peringatan Tahun Baru Islam di Masjid Agung Palembang. Dalam pidatonya di Masjid Agung Palembang, Marzuki menyampaikan kendala dana pembuatan Al-Quran kayu ukir khas Palembang terbesar di dunia. Mendengar keluhan Marzuki, Taufik Kiemas (Alm) yang pada waktu itu merupakan Bapak Negara Republik Indonesia, juga hadir di sana, dan secara spontan langsung memberikan bantuan. “Beliau langsung menyumbang untuk lima juz dan atas nama lima orang,” cerita Marzuki.[1] Secara nominal, total uang yang disumbangkan oleh Taufik pada waktu itu adalah sebesar 200 juta Rupiah.
Proyek pembuatan Al-Quran dijalankan sambil panitia terus mencari kekurangan dananya. Pada tahun 2003 akhir, Al-Quran sudah selesai dibuat sampai 20 juz, namun lagi-lagi dana menjadi kendalanya. “Saya ngutang sana ngutang sini, gali lobang tutup lobang, saya pernah jual mas kawin istri saya…. Ketika itu macet, saya sudah pontang-panting, hutang sudah banyak,” kata Syofwatillah menceritakan masa-masa sulit pembuatan Al-Quran tersebut.
Tidak disangka, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polhukam) datang ke Palembang. Panitia mengajak SBY untuk melihat sebagian ukiran Al-Quran yang sudah jadi. Setelah itu SBY menyumbang sejumlah dana, dan turut serta mengajak masyarakat lainnya untuk mendukung penyelesaian proyek Al-Quran Al-Akbar. Berkat bantuan SBY, proyek dapat berjalan kembali sampai dengan tahun 2004. Sayangnya di tahun itu proyek terhenti lagi karena dananya masih juga kurang.
Demikianlah proyek itu terus menerus maju dan berhenti dengan suka dan dukanya sampai kemudian akhirnya di tahun 2008 selesai. Pada tahun 2009, Syofwatillah menyerahkan lembaran-lembaran kayu ukiran Al-Quran Al-Akbar ke Masjid Agung Palembang untuk dievaluasi oleh para ulama. Ulama membutuhkan waktu 2 tahun untuk mengevaluasi sampai akhirnya Al-Quran Al-Akbar dinyatakan isinya sudah benar dan tidak ada kesalahan. (PH)
Bersambung….
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Muhammad Akbar Wijaya, “Kisah Marzuki Alie dan Taufik Kiemas Soal Alquran Kayu Raksasa”, dari laman http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/08/mo2ukf-kisah-marzuki-alie-dan-taufik-kiemas-soal-alquran-kayu-raksasa, diakses 10 Desember 2012.