Abu Nashr Muhammad ibn Tarkhan ibn Al-Uzlagh Al Farabi lahir di Wasij, di Distrik Farab (yang dikenal dengan nama Utrar) di Transoxiana, sekitar 870 M, dan wafat di Damaskus pada 950 M. Sangat sedikit yang diketahui dari hayat Al Farabi. Kebanyakan informasi biografis muncul tiga abad setelah wafatnya. Dan sebagian catatan terpanjang tentangnya sangat meragukan kesahiannya.
Dari banyak biografi yang ditulis tentang sosok fenomenal ini, tampaknya tulisan Yamani yang cukup jelas menggambarkan perjalanan intelektual dan politik sosok agung ini. Berikut redaksi Ganaislamika sajikan profil agung Al Farabi yang di tuturkan Yamani dalam buku “Antara Al Farabi dan Khomeini; Filsafat Politik Islam”, Bandung, Mizan, 2002, Hal. 51-59
Yang bisa kita ketahui soal latar belakang keluarga Al Farabi adalah bahwa ayahnya adalah seorang opsir tentara keturunan Persia (kendatipun nama Kakek dan nama Kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki) yang mengabdi kepada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah. Barangkali saja bahwa masuknya keluarga ini ke dalam Islam, terjadi pada masa hidup Kakeknya, Tarkhan. Peristiwa ini kira-kira bersamaan dengan peristiwa penaklukan dan islamisasi atas Farab oleh Dinasti Samaniyyah pada 839-840 M. Barangkali Al Farabi bicara Bahasa Soghdian, sebuah dialek Persia lama, atau juga dialek Turki di rumah, bahwa keluarganya menjunjung tinggi adat istiadat Turki.
Kenyataan bahwa Al Farabi adalah putra seorang militer, cukuplah penting. Karena hal ini memisahkan dirinya dari filosof-filosof Islam abad pertengahan lainnya. Tidak seperti Ibn Sina yang ayahnya bekerja dalam birokrasi Samaniyyah, atau Al Kindi yang ayahnya adalah Gubernur Kufah. Al Farabi tidak termasuk dalam kelas katib, suatu kelas yang memainkan peran administratif yang besar bagi penguasa-penguasa Abbasiyah beserta satelit-satelit mereka.
Hubungan Al Farabi dengan patron berpengaruh sangat mungkin terjadi berkat latar belakang militer tersebut. Seperti kita ketahui, pada zaman Al Farabi tentara khalifah terutama terdiri dari pasukan-pasukan Turki. Barangkali melalui hubungan keluarga ini pulalah Al Farabi memiliki akses ke para sekretaris (Negara) atau kuttab (jamak : katib) dan wazir di Baghdad yang menjadi patron filsafat, seperti Ibn Al Furat, ‘Ali bin ‘Isa, dan Ibn Muqlah. Risalah besar Al Farabi mengenai musik, misalnya, ditulis atas permintaan wazir Abu Ja’far Al-Karkhi. Hubungan baik Al Farabi dengan para pemuka Sammaniyyah tampak bermanfaat pula bagi dirinya ketika di Mesir, yang pada masa itu diperintah oleh ‘Ikhsyidiyyah dari Asia Tengah.
Lingkungan Politik
Periode akhir Abbasiyyah merupakan masa yang didalamnya kekuasaan khalifah mengalami kemunduran, sedangkan yang sesungguhnya berkuasa adalah dinasti-dinasti baru, yang kebanyakan adalah Turki dan Persia, dan berasal dari batas luar. Pada akhirnya, dinasti-dinasti ini menguasai Baghdad itu sendiri, dan khalifah pun praktis merupakan boneka di tangan mereka.
Inilah zaman yang berbeda, tidak saja dalam konfigurasi fisis empirium yang terbentuk dari bangsa-bangsa polyglot dan polietnis, tetapi juga dalam sudut pandang teologis, kendatipun pada umumnya di mana-mana diwarnai oleh semangat Islam yang besar. Mu’tazilah belum takluk oleh Asy’ariyyah. Hanbaliyyah mengalami kebangkitan. Para faqih dan teolog Syi’ah – yang untuk pertama kalinya mendapat dukungan dari dinasti-dinasti yang juga menganut Syiah – mulai merumuskan peraturan-peraturan hukum dan kredo mereka, setelah gaibnya Imam Kedua Belas. Inilah zaman ketika tasawwuf aktif, namun juga zaman ketika tasawwuf mendapat penganiayaan yang giat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh eksekusi atas Al-Hallaj (922 M) dan sufi lainnya. Pada umumnya di Baghdad “kecenderungan ideologis yang dominan adalah kecenderungan konservatisme dan intoleransi”.
Namun di batas luar, istana “para amir satelit”, seperti Samaniyyah dan Hamdaniyyah, mendorong kebebasan intelektual dan literar. Sangatlah mungkin bahwa Al Farabi melihat dalam contoh Dinasti Samaniyyah awal – yang memerintah Transoxiana selama masa hidupnya – adanya himpunan bangsa yang multikultural dan multirasial, yang loyal pada pemerintah pusat (baik dalam skala yang besar, yaitu hubungan pemerintah Samaniyyah pusat dengan Kekhalifahan ‘Abbasiyyah ; maupun pada skala yang lebih kecil, yaitu hubungan berbagai negara kota Samaniyyah dengan pemerintah Samaniyyah pusat) yang dalam tulisan-tulisan politiknya digambarkan sebagai “ Negara yang baik sekali”.
Para penguasa Samaniyyah, pada masa muda Al Farabi, adalah Nashr ibn Ahmad (875-892 M) dan Isma’il ibn Ahmad (892-907 M), yang notabene adalah dua menguasa Samaniyyah pertama. Semula ibu kota pemerintahan Nashr adalah Samarkan. Namun, setelah Nashr mengalami kekalahan dalam pertikaian sengit dengan saudaranya, Isma’il, yang menjadi Gubernur Bukhara, Bukhara menjadi ibu kota pemerintahan.
Khalifah Abbasiyyah ketika Al Farabi lahir adalah Al Mu’tamid. Al Mu’tamid mengangkat Nashr ibn Ahmad menjadi gubernur untuk seluruh Transoxiana kendatipun fakta menunjukkan bahwa Isma’illah yang memenangi pertikaian. Isma’il menghormati pengangkatan ini sampai kematian saudaranya pada 892 M. setelah kemenangan Isma’il atas Saffariyyah, Isma’il – pendiri sejati Negara Samaniyyah – mendapat pengakuan dari Khalifah. Seperti yang ditulis oleh Frye, Isma’il “sangat dihormati dalam semua sumber (yang menulis tentangnya) karena kualitas-kualitas baiknya sebagai penguasa, sungguh hampir sebagai penguasa ideal”. Isma’il memperluas wilayah Samaniyyah “ke segala arah”.
Samaniyyah adalah orang-orang muslim yang saleh yang bermahzab Hanafi. Mereka memajukan dakwah di kalangan orang Turki, dan mendukung penerjemahan karya-karya religious, maupun karya-karya medis serta belles lettres (tulisan dan studi kesusastraan), dari Bahasa Arab ke Bahasa Persia. Adalah Samaniyyah yang memprakarsai gerakan untuk melestarikan Bahasa Persia, yang mendorong Firdausi untuk menulis Syahnamah-nya. Perpustakaan di Istana Samaniyyah di Bukhara, memang terkenal ke seluruh Imperium. Zaman keemasan Samaniyyah disebut-sebut berlangsung pada pemerintahan Nashr ibn Ahmad, penguasa Samaniyyah ke empat (914-943 M). Pada masa inilah Bukhara termasyur sebagai pusat ilmu dan kesusastraan. Tampaknya, pada pemerintahan Nashr II, tidaklah mengejutkan kalau pakar-pakar seperti Al Farabi merasa perlu pergi ke barat, yaitu ke Baghdad, karena disinilah para pakar tersebut dapat memiliki akses ke sumber-sumber yang tidak ada di Timur pada zaman itu.
Pendidikan Al Farabi
Barangkali, sebagai seorang muda, Al Farabi belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara. Sebelum diciptakannya sistem madrasah dibawah Seljuq, menuntut ilmu berlangsung dalam lingkungan-lingkungan pengajaran yang diadakan oleh berbagai individu, baik di rumah mereka ataupun dimasjid. Selain itu, sebagai individu maupun berbagai istana di seluruh imperium, mempunyai perpustakaan besar. Perpustakaan-perpustakaan ini menyambut hangat para pakar yang hendak melakukan studi. Ada dikotomi tertentu antara ilmu-ilmu Islam – seperti tafsir, hadist, fiqih, serta ushul – (prinsip-prinsip dan sumber-sumber agama), dan studi tambahannya, seperti studi bahasa Arab dan kesusastraan – dan apa yang disebut ilmu-ilmu asing. Yaitu ilmu-ilmu Yunani yang memasuki dunia Islam melalui penerjemahan oleh orang-orang Kristen Nestorian, seperti Hunain ibn Ishaq (w.873 M) dan mazhabnya. Lembaga pendidikan pada umumnya bersifat tradisional, yang mendapat dukungan finansial dari wakaf, sedangkan ilmu-ilmu rasional biasanya diajarkan di rumah atau di dar al-‘ilm.
Setelah mendapatkan pendidikan awal, Al Farabi pergi ke Marw. Di Marw inilah Al Farabi belajar logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan.
Pada masa kekhalifahan Al Mu’tadid (892-902 M) baik Yuhanna ibn Hailan dan Al Farabi pergi ke Baghdad. Segera saja Al Farabi unggul dalam ilmu logika. Al Farabi selanjutnya banyak memberikan sumbangsihnya dalam penempaan sebuah bahasa filasafat baru dalam Bahasa Arab, meskipun menyadari perbedaan antara tata Bahasa Yunani dan Arab.
Pada kekhalifahan Al Muktafi (902-908 M) atau pada tahun-tahun awal kekhalifahan Al Muktadir (908-932 M), Al Farabi dan Ibn Hailan meninggalkan Baghdad, semula – menurut Ibn Khallikan – menuju Harran.
Dari Baghdad tampaknya Al Farabi pergi ke Konstantinopel. Di Konstantinopel ini, menurut satu sumber, dia tinggal selama 8 tahun mempelajari seluruh silabus filsafat.
Karir Al Farabi
Antara 910 dan 920 M, Al Farabi kembali ke Baghdad untuk mengajar dan menulis. Reputasinya sedemikian rupa sehingga dia mendapat sebutan sebagai “guru kedua” (Aristoteles mendapat sebutan “guru pertama”). Pada zamannya, Al Farabi dikenal sebagai ahli logika. Menurut berita, Al Farabi juga “membaca” (barangkali mengajar) Physics-nya Aristoteles 40 kali, dan Rhetoric-nya Aristoteles 200 kali. Ibn Khallikan mencatat bahwa tertulis dalam satu copy De Anima-nya Aristoteles, yang ada ditangan Al Farabi, pernyataannya bahwa dirinya telah “membaca” buku ini 100 kali.
Murid-murid Al Farabi sendiri, yang disebutkan namanya, hanyalah teolog sekaligus filosof Jacobite Yahya ibn ‘Adi (w. 975) dan saudara Yahya, yaitu Ibrahim. Yahya menerjemahkan karya-karya Yunani dari Bahasa Suryani ke Bahasa Arab. Yahya sendiri menjadi guru logika yang terkemuka : “sebenarnya separo jumlah ahli logika Arab pada abad ke sepuluh adalah muridnya”.
Pada 942 M, situasi di ibu kota dengan cepat semakin memburuk karena adanya pemberontakan yang dipimpin oleh seorang mantan kolektor pajak, Al-Barirdi. Kelaparan dan wabah penyakit meralela. Khalifah Al Muttaqi sendiri meninggalkan Baghdad untuk berlindung di istana Pangeran Hamdaniyyah, Hasan (yang kemudian mendapat sebuta kehormatan Mashr Al Daulah) di Mosul. Saudara Nashir, ‘Ali, bertemu khalifah di Takrit. ‘Ali memberi khalifah makanan dan uang, agar khalifah dapat sampai ke Mosul. Kedua bersaudara Hamdaniyyah ini kemudian kembali bersama khalifah ke Baghdad untuk mengatasi pemberontakan. Sebagai rasa terima kasih, khalifah menganugerahi ‘Ali gelar Saif Al Daulah.
Al Farabi sendiri merasa akan lebih baik pergi ke Suriah. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah, di Damaskus Al farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun, dan di malam hari belajar teks-teks filsafat dengan memakai lampu jaga. Al Farabi terkenal sangat saleh dan zuhud. Al Farabi tidak begitu memedulikan hal-hal dunia ini. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah, Al Farabi membawa manuskripnya yang berjudul Al Madinah Al Fadhilah – manuskrip ini mulai ditulisnya di Baghdad – ke Damaskus. Di Damaskus inilah manuskrip tersebut diselesaikannya pada 942/3 M.
Juga pada masa inilah Al Farabi setidak-tidaknya melakukan satu perjalanan ke Mesir, (Ibn Abi Usaibi’ah menyebutkan tahunnya, yaitu 338 H, setahun sebelum Al Farabi wafat) yang pada saat itu diperintah oleh Ikhsyidiyyah. Ikhsyidiyyah ini semula dibentuk oleh opsir-opsir tentara dari Farghanah di Asia Tengah. Menurut Ibn Khallikan, di Mesir inilah Al Farabi menyelesaikan Siyasah Al Madaniyah yang mulai ditulisnya di Baghdad.
Setelah meninggalkan Mesir, Al Farabi bergabung dengan lingkungan cemerlang filosof, penyair, dan sebagainya, yang berada di sekitar Pengeran Hamdaniyyah yang bernama Saif Al Daulah. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah, disinilah Al Farabi menerima gaji yang kecil, yaitu 4 dirham sehari. Ibn Khallikan menuturkan kisah yang menawan (dan barangkali fanatik) tentang diterimanya Al Farabi di Istana Daulah, ketika – kendatipun Al Farabi mengenakan pakaian Turki yang aneh (yang menurut Ibn Khallikan pakaian seperti itu selalu dikenakan oleh Al Farabi), dan juga diperlakukan aneh – Al Farabi membuktikan pengetahuannya dalam berbagai Bahasa (menurut Ibn Khallikan, Al Farabi mengaku mengetahui lebih dari tujuh puluh Bahasa) maupun bakat musiknya yang luar biasa. Al Farabi berhasil membuat seluruh hadirin tertawa, kemudian menangis, kemudian tertidur pulas. Meskipun kebenaran kebenaran cerita ini diragukan, banyak informasi mengenai dijumpainya jenis pengetahuan musik sepertu ini di negeri-negeri Timur Tengah.
Al Farabi wafat di Damaskus pada 950 M. Usianya pada saat sekitar 80 tahun. Al Qifti mengatakan bahwa Al Farabi meninggal ketika sedang dalam perjalanan menuju Damaskus bersama Saif Al Daulah. Menurut informasi, Saif Al Daulah dan beberapa angggota istana melakukan upacara pemakamannya.
Lebih dari 100 karya disebut-sebut telah dilahirkan oleh Al Farabi. Beberapa sumber menyebut 70 judul. Namun, semuanya sudah tak ada. Al Farabi menulis berbagai ulasan mengenai karya-karya Aristoteles, menulis banyak karya logika, maupun karya-karya politik yang membuatnya mendapat sebutan filosof politik pertama Islam.