Al-Quran dan Perempuan (1): Peran Hafshah dalam Kodifikasi Al-Quran

in Studi Islam

Last updated on October 14th, 2018 02:06 pm

Perempuan itu, Hafshah binti Umar namanya. Ia begitu cerdas membaca, melafalkan, dan menghafalkannya di luar kepala. Ia merekam jejak-jejak Al-Quran. Menuliskannya pada pelepah kurma, menyalinnya dengan aksara yang lebih terbaca. Mempertanyakan makna dan maksudnya pada sumber ketiga. Rasulullah Saw. mengoreksi lembaran demi lembaran, lalu menyebarluaskannya sebagai pedoman seluruh umat manusia.

—Ο—

 

Ilustrasi gambar: islamidia.com

Al-Quran adalah kitab suci umat Islam. Seluruh umat Islam mengetahui bahwa ia merupakan Kalam Suci Tuhan yang diwahyukan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. Kehadirannya mampu membius manusia untuk setidaknya melirik pada ungkapan-ungkapan di dalamnya. Beragam apresiasi ditujukan pada Al-Quran, baik apresiasi positif maupun negatif. Mengeja, melantunkan, menghapal, memaknai, menafsirkan. mereka yang terhipnotis menjadikannya sebagai obat bagi kegundahan jiwa, menjalankan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan menjadikannya sebagai kompas dalam kehidupannya. Begitu jumawanya kitab ini sehingga ia terus hidup, dihidupkan, sekaligus menghidupkan di dalam sanubari setiap orang melintasi waktu empat belas abad lamanya.

Membincangkan Al-Quran dalam lintasan sejarah, seakan kita berada di ambang samudera tak bertepi. Setiap jengkalnya mengundang decak kagum yang tak berkesudahan. Di awali dengan peristiwa uzlah Nabi menjelang turunnya wahyu al-Quran di gua Hira, hingga penulisan dan kodifikasi pada masa Umar yang diputuskan pada masa Utsman. Otentisitasnya yang selalu terjaga, bukan hanya terjaga dalam sanubari para sahabat penghafal al-Quran. Lebih dari itu, karena ada kekuatan Ilahi yang terus mengawal perjalanannya hingga batas waktu yang tak bisa ditentukan.

Proses kodifikasi Al-Quran ini bermula pasca kecamuk perang Yamamah pada tahun 12 H. Perang antara kaum Muslim melawan orang-orang murtad dari para pengikut Musailamah al-Kadzab ini telah merenggut nyawa para penghafal al-Quran. Kurang lebih sekitar 70 orang penghafal al-Quran yang gugur pada perang itu. Melihat kejadian itu, maka Umar pun mendatangi Abu Bakar dengan segenap ide pembukuan al-Quran. Hal ini sebagaimana terungkap dalam riwayat Zaid bin Tsabit, “Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah. Dan ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata: Umar menghadap kepadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak, terutama dari kalangan penghafal Al Quran. Aku khawatir kejadian serupa akan menimpa para penghafal Al-Quran di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al-Quran. Menurutku, sudah saatnya engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Quran, lalu aku berkata kepada Umar: Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah? Umar menjawab: Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan. Kemudian Umar terus mendesakku untuk melakukannya, sehingga Allah melapangkan hatiku, dan aku menyepakati usul Umar untuk mengumpulkan Al Quran.”

Dalam riwayat lain, Abu Bakar terus membujuk Zaid seraya berkata, “Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar. Kami tidak meragukan hal itu. Dulu engkau menulis wahyu (Al-Quran) untuk Rasulullah, maka sekarang periksa dan telitilah Al-Quran itu kembali, lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf.”  Zaid pun menimpali, “Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung, hal itu tidak akan lebih berat dariku daripada mengumpulkan Al-Quran.” Kemudian Zaid pun mulai meneliti Al-Quran dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain. Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar. Setelah ia wafat, mushaf itu disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, lalu disimpan oleh putrinya, Hafshah binti Umar, janda Rasulullah saw.

***

Peran perempuan yang bernama Hafsha binti Umar tidak bisa diabaikan. Ia adalah putri ‘Umar bin al-Khattab, salah seorang pembela utama Nabi sekaligus satu di antara empat khalifah ar-Rasyidun. Hafshah dinikahi Rasulullah sekitar tahun 625, dan menjadi istri keempatnya. Akan tetapi beberapa sumber mengatakan bahwa hubungan mereka sangat singkat, lalu beliau menceraikannya. Sumber lain menggambarkan bahwa Hafshah adalah perempuan yang sangat pandai dan melek huruf. Bahkan satu sumber mengatakan bahwa Hafsha memprotes suaminya atas relevansi ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran.

Mengenai peran Hashah dalam kodifikasi Al-Quran, Profesor Ruqayya Khan, ketua Islamic Studies di Claremont Graduate University, California, merilis sebuah penelitian yang ia beri judul: “Did a Woman Edit the Quran? Hafsa’s Famed Codex.” Khan mengklaim bahwa Hafshah telah mentranskrip, dan kemudian menyebarkan ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya, ini sangat menarik di tengah gelombang pendiskreditan perempuan. Pada kenyataannya, Hafshahlah satu-satunya istri Nabi yang memiliki kecerdasan intelektual melebihi istri-istri yang lain. Dia berpikir, berdebat, dan selalu mengajukan pertanyaan. Dari semua istrinya, ia mungkin satu-satunya yang dapat membaca dan menulis. Beberapa dari mereka mungkin mengerti cara pelafalan sesuatu, tetapi mereka tidak mengetahui cara menulisnya.[1]

Dalam hal ini, Khan mengutip sebuah riwayat Abdullah bin Wahb (w. 812 H) yang  bersumber dari Urwah bin Zubair (w. 712 H), seorang ahli hukum Madinah yang terkenal dan perintis penulisan sejarah. Di dalamnya, Hafshah dengan jelas digambarkan sebagai sosok yang fasih melafalkan, menulis, bahkan mengedit materi Al-Quran. Pada satu kesempatan, Nabi Muḥammad menginstruksikan Hafshah menuliskan ayat-ayat Al-Quran untuknya. Demikian pula, ayahnya, Umar, menganggapnya sebagai otoritas dalam bidang Al-Quran, baik lisan dan tulisan, karena suatu ketika ia pernah mencarinya untuk memilah-milah bacaan dari ayat-ayat Al-Quran.

Abul Aswad meriwayatkan bahwa Urwah bin al-Zubair berkata, “Orang-orang berselisih pendapat tentang bacaan “Orang-orang yang tidak percaya dari kalangan Ahli Kitab… (QS Al-Bayyinah [98]: 1), Sehingga Umar bin al-Khattab mendatangi Hafshah dengan membawa sepotong kulit. Ia berkata: Ketika Rasulullah datang kepadamu, mintalah kepadanya untuk mengajarimu tentang ayat ‘Orang-orang yang tidak percaya dari kalangan Ahli Kitab…’ Lalu katakan pada beliau untuk menuliskannya untukmu di atas kulit ini. Kemudian beliau melakukannya dan menuliskan untuknya. Bacaan ini pun menjadi umum dan tersebar luas.

Dalam hal ini, Hafshah digambarkan sebagai sosok yang berhati-hati dan sangat menjaga dalam melepaskan lembaran-lembaran materi Al-Quran kepada khalifah Utsman. Menariknya, sebagaimana sumber dari Abdullah bin Wahb, Utsman menggunakan istilah mushaf untuk mendeskripsikan materi Hafshah.[2] Hal ini sebagaimana terekam dalam Shahih al-Bukhari, misalnya, disebutkan bahwasanya Hudzaifah bin Yaman datang menghadap Utsman bin Affan ra. Sepulang dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Ia merasa khawatir melihat perbedaaan orang-orang pada dialek lafaz-lafaz Al-Quran, ia mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka terpecah belah dalam hal Kitab Allah SWT. seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman pun segera mengirim seseorang kepada Hafshah ra. “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang, agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya. Lalu kami akan mengembalikannya kepadamu!” Hafshah pun mengirimkan mushaf tersebut.

Dengan demikian, Hafshah secara berkesinambungan dianggap sebagai penjaga dokumen asli Al-Quran. Sepanjang hidupnya ia terus berusaha mencegah upaya Marwan ibn Hakam, gubernur Madinah, yang hendak menghancurkan lembaran-lembaran miliknya dihancurkan. Sayangnya, setelah ia meninggal pada tahun 665, Al-Quran versi Hafshah dihancurkan oleh Marwan.[3] Tindakan ini serasa menyudutkan kaum perempuan. Peran perempuan dalam kodifikasi Al-Quran, seperti yang diwakili oleh Hafshah, dianggap kurang memadai. Sementara salinan miliknya sekadar dikatakan sebagai salinan pribadi yang tidak penting. Padahal, bisa jadi koleksi Hafshahlah di antara sekian banyak ayat Al-Quran yang terus kita rapalkan hari-hari ini. (KI)

Bersambung ke:

Al-Quran dan Perempuan (2): Para Perempuan Penerjemah Al-Quran

Catatan kaki:

[1] “Woman Help Write Quran” dalam https://www.vocativ.com/culture/religion/woman-help-write-quran/index.html

[2] “Was a Woman the first editor of the Qur’an?” http://www.medievalists.net/2014/04/woman-first-editor-quran/

[3] Ibid.,

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*