Alawi (1): Sebuah Minoritas di Suriah

in Studi Islam

Last updated on April 11th, 2018 07:32 am

Alawi sebagai sebuah identitas komunal-religius, baru muncul pada sekitar tahun 1920, atau ketika Perancis menduduki wilayah Suriah.  Menurut Torstein, di Suriah, istilah “Alawi” atau “Shi’a” atau “Maronite” tidak hanya merujuk pada identitas etnik atau ideologi agama, tetapi juga ke suatu wilayah, sistem politik-ekonomi, repertoar budaya yang luas, dan sejarah.”

—Ο—

 

Siapa yang tak kenal Suriah? Negara yang sekarang sedang melakoni perang bharatayudha melawan kekuatan semesta. Sejak tahun 2012, sudah berton-ton bom dan mortar berjatuhan di tanah Syam ini, tapi alih alih luluh lantak, sekarang mereka justru mulai berhasil membalik keadaan. Salah satu tokoh kunci kekuatan bangsa ini tidak lain adalah Presiden Bashar al-Assad. Seorang yang dikenal oleh barat sebagai diktator turun temurun. Ia mewarisi kursi kepresidenan Suriah dari ayahnya, Hafiz al-Assad. Anehnya, keluarga Assad berasal dari satu kelompok minoritas di Suriah. Tidak hanya minoritas, tapi kelompok ini juga pernah mengalami perlakukan diskriminatif dari beberapa penguasa di Suriah. Kelompok monoritas tersebut bernama Alawi.

Selama konflik Suriah berlangsung, nama kelompok ini kerap kali dimunculkan. Tapi identitasnya masih menjadi perdebatan baik di kalangan ilmuwan hingga ke masyarakat awam. Lantas, siapa kelompok Alawi, dan bagaimana mereka bisa sampai ke puncak kekuasaan Suriah?

Secara demografis, Suriah merupakan negara dengan tingkat heterogenitas yang cukup tinggi. Letak geografisnya yang berdiri di antara benua Asia dan Eropa, membuat wilayah ini memilik kekayaan historis yang luar biasa. Wilayah ini hampir selalu masuk menjadi salah satu bagian utama dari Imperium global yang berdiri, baik di kawasan Asia maupun Eropa, seperti Romawi, Islam, dan kolonisme bangsa Eropa. Masing-masing kekuatan historis yang datang tersebut telah turut membentuk skema demografi, struktur sosial, kebudayaan dan juga sekte-sekte agama di Suriah. Racikan unsur-unsur tersebut pada tahap tertentu telah melahirkan sebuah “rangkapan identitas” kelompok, yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini juga yang terjadi dengan kelompok Alawi.

Torstein Schiøtz Worren, dalam tesisnya berjudul “Fear and ResistanceThe Construction of Alawi Identity in Syria”, menyebutkan bahwa hampir 90% penduduk Suriah adalah etnis Arab. Yang dimaksud dengan Arab di sini, adalah penduduk yang menggunakan Bahasa Arab. Selebihnya mereka adalah Kurdi (9%), sedang sisanya Armenia dan Circasia. Dilihat dari agama dan sekte, mayoritas penduduk Suriah bermahzab Sunni. Ini dikarenakan imperium raksasa terakhir yang paling berpengaruh di wilayah tersebut adalah Ottoman. [1] Sensus terakhir yang menghitung sekte dan agama minoritas di Suriah terjadi pada tahun 1956 pada saat populasi berjumlah delapan juta. Dari sensus tersebut, terdata jumlah kelompok Sunni 75% dari populasi, diikuti kelompok Alawi 11%,[2] Kristen dari denominasi yang berbeda 10 persen, dan sisanya Druze 3%,[3] serta ada sejumlah kecil kelompok Isma’ili, Syiah Dua Belas, dan minoritas Syiah lainnya.

Terkait identitas Alawi sendiri, sebenarnya para sejarawan belum menemukan jejak historis yang jelas. Ini disebabkan, Alawi sendiri lebih seperti identitas kebatinan (Sinkretisme), ketimbang identitas material. Sehingga sulit untuk diidentifikasi secara objektif. Menurut Daniel Pipes, “Jangankan pihak luar, identitas kebatinan Alawi bahkan tersembunyi dari sesama mereka.”[4]

Padangan yang umumnya sekarang berkembang menyatakan bahwa mereka adalah pecahan dari sekte Syiah dua belas. Mereka hidup terutama di daerah pegunungan Latakia (Lāḏeqiya), yang dikenal sebagai Jabal al-anṣāriya, sekarang biasa disebut Jabal al-ʿAlawiyin “Pegunungan Alawit,” di pantai barat laut Suriah, di mana mereka merupakan populasi terbesar di wilayah ini, yang mencapai hampir dua pertiga penduduk.[5]

 

Torstein Schiøtz Worren, Fear and Resistance; The Construction of Alawi Identity in Syria, Master thesis in human geography, Dept of Sociology and Human Geography, University of Oslo, 2007. Hal. 40

Yang mengherankan, Alawi sebagai sebuah identitas komunal-religius, baru muncul pada sekitar tahun 1920, atau ketika Perancis menduduki wilayah Suriah.  Menurut Torstein, di Suriah, istilah “Alawi” atau “Shi’a” atau “Maronite” tidak hanya merujuk pada identitas etnik atau ideologi agama, tetapi juga ke suatu wilayah, sistem politik-ekonomi, repertoar budaya yang luas, dan sejarah. Alawi sendiri lebih menyebut mereka sebagai satu kelompok identitas komunal yang berbeda dari sifat kebudayaan dan sejarah masyarakat lain di Suriah. Akibatanya, hal tersebut membuat Perancis mendorong orang-orang Alawi untuk mendefinisikan diri mereka sebagai identitas komunal-regius yang terpisah, seperti yang mereka lakukan juga terhadap sekte Druze.[6]

Menurut Torstein, yang mengutip Landis, “bahwa pada tahun 1920 ketika Prancis memperluas kendali mereka atas Suriah, tidak ada penduduk Alawi yang terdaftar sebagai penduduk di kota-kota pesisir – Latakia, Jable, Banias, atau Tartus. Mereka secara efektif dikhususkan untuk Sunni dan Kristen. Bahkan, sensus Prancis pertama menunjukkan bahwa Alawi dan Sunni hidup bersama di kota yang berpenduduk lebih dari 200 jiwa! … Alawi berbagi kota dengan orang Kristen, tetapi bukan diidentifikasi sebagai Sunni. Hanya setelah pendudukan pemerintahan Perancis, Alawi mulai bermigrasi ke kota-kota besar di pantai.”[7] (AL)

Bersambung…

Alawi (2): Apa dan Siapa Mereka?

Catatan kaki:

[1] Torstein Schiøtz Worren, Fear and Resistance; The Construction of Alawi Identity in Syria, Master thesis in human geography, Dept of Sociology and Human Geography, University of Oslo, 2007.

[2] Jumlah mereka 15% dari penduduk Suriah atau 3.5 juta rakyat dari 23,1 juta penduduk di Suriah (sensus 2011), Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Alawi#cite_ref-1, diakses  8 April 2018

[3] Druze (juga dikenal sebagai Druse; bahasa Arab: darazī درزي, maj. Durūz دروز) adalah sebuah komunitas keagamaan yang basisnya umumnya terdapat di Timur Tengah. Kelompok ini muncul dari agama dan agama, termasuk filsafat Yunani. Kaum Druze menganggap dirinya sebagai “sebuah sekte Islam Uniat, terpisah” (Catatan 1), meskipun mereka tidak dianggap Muslim oleh kebanyakan Muslim di daerah tersebut. Kaum Druze menyebut dirinya Umat Monoteisme atau Muwahhidūn (“Monoteis”). Asal usul nama Druze ditelusur ke Muhammad ad-Darazī, yang terkenal sebagai pendiri sekte ini. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Druze, diakses 8 April 2018

[4] Lihat, Daniel Pipes, The Alawi Capture Of Power In Syria, http://www.jstor.org/stable/4283331, diakses 8 April 2018

[5] http://www.iranicaonline.org/articles/nosayris

[6] Lihat, Torstein Schiøtz Worren, Op Cit, hal. 44

[7] Lihat, Ibid, hal. 43

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*