“Salah satu naskah rujukan yang dijadikan rujukan banyak pihak untuk menjelaskan teologi Alawis, adalah publikasi salah satu kitab suci rahasia mereka, bernama Kitāb al-Majmū’, pada tahun 1859 M. Tidak jelas alasannya menerbitkan kitab tersebut. Juga tidak pernah ada verifikasi yang cukup valid untuk memastikan keaslian kitab tersebut. Tapi hampir semua narasi historis tentang kelompok Alawi saat ini, bila dilacak referensinya, tidak lain adalah kitab ini.”
—Ο—
Dari apa yang sudah disampaikan pada edisi sebelumnya, setidaknya kita bisa berasumsi bahwa Alawi lebih tepat disebut sebagai tradisi kebatinan ketimbangan identitas kultural, etnis, apalagi agama. Sebagai sesuatu yang sangat samar, wajar saja bila pelacakan identitas terhadap kelompok Alawi ini kerap kali menemui jalan buntu. Tapi menjadi sangat disayangkan, ketidakmampuan tersebut ternyata telah melahirkan spekulasi dari banyak pihak, yang hal tersebut terbuntut pada pendeskriminasian terhadap mereka. Bahkan nama Alawi sendiri, atau berbagai identitas lain yang disandangkan pada mereka adalah hasil definisi dari pihak luar, bukan berasal dari mereka. Meski pada abad ke-20, mereka sendiri akhirnya mulia menyebut identitas mereka sebagai Alawi.
Tentang nama Alawi atau ‘alawīūn, adalah identitas yang digunakan untuk menunjukkan kelompok Alawi di Suriah hari ini. Penamaan ini dipakai secara umum maupun dalam diskursus resmi di dunia. Terkait apakah kelompok yang dimaksud tersebut (Alawi) menyebut diri mereka sendiri seperti itu, belum bisa dipastikan. Tapi belakangan, tampaknya pelebelan nama tersebut, memang sudah mereka terima sebagai identitas kelompok mereka. Hal ini bisa diverifikasi dari penamaan situs resmi mereka alaweenonline.com. Tapi uniknya, mereka kerap menyebut diri mereka dengan terminologi “Alawi Muslims”. Menurut Torstein Schiøtz Worren, tampaknya ini sebagai upaya mereka untuk merekatkan diri mereka dengan berbagai faksi yang ada di Suriah – yang memang secara komposisi, adalah mayoritas.
Torstein Schiøtz Worren, dalam wawancara penelitiannya dengan beberapa anggota kelompok Alawi menemukan, bahwa ternyata kelompok ini sebenarnya tidak terlalu senang dengan panggilan-panggilan yang dinisbatkan kepada mereka dan tradisi yang mereka jalani. Tapi salah satu alasan mengapa pada akhirnya mereka menerima panggilan tersebut, disebabkan Alawi terasosiasi dengan figur Ali bin Abi Thalib, yang memang mereka hormati dan sangat mereka akui keutamaanya. Ini sebabnya banyak pihak yang menyatakan mereka sebagai pengikut, atau pecahan dari Syiah dua belas.[1] Tapi ini agaknya hanya spekulasi. Karena bila melihat fakta materialnya, tata cara sholat dan beribadah Bashar al-Assad misalnya, selalu menunjukkan bahwa ia menerapkan fiqih yang biasa digunakan dalam ajaran Sunni ketimbang Syiah.
Menurut versi yang lain, disamping menunjukkan makna asosiasi dengan sosok Ali bin Abi Thalib, kata Alawi juga secara kultural kerap digunakan sebagai panggilan bernada satir dari pihak lain terhadap kelompok mereka. Menurut versi ini, kata Alawi adalah penamaan yang menunjukkan satu masyarakat yang menetap di Jabal al-ʿAlawiyin atau “Pegunungan Alawit.” Mereka tinggal terisolir dengan kerangka budaya dan tradisi sendiri di gunung tersebut. Mereka dianggap sebagai masyarakat yang liar dan kurang beradab. Sehingga panggilan Alawi sendiri me-refer istilah ‘orang dari gunung’ (sha’b al-jibāl). Ini maksudnya adalah agar mereka kembali ke tempat asal mereka, dalam makna pengusiran.[2]
Selain Alawi, identitas lain yang kerap juga digunakan pihak lain untuk menunjukkan kelompok ini adalah istilah Nusayris (nuşayrīūn) atau kadang-kadang Ansaris (anşārīūn). Inilah identitas asosiasif yang umum digunakan masyarakat, baik di Suriah maupun di dunia, untuk melacak jejak historis mereka. Hari ini, bila kita lihat Wikipedia, ensiklopedia, ataupun naskah-naskah akademik, umumnya semua merujuk pada makna asosiasi ini. Celakanya, dari sini pula umumnya masyarakat dunia mendefinisikan identitas kekuasaan Suriah saat ini, berikut narasi historisnya yang aneh.
Dalam Encyclopedia Iranica disebutkan, bahwa nama sekte Noṣayris, muncul terutama dari sumber-sumber non-Noṣayri. Oleh sebab itu nama Noṣayris sendiri sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Beberapa ahli percaya bahwa istilah tersebut adalah penyederhanaan dari kata naṣārā (Kristen). Hal ini mengingat, doktrin sekte ini yang mirip dengan doktrin trinitas yang ada di agama Kristiani. Tapi arti yang jauh lebih populer dari itu bermaksud mengasosiasikan kelompok ini dengan nama Abu Šuʿayb Moḥammad bin Noṣayr Namiri (atau Nomayri), murid ʿAli al-Hādi (w. 254/868) dan Ḥasan al-ʿAskari (w. 260 / 873–4), Imam ke-10 dan Ke-11 dari akidah Syiah Dua Belas. Anehnya, meskipun nama sekte ini diambil dari nama Nusayr Namiri, tapi Abu ʿAbd-Allāh Ḥosayn b. Ḥamdān Ḵaṣibi (d. 345/956-57 or 358/969), yang merupakan ideolog sekte ini. Ia dipercaya membuat beberapa kitab yang dijadikan rujukan oleh sekte ini. Hanya saja, menurut catatan di Encyclopedia Iranica, pengetahuan kita tentang sejarah sekte ini dari abad ke-11 dan seterusnya sangat sedikit. [3] Sehingga bisa diasumsikan, pelebelan identitas mereka oleh pihak lain tersebut, lebih sebagai satu sikap politik yang bersifat subjektif, ketimbang sebuah narasi ilmiah.
Menurut Torstein Schiøtz Worren, sangat sedikit yang diketahui tentang ajaran dan keyakinan dalam agama Alawi. Hal ini disebabkan keyakinan mereka didasarkan pada kerahasiaan atau kebatinan. Apa yang telah ditulis tentang Alawisme yang kita dapatkan diartikel, dokumen atau bahkan jurnal ilmiah, sebagian besar didasarkan pada laporan perjalanan dari para penjelajah bangsa Eropa pada abad 18, 19, dan awal abad 20, yang menggambarkan bahwa iman kelompok Alawi adalah perpaduan (sikretisme) antara pengaruh Islam, pagan dan Kristen, yang ini semua ditinjau dari perspektif Barat yang mereka miliki (orientalisme).[4]
Salah satu naskah rujukan yang dijadikan rujukan banyak pihak untuk menjelaskan teologi Alawis, adalah publikasi salah satu kitab suci rahasia mereka, bernama Kitāb al-Majmū’, pada tahun 1859 M. Kerahasiaan kitab ini dibeberkan oleh seorang Alawi yang pertama kali berpindah agama ke Yudaisme, kemudian Islam Sunni, dan agama Kristen, sebelum akhirnya dibunuh. Tidak jelas alasannya menerbitkan kitab tersebut. Juga tidak pernah ada verifikasi yang cukup valid untuk memastikan keaslian kitab tersebut. Tapi hampir semua narasi historis tentang kelompok Alawi saat ini, bila dilacak referensinya, tidak lain adalah kitab ini. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Torstein Schiøtz Worren, Fear and Resistance; The Construction of Alawi Identity in Syria, Master thesis in human geography, Dept of Sociology and Human Geography, University of Oslo, 2007, hal. 53
[2] Ibid, hal. 54
[3] http://www.iranicaonline.org/articles/nosayris
[4] Torstein Schiøtz Worren, Op Cit, hal. 47