“Bila rezim Bashar al-Assad demikian dibenci, lantas bagaimana kelompok yang hanya berjumlah 11% dari total penduduk Suriah bisa berkuasa turun temurun di sana? Bila dengan cara kekerasan, lantas bagaimana menjelaskan dukungan rakyat yang demikian besar pada keluarga Assad yang merupakan Alawi?”
—Ο—
Kitāb al-Majmū’, yang dipublikasipada tahun 1859 M, merupakan rujukan primer bagi banyak pihak untuk melacak sejarah kelompok Alawi, termasuk juga mengidentifikasi “warna batin” ajaran mereka. Dari kitab tersebut maka diketahui bahwa di dalam sekte yang disebut sebagai Alawi ini terdapat dua kelas, yaitu penginisiasi, dan massa. Di mana hanya kelompok pertama yang diizinkan untuk mempelajari rahasia-rahasia batin dari iman, sedangkan kelompok yang disebut terakhir hanya perlu mengetahui keyakinan yang paling dasar dan menghormati orang-orang suci, serta mengikuti perayaan-perayaan.
Mereka meyakini adanya siklus dunia yang sifatnya berputar. Semacam reinkarnasi, dan perpindahan satu jiwa ke dalam wujud lainnya. Dalam hal penyembahan, sistem kepercayaan mereka mirip dengan yang ada di agama Kristiani, yaitu sistem Trinitas. Bagi mereka, wahyu agama datang dalam bentuk trias ketuhanan dari Makna Tersembunyi Tuhan/keIlahian (the Hidden Meaning of God), Ekspresi Eksternal Makna (the Meaning’s External Expression), dan pendakwah (Proselytizer). Menurut kitab tersebut, Ali adalah keIlahian, dan Muhammad adalah ekspresinya, sedang Salman Al Farisi adalah pendakwah. [1]
Tak pelak, statement-statement yang termaktub dalam buku ini menuai kontroversi, tidak hanya dari Islam Sunni, tapi juga dari Islam Syiah. Mereka menolak keyakinan Alawi yang termaktub dalam buku tersebut sebagai bagian dari keyakinan mereka. Karena meskipun umat Syiah sangat menghormati dan memuliakan Ali bin Thalib, namun mereka tidak pernah menempatkan Ali sebagai Tuhan. Tapi bagi kelompok Sunni, disebabkan kitab tersebut menempatkan Ali pada posisi yang sangat dimuliakan, kelompok ini lantas kerap diasosiasikan sebagai salah satu sekte Syiah.
Persoalannya kemudian, apa yang dijelaskan dalam Kitāb al-Majmū’, ditambah dengan racikan rumor lain tentang keyakinan mereka, telah memicu lahirnya deklarasi bahwa Alawi adalah orang-orang kafir. Penudingan ini banyak dilakukan oleh kelompok Sunni ortodoks. Ditambahlah, memang tidak ditemukan adanya masjid atau sejenis rumah ibadah di sekitar wilayah pemukiman yang diduga milik kelompok Alawi, semakin menguatkan asumsi pihak lain akan keyakinan mereka yang melenceng.[2]
Meski patut juga dipertanyakan, bagaimana cara mereka mengidentifikasi siapa saja orang yang diduga merupakan menganut ajaran Alawi sebagaimana dimaktub dalam Kitab al-Majmu, dengan selainnya? Mengingat, tidak ada bukti-bukti material yang cukup meyakinkan untuk memverifikasi keyakinan mereka. Ditambah lagi, tidak ada ciri fisik, praktek keagamaan, dan bahkan rumah ibadah bagi kelompok Alawi.
Hal yang lain yang sulit dimengerti adalah bagaimana Alawi kemudian diasosiasikan dengan sekte Nuṣayriah, sedang Nuṣayriah sendiri belum diyakini pasti warna kebatinannya. Dalam edisi sebelumnya sudah kita singgung bahwa sangat sedikit yang kita ketahui tentang sekte Nuṣayriah yang sudah ada sejak abad ke 10 M. menurut Leon T Goldsmith, dalam karya ilmiahnya, nama Alawi sendiri baru ditemukan pada tahun 1920 atau ketika Perancis memerintah wilayah Suriah.
Menurutnya, nama tersebut merupakan penyebutan atau identifikasi baru untuk orang-orang dalam kelompok Nuṣayriah. Yang menarik, ia sendiri mengatakan bahwa belum diketahui alasan pengubahan nama tersebut.[3] Beberapa pendapat menyatakan bahwa perubahan nama tersebut atas dorongan dari pemerintah Perancis untuk memudahkan identifikasi terhadap suatu kelompok. Identitas ini lebih seperti sebuah pelabelan yang lahir dari pertimbangan politis-subjektif ketimbang historis-ilmiah.
Nina Batatu, sebagaimana dikutip oleh Torstein Schiøtz Worren, menyebutkan bahwa pada tahun 1973, delapan puluh Syekh mengeluarkan pernyataan resmi, mungkin atas permintaan presiden, yang menyangkal semua rumor tentang keyakinan Alawi. Menurutnya, semua itu adalah ‘fitnah’ yang didasarkan pada ‘penggalian narasi yang beredar di masa lalu dan sifatnya hanya mengulangi temuan para musuh-musuh Arab dan Islam. Dalam kesempatan tersebut mereka dengan jelas mendeklarasikan bahwa mereka adalah Islam dan kitab mereka adalah Al Quran. [4]
Bila ditinjau secara teoritis, Alexander Wendt, dalam karyanya “Anarchy Is What State Makes of It”, menyatakan bahwa identitas tidak berdiri secara mandiri, ia merupakan hasil konstruksi sosial, seperti Ayah, Ibu, Adik dan Kakak, merupakan identitas yang dihasilkan dari konstruksi sosial dalam unit rumah tangga. Demikian juga halnya dengan berbagai identitas yang kita sandang dalam semua komunitas. Hal yang sama juga terjadi dengan kelompok dan Negara. Sebuah kelompok atau Negara juga mengidentifikasi dirinya dan lingkungan sekitarnya melalui pola interaksi dengan pihak lain, termasuk di dalamnya mengidentifikasi siapa lawan dan siapa kawan.[5]
Dalam kasus Alawi, konstruksi identitas mereka seperti sudah ditanam demikian lama. Sehingga tendensi buruk tentang mereka sulit sekali diubah, terlebih di kalangan masyarakat non Suriah, khususnya Barat. Di internal umat Islam sendiri, sebagian masih ada yang menganggap – berdasarkan rumor dan konstruksi historis yang dibangun – bahwa mereka sudah dianggap keluar dari Islam. Di dalam naskah-naskah akademik, dan wacana umum yang berkembang, kerap kali muncul wacana tentang adanya gesekan yang keras antara kelompok Sunni yang merupakan mayoritas di Suriah, dengan Alawi sebagai identitas yang dibenci.
Tapi pertanyaannya, bagaimana kelompok yang hanya berjumlah 11% dari total penduduk Suriah bisa berkuasa turun temurun di sana? Bila dengan cara kekerasan, lantas bagaimana menjelaskan dukungan rakyat yang demikian besar pada keluarga Assad yang merupakan Alawi? Bukankah satu-satunya alasan yang bisa menjelaskan mengapa Assad demikian tahan terhadap serbuan dari dalam maupun dari luar, tidak lain karena adanya dukungan yang solid dari rakyat Suriah. Bagaimana menjelaskan hal ini? (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Torstein Schiøtz Worren, Fear and Resistance; The Construction of Alawi Identity in Syria, Master thesis in human geography, Dept of Sociology and Human Geography, University of Oslo, 2007, hal. 47
[2] Ibid
[3] Lihat, Leon T Goldsmith, Unearthing the Alawites: A Political Geography of the Alawite Community of Syria, https://www.researchgate.net/publication/319122308, diakses 8 April 2018
[4] Torstein Schiøtz Worren, Op Cit, hal. 47-48
[5] Lihat, Alexander Wendt, “Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics,” International Organization, Vol. 46, No. 2, Spring, 1992, Hal. 396