Arya Damar, adalah anak hasil perkawinan antara Raja Majapahit dengan seorang “putri Cina”. Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana yang dimaksud dengan istilah “putri Cina” dalam kronik nusantara, biasanya adalah wanita peranakan Tionghoa. Bukan wanita asli dari Tionghoa yang menikah dengan masyarakat lokal.
Sebagaimana sudah diurai dalam edisi sebelumnya, Arya Damar di kalangan masyarakat Tionghoa dikenal dengan nama Swan Liong, sedang di masyarakat Jawa dikenal dengan nama Arya Damar atau Jaka Dilah. Dia adalah putra dari Raja Majapahit, Prabu Wikramawardhana, yang bergelar Hyang Wisesa. Ibunya, menurut pendapat Prof. Dr. Slamet Muljana adalah seorang “putri cina”.[1]
Sebagai catatan, yang dimaksud dengan istilah “putri Cina” dalam sejarah, biasanya adalah wanita peranakan Tionghoa. Bukan wanita asli dari Tionghoa yang menikah dengan masyarakat lokal. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, bahwa sebelum abad ke-19, tidak ada wanita yang datang langsung dari Tiongkok ke Jawa atau ke tempat lain di Asia Tenggara. Umumya mereka adalah putri hasil perkawinan dari laki-laki Tionghoa dengan perempuan lokal. Sebagai contoh, tokoh bernama Ni Gede Manila (Dewi Condrowati) yang merupakan istri Sunan Ampel. Dia merupakan putri dari bupati Wilatikta, seorang Tionghoa yang bernama Gan Eng Yu. Dia adalah seorang kapten kapal Cina. Sebelum sampai ke Nusantara, Gan Eng Yu sempat menetap di Manila (Philipina), dan menikah dengan wanita lokal sana. Dari pernikahan ini lahirlah Ni Gede Manila. Inilah yang biasanya disebut sebagai putri Cina.[2]
Lebih lanjut Prof. Dr. Slamet Muljana menjelaskan, bahwa anak dari hasil perkawinan pemuda lokal dengan putri Cina ini biasanya mempunyai dua nama; yang satu nama Tionghoa, dan satu lagi nama Jawa. Namun, nama Tionghoa-nya tidak terdiri dari tiga suku kata, melainkan hanya dua suku kata. Ini disebabkan suku kata yang pertama adalah nama keluarga. Seorang putri Cina, ketika menikah dengan masyarakat lokal, maka keturunannya akan membawa nama keluarga ayahnya. Ini sebabnya, mereka hanya terdiri dari dua suku kata. Seperti Raden Patah yang bernama Tionghoa, Jin Bun. Karena dia lahir dari seorang putri Cina dengan ayah lokal yaitu Prabu Kertabumi.[3]
Dalam kerangka ini, kita sebenarnya bisa serta merta mengenal asal usul seorang tokoh dari nama Tionghoa-nya. Seperti Gan Eng Yu yang menjabat sebagai bupati Wilatikta. Tiga suku kata pada namanya menunjukkan bahwa dia adalah seorang Tionghoa asli. Demikian juga dengan Bong Swi Hoo, atau yang lebih dikenal sebagai Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Dari namanya, bisa dikonfirmasi bahwa dia adalah keturunan asli Tionghoa. Dan demikianlah adanya. Sunan Ampel adalah seorang pendatang dari Yunan. Dia adalah cucu menguasa tinggi Champa, Bong Tak Keng.[4]
Dalam perjalanannya ke Nusantara, dia diketahui belum memiliki istri. Dia lalu menikah dengan putri Cina, anak dari Gan Eng Yu, yaitu Ni Gede Manila. Dari pernikahan ini, lahirlah seorang putra yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Terkait dengan nama Bonang sendiri, Prof. Dr. Slamet Muljana memperkirakan, besar kemungkinan nama Tionghoa-nya adalah Bong Ang. Karena nama keluarganya adalah Bong. Diambil dari nama keluarga ayahnya, Bong Swi Hoo.[5]
Dalam kronik Nusantara seperti Babad Tanah Jawi dan Seran Kanda, para tokoh yang lahir dari perkawinan ini biasanya dicatat dengan nama Jawa atau Arab nya. Sedang dalam kronik Cina, dia dikenal dengan nama Tionghoa-nya. Ini sebabnya penting untuk mengkonfirmasi lingua franca yang digunakan masing-masing naskah sejarah untuk mengidentifikasi sosok-sosok yang dikisahkan.
Kembali pada sosok Arya Damar atau Swan Liong. Dari nama Tionghoa-nya terlihat bahwa dia adalah peranakan Tionghoa dari ibu yang menikah dengan pemuda lokal. Hal ini dikonfirmasi oleh kronil nusantara yang mengatakan bahwa Swan Liong atau Arya Damar adalah putra dari Raja Majapahir dengan seorang putri Cina.
Adapun terkait dengan kisah hidupnya, baik kronik Nusantara maupun kronik Cina menceritakan alur kisahnya cukup mirip. Pertama-tama dikata bahwa Arya Damar mengabdi pada Majapahit; selanjutnya dia dikirim ke Palembang untuk menjadi penguasa di sana.
Terkait dengan kiprah Arya Damar ketika mengabdi dengan Majapahit, kronik Tionghoa dari klenteng Semarang memberitakan bahwa Swan Liong, pada tahun 1443 menjadi kepala pabrik mesiu di Semarang, sebelum kemudian dipindahkan ke Palembang. Kepala pabrik sudah semestinya mengetahui tentang pesenjataan. Oleh diduga bahwa Swan Liong menjalankan pabrik mesiu juga demi kepentingan kerajaan Majapahit.[6]
Adapun kronik Nusantara, memberitakan kiprah Arya Damar selama mengabdi pada Majapahit secara lebih detail. Sebagaimana dikisahkan kembali oleh Agus Sunyoto, bahwa Arya Damar memiliki peran penting dalam usaha merebut kembali Bali dari kekuasaan pemberontak. Pemberontakan tersebut dilakukan oleh Bre Daha, putra Bre Witabhumi pada masa pemerintahan Rani Suhita, Raja Majapahit yang menggantikan Wikramawardhana. Rani Suhita sendiri merupakan putri Wikramawardhana dari Kusumawardhani, putri Hanyam Wuruk. Dengan demikian, bila dikonfirmas dengan berita dari kronil Tionghoa dari Klenteng Semarang, Rani Suhita adalah saudara tiri dari Arya Damar. Tidak mengherankan bila kemudian dia diberikan posisi dan tanggungjawab besar dalam memadamkan pemberontakan di Pasunggiri, Bali.[7]
Diberitakan bahwa ekspedisi militer Majapahit yang dipimpin Arya Damar ini berhasil dengan gemilang. Para pemberontak berhasil di kalahkan, dan Bali kembali ke pangkuan Majapahit. Kisah penumpasan gerakan makar Bre Daha ini, belakangan ditulis oleh Pangeran Pekik dari Surabaya dalam Carita Damawulan.[8] (AL)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Prof. Dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LkiS, 2013, hal. 86
[2] Ibid, hal. 84
[3] Ibid, hal. 85
[4] Ibid
[5] Ibid. hal. 86
[6] Ibid, hal. 88
[7] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 97
[8] Ibid