Arya Damar dan Era Penyebaran Islam di Nusantara (5)

in Islam Nusantara

Last updated on February 12th, 2019 01:58 pm

Menurut M.C. Ricklefs, pada masa kejayaan Majapahit, Islam bukan hanya menjadi agama bawaan yang dianut oleh orang asing di Nusantara, tapi sudah diterima oleh masyarakat Jawa termasuk juga sudah pula dianut oleh keluarga ningrat Majapahit. Fakta ini menjelaskan bahwa Majapahit adalah negara yang toleran, terbuka dan sangat inklusif.

 

Arya Damar, menjadi penguasa Palembang ketika penetrasi Islam masuk demikian deras ke dalam relung kebudayaan Nusantara. Meskipun dia harus memerintah di wilayah yang terbilang kuat pengaruh agama Buddha-nya, penetrasi perkembangan Islam di Jawa agaknya menjadi faktor yang memudahkan upayanya dalam menjinakkan Palembang dan sebagian wilayah lainnya di Sumatera.

 

Gambar ilustrasi. Sumber: triy.wordpress.com

 

Terkait dengan era keemasaan perkembangan agama Islam di Nusantara, sebagian besar sejarawan menilai bahwa era itu terjadi sekitar abad ke 14-15 masehi. Sebagaimana sudah sekilas dijelaskan pada edisi sebelumnya, bahwa salah satu varibel penentunya yaitu adanya perhatian yang besar dari maharaja Majapahit, Dyah Kertawijaya (Brawijaya V) terhadap agama Islam. Menurut Agus Sunyoto, hal itu terjadi terjadi karena selain dia memiliki kawan-kawan dan kerabat serta pembantu-pembantu beragama Islam, dua orang istrinya yang berasal dari Champa dan Cina adalah Muslimah.[1]

Lebih jauh Agus Sunyoto mengungkapkan berdasarkan sumber historiografi seperti Babad Ponorogo, Babad Ing Gresik, Babad Pengging, Babad Sembar, Serat Kanda, dan naskah-naskah yang berisikan silsilah keturunan Prabu Brawijaya V, seperti Tedhak Damayudan, Tedhak Pusponegaran, Pustaka Dharah Agung, Silsilah Jayalelana, Serat Dharah, Layang Kekancing, diketahui bahwa Prabu Kertawijaya atau Brawijaya V memiliki sejumlah putera beragama Islam, seperti Arya Damar adipati Palembang, Raden Arak-kali Katwang Adipati Ponorogo, Arya Lembu Peteng Adipati Pamadegan, Arya Penak Koncar Adipati Lumajang, Raden Patah Adipati Demak, Raden Bondan Kejawen Kyayi Agung Tarub II, Raden Dhandhun Wangsaprana selar Syekh Belabelu.[2]

Terlepas dari adanya keraguan yang muncul atas informasi dalam naskah-naskah Nusantara yang dipaparkan Agus Sunyoto di atas, tapi setidaknya bisa kita asumsikan bahwa pada masa pemerintahan Brawijaya V, orang-orang Islam sudah behasil menancapkan pengaruh yang sangat kuat di jantung kekuasaan Majapahit. Yang dengan demikian, bisa pula diasumsikan proses terbentunya pengaruh ini sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum Brawijaya V naik tahta.

Terkait hal ini, M.C, Ricklefs dalam karyanya berjudul “Sejarah Indonesia Modern” menyatakan bahwa berdasarkan bukti arkeologis yang ada, Islam sudah menjadi salah satu agama populer di Majapahit hampir seabad sebelum Brawijaya V naik tahta tahun 1447 M. Hal ini terbukti dengan adanya serangkaian batu nisan di Trowulan dan Troloyo, di dekat situs Istana Majapahit. Batu-batu nisan tersebut mengisyaratkan dengan cukup pasti bahwa yang dikebumikan di situ adalah seorang beragama Islam. Menariknya, dari sejumlah makam tersebut, sebagian besarnya justru menggunakan angka tahun Saka India dengan angka-angka Jawa kuno daripada tahun Hijriah Islam dengan angka-angka Arab.[3]

M.C, Ricklefs melanjutkan, bahwa Tarikh Saka dipakai oleh istana-istana Jawa dari zaman kuno hingga tahun 1633M. Digunakannya tarikh ini dan angka-angka Jawa Kuno pada batu-batu nisan tersebut menunjukkan bahwa makam-makam tersebut merupakan tempat perkuburan orang-orang Muslim asli Jawa, bukan kuburan kaum Muslim pendatang. Batu nisan yang pertama ditemukan di Trowulan memuat angka 1290 Saka atau 1368-1369 masehi. Sedang di Troloyo, ada beberapa batu nisan dengan angka tahunnya berkisar antara 1298 Saka sampai 1533 Saka (1376-1611 M).[4]

Berdasarkan fakta arkeologis tersebut, Louis-Charles Damais – seorang arkelog belanda yang sempat meneliti tentang keberadaan makam-makam tersebut – menyimpulkan bahwa batu-batu nisan tersebut menandai kuburan-kuburan orang Jawa yang sangat terhormat, bahkan ada kemungkinan anggota-anggota keluarga kerajaan. Oleh karena itu, menurut M.C. Ricklefs, batu-batu Jawa Timur itu memberi kesan bahwa bebarapa orang anggota elit Jawa memeluk agama Islam pada masa kerajaan Majapahit yang beragama Hindu-Budha itu sedang dalam masa kejayaannya.[5]

Lebih jauh M.C. Ricklefs mengemukakan, bahwa dengan adanya bukti arkeologis itu, dan sejumlah kesimpulan dari gugus fakta tersebut, menunjukkan bahwa pada masa kejayaan Majapahit, Islam bukan hanya menjadi agama bawaan yang dianut oleh orang asing di Nusantara, tapi sudah menjadi agama yang cukup populer masyarakat Jawa. Dan bukan hanya dianut oleh masyarakat umumnya, tapi sudah pula dianut oleh keluarga ningrat Majapahit.[6]

Dengan demikian, kesimpulan-kesimpulan ini bisa melahirkan gugatan serius atas munculnya asumsi yang mengatakan bahwa Islam bangkit di pulau Jawa sebagai kekuatan agama dan politik yang menantang kekuasaan Majapahit.[7] Karena fakta bahwa Islam sudah menjadi agama yang cukup luas di anut ketika masa kejayaan Majapahit, menunjukkan bahwa Majapahit adalah negara yang toleran, terbuka dan sangat inklusif. Sehingga tidak ada alasan bagi orang Islam untuk menyebarkan Islam dengan pedang. Dan kalaupun memang ada bukti otentik bahwa pernah terjadi perang antara orang-orang Islam dengan Majapahit, besar kemungkinan bahwa akar persoalannya bukan masalah agama.

Lebih jauh, dari sejumlah asumsi di atas, kita bisa menilai bahwa inklusifitas yang menjadi ciri pemerintahan Brawijaya V bukan hanya terjadi pada masa kekuasaannya. Melainkan sebuah warisan atau tradisi yang memang turun temurun dilakukan di Majapahit. Hanya memang pada masa pemerintahannya, pengaruh ajaran Islam makin luas dan mengakar.

Namun demikian, tidak bisa juga dipungkiri bahwa memang terlihat perhatian lebih khusus dari Prabu Brawijaya V terhadap perkembangan Islam. Sebagaimana dinyatakan oleg Agus Sunyoto, bahwa selain sebagian istri dan putra-putranya beragama Islam, sejumlah kebijakan yang ditetapkan Brawijaya V tampak sekali memberi peluang bagi orang-orang yang beragama Islam untuk memegang jabatan penting di Majapahit.[8]

Beberapa contoh misalnya; Arya Teja yang dikenal sebagai seorang Muslim, diangkat menjadi Adipati Tuban; Arya Lembu Sura yang seorang Muslim diangkat menjadi Raja di Surabaya; kemenakan jauh istrinya yang bernama Sayyid Es, telah diangkat sebagai anak dan dianugerahi gelar Syaikh Suta Maharaja dan kemudian diangkat menjadi Adipati Kendal; kemenangan istrinya yang lain yaitu Ali Rahmatullah atau Sunan Ampel diangkat menjadi imam di Surabaya dan kemudian menjadi bupati Surabaya; saudara kandung Sunan Ampel yang bernama Ali Murthado juga diangkat menjadi Imam di masjid Gresik dengan gelar Raja Pandita; Dan salah satu narasi yang cukup populer dalam kronik Nusantara – terlepas dari semua kontroversi tentang kisahnya – adalah mengenai pilihan Brawijaya V untuk menitipkan istri dan juga putranya kepada Arya Damar, yang dikenal penguasa Palembang dan salah satu tokoh yang paling berjasa dalam menyebarkan agama Islam di sana.[9] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Arya Damar dan Era Penyebaran Islam di Nusantara (4)

Catatan kaki:

[1] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal.104

[2] Ibid

[3] Lihat, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarya, Gadjah Mada University Press, 2005, hal. 5

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Ibid, hal. 6

[8] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit

[9] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*