Astrolab: GPS Pertama Hasil Inovasi Seorang Muslimah Abad 10

in Studi Islam

Last updated on November 26th, 2017 03:48 am

Astrolab adalah instrumen utama astronomi kuno. Berfungsi persis seperti GPS di era modern. Alat ini pertama kali dikembangkan oleh bangsa Yunani. Pada Abad ke-10, seorang cendekiawan muslimah menyempurnakannya…

—Ο—

 

Salah satu elemen penting dari infrastruktur informasi global, adalah Global Positioning System atau lazim disebut GPS. Teknologi ini merupakan alat yang membantu manusia dalam menentukan posisi, navigasi, dan waktu. Teknologi ini digunakan di berbagai bidang kehidupan manusia modern, mulai dari perdagangan global, transportasi, hingga militer.

Se-primitif apapun, manusia selalu ingin mengetahui dari mana ia berasal, sedang berada dimana ia sekarang, dan kemana ia akan pergi selanjutnya? atau sebuah pertanyaan yang terdengar sangat sederhana sekarang, tapi begitu kompleks pada masa lalu, “jam berapa sekarang?”. Hernando de Soto dalam bukunya The Mistery of Capital menyatakan bahwa salah satu tantangan terbesar umat manusia adalah bagaimana ia mampu mengkonversi asset menjadi modal (capital), salah satu contohnya “waktu”. Bisa dibayangkan bagaimana manusia memanage waktu bila tidak pernah ada jam dan kelender.[1]

Oleh sebab itu, bisa dikatakan, lahirnya teknologi GPS merupakan tuntutan alamiah dari eksistensi manusia. Dan proses pencarian jawaban atas pertanyaan di atas, sudah berlangsung sejak lama. Dari titik inilah, salah satunya, manusia mengenal ilmu astronomi.

Riwayat ilmu astronomi terlacak pertama kali dikembangkan di Yunani. Astronomi sendiri diambil dari Bahasa Yunani, yaitu Astro yang berarti bintang. Adapun instrumen yang digunakan sebagi sarana menemukan dan mengamati bintang pada masa lalu disebut dengan Astrolabe, atau Astrolabi dalam bahasa Arab, dan Astrolab yang dikenal di Indonesia. Fungsi alat ini sama seperti GPS sekarang, untuk menentukan arah, lokasi, dan waktu, dengan mengacu pada observasi terhadap posisi matahari dan planet, sehingga sangat berguna di bidang astronomi, astrologi dan horoskop.

Ilustrasi lukisan Aristoteles mengajar astronomi saat menggunakan astrolabe pada Manuskrip Arab dari ‘Kitab Mukhtar al-Hikam wa-Mahasin al-Kilam’ karya Al-Mubashir. Lukisan ini sekarang ada di Museum Istana Topkapi, Istanbul, Turki.

 

Kata labe pada Astrolabe diambil dari bahasa Yunani “labio” yang berarti pencuri, atau penemu. Dengan demikian Astrolabe bisa dianggap sebagai alat yang berfungsi untuk membantu menemukan dan mengobservasi bintang (star finder). Menurut Harold Williams seorang ahli di bidang astrofisika (Astrophysicist), Astrolab adalah alat penghitung astronomi yang paling penting sebelum komputer digital ditemukan, dan instrument observasi astronomi yang paling penting sebelum teleskop ditemukan.

Meskipun ditemukan pertama kali di Yunani, tapi alat ini berkembang secara optimal ditangan para ilmuan Muslim. Astrolab diperkenalkan ke dunia Islam pada pertengahan abad kedelapan. Risalah Arab tentang astrolab diterbitkan pada abad kesembilan.[2] Salah satu yang memicu progresiftas ini tidak lain adalah perintah agama Islam sendiri. Astronomi digunakan untuk menentukan waktu shalat, arah kiblat, menentukan bulan Ramadhan, dan musim haji. Astrolab pada masa itu menjadi instrumen untuk mengetahui zenit matahari pada siang hari dan planet-planet pada malam hari, menentukan arah kiblat, menentukan lintang dan bujur suatu tempat, menentukan ketinggian suatu benda di antara dua tempat yang berbeda, mengetahui posisi bulan pada zodiak tertentu, serta mengetahui arah timur dan barat.[3]

Astrolab dan cara menggunakannya. Sumber gambar: http://www.muslimheritage.com

Cara kerjanya cukup sederhana. Pada astrolab terdapat grafik, dan bagian yang bergerak memungkinkan pengguna memasukkan data ke dalam grafik tersebut dan membaca hasil yang sesuai. Biasanya data yang dimasukkan adalah posisi matahari saat ini di siang hari atau bintang di malam hari, diukur dengan menggunakan semacam penggaris berputar (alidade) dan tanda busur derajat di bagian belakang astrolab. Untuk beberapa perhitungan, pengukuran ini mungkin perlu dimasukkan ke grafik lain di bagian depan astrolab. Hasil yang paling umum dicari adalah waktu dalam sehari. Lebih spesifik lagi, berapa banyak waktu yang telah berlalu sejak (atau dibiarkan sampai) matahari terbit/terbenam.

Menariknya, inovasi paling maju terhadap Astrolab di dunia Islam justru dikembangkan oleh ilmuan wanita, bernama Mariyam “Al-Astrolabiya” al-Ijliya. Sayangnya, tidak banyak yang diketahui tentang identitasnya. Bahkan nama Mariyam pun adalah nama yang disandangkan padanya oleh the Syrian Archaeological Society. Dan “Al-Astrolabiya” tidak lain adalah julukan yang diberikan oleh para ilmuan Eropa kepadanya atas jasanya dalam bidang astronomi.[4]

Sedikit yang diketahui tentang wanita hebat ini, nama sebenarnya adalah Al-‘Ijliyah binti al-‘Ijli al-Asturlabi. Ayahnya merupakan seorang pegawai yang membuat astrolab terkenal di Baghdad. Mariyam dan ayahnya tercatat sebagai salah satu murid dari seorang astronom terkenal di Baghdad, yang bernama Bitolus. Bersama ayahnya, Mariyam kemudian bekerja di istana Sayf al-Dawla di Aleppo, yang memerintah dari 944-967.[5]

 

 

Komposisi Astrolab karya Cendikiwan muslim. Sumber Gambar: http://www.muslimheritage.com

Guru utama Mariam membuat astrolab tidak lain adalah ayahnya. Konon teknik merancang astrolab yang dimilikinya merupakan sebuah rahasia, dan hanya diwariskan secara turun temurun. Tapi, Mariam membuat desain dan teknik pembuatannnya lebih rumit dan inovatif. Menurut Prof. Saleem Al-Husaini, yang dikutip dari Arab Times, Mariam adalah muslimah pertama pembuat cikal alat transportasi dan komunikasi untuk dunia modern. Pekerjaan yang dilakukannya rumit dan berkaitan dengan persamaan matematis tapi ia mampu membuktikan kemampuannya dalam bidang ini.[6]

Meski tidak banyak yang diketahui tentangnya, namun sosoknya begitu menginspirasi para ilmuan modern, khusus di kalangan ahli astronomi. Pada tahun 1990, seorang astronom bernama Hendry E. Holt menemukan sabuk utama asteroid 7060 di pusat observasi Palomar. Ia menamakan temuannya ini dengan ’Al-‘Ijliya’, untuk menghormati wanita hebat dari abad ke 10 Masehi ini.[7]

Terakhir sosoknya menjadi inspirasi tokoh Binti dalam novel fiksi ilmiah karya Nnedi Okorafor yang terbit pada tahun 2015. Novel ini sudah dibuat film dan rilis pada 2016. Dalam pengakuannya, Nnedi Okorafor menyatakan bahwa tokoh protagonist Binti dalam cerita ini, terinspirasi dari sosok Mariyam yang kisahnya ia kenal saat mengunjungin festival buku di Uni Emirat Arab. (AL)

Cara menggunakan Astrolabe (Copy Right: http://www.ted.com):

Catatan kaki:

[1] Lihat, Hernando de Soto, The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else, London, BlackSwan, 2001, Hal. 8

[2] Lihat, https://thisisgender.com/mariam-al-astrulabi-sang-astrolab-wanita/, diakses 21 November 2017

[3] Lihat, https://tirto.id/mariam-al-ijliya-muslimah-pembuat-astrolab-penentu-arah-cqZu, diakses 21 November 2017

[4] Lihat, http://www.muslimheritage.com/article/star-finders-astrolabes#_ftnref2, diakses 21 November 2017

[5] Lihat, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/14/02/25/n1iv34-mariam-alijliya-muslimah-pembuat-astrolobe, diakses 21 November 2017

[6] Lihat, https://tirto.id/mariam-al-ijliya-muslimah-pembuat-astrolab-penentu-arah-cqZu, Op Cit

[7] Lihat, https://www.tor.com/2016/06/02/the-inspiration-for-nnedi-okorafors-binti-is-a-muslim-scientist-from-the-10th-century/, diakses 21 November 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*