“Masa keemasan Islam merupakan satu fase sejarah yang paling penting dalam menopang sendi-sendir kebangkitan peradaban modern. Dan pusat episentrum kebangkitan itu adalah Bayt Al-Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan.”
—Ο—
Dalam sejarah umat manusia, mungkin belum ada contoh peradaban yang dapat tumbuh besar tanpa adanya minat yang besar dari bangsa tersebut pada ilmu pengetahuan, riset dan inovasi. Peradaban Islampun demikian. Sejarah mengenal bagaimana Islam mencapai masa keemasaannya pada abad ke-8 dan terus berlangsung sampai lima abad setelahnya. Tak terhitung banyaknya karya yang lahir dari para ilmuan Muslim pada era itu. Berbagai penemuan dan inovasi di segala bidang ilmu terjadi. Bahkan hingga hari ini, hasil karya mereka masih menjadi landasan hampir semua cabang ilmu pengetahuan di dunia. Adapun pusat episentrum kemajuan Islam tersebut dikenal dengan nama Bayt Al-Hikmah atau rumah kebijaksanaan.
Bayt Al-Hikmah merupakan terobosan sejarah yang monumental. Ini adalah lembaga penelitian pertama di dunia Islam. Didirikan atas perintah Khalifah Harun Al Rasyid sekitar tahun 800 M. Namun lembaga ini menjadi berkembang pada masa pemerintahan Al Ma’mun, yang merupakan anak Harun Al Rasyid. Al Ma’mum memindahkan ibu kota Abbasyiah dari Kufah ke Baghdad, sekaligus memindahkan ibu kota peradaban Islam dari Damaskus, Suriah, ke Baghdaad. Setelah jatuhnya Dinasti bani Umayah di Damaskus, praktis dinasti Abbasiyah menjadi satu-satunya pemerintahan Islam yang legitimate.
Pada waktu Al Ma’mum mendirikan Baghdad, tak lupa ia meletakkan perpustakaan dan Bayt Al Hikmah dalam kawasan inti kota Baghdad. Di Baghdad, baik perpustakaan dan Bayt Al Hikmah, menjadi etelase peradaban dunia Islam masa itu. Semua murid dan guru berdatangan ke kawasan ini untuk mengali ilmu ataupun belajar disini.
Di tempat ini, berbagai literatur dunia dari setiap zaman dikaji, diteliti, dan dikembangkan. Naskah-naskah dari berbagai tempat taklukan, ataupun negara sahabat dimasukkan ke dalam perpustakaan Baghdad dan dikaji di Bayt Al-Hikmah. Di tempat inilah tersimpan kitab-kitab semua agama dan naskah-naskah ilmuan terdahulu, termasuk pemikir terkenal seperti Aristoteles.[1] Berbagai aktifitas keilmuan terjadi disini, mulai dari penerjemahan karya-karya dari berbagai negara dan zaman yang berbeda, hingga penelitian, observasi dan inovasi.
Untuk kebutuhan itu, para penerjemah dari berbagai negara dipanggil. Kitab dan karya dari Bahasa Parsi, Ibrani, Aram, Syiria, Yunani, Latin dan India (sangsekerta), diterjemahkan ke dalam bahsa Arab, yang merupakan bahasa nasional Abbasiyah waktu itu. [2] Karya-karya tersebut kemudian di syarah (dikomentari), dikritik, dan dikembangkan. Karya-karya ilmuwan Yunani seperti Aristoteles dan Plato sangat digemari dan dikaji berulang-ulang oleh ilmuwan yang berbeda-beda. Ratusan pelajar bekerja setiap hari meningkatkan jumlah koleksi buku-buku impor.[3]
Alasan utama berkembangnya kegiatan ini, tidak lain karena didukung oleh infrastruktur yang memadai, yaitu pabrik pembuatan kertas. Setelah pertempuran Talas yang terjadi pada tahun 751 M, dunia Islam mulai mengenal kertas. Di Baghdad sendiri, pabrik pembuatan kertas pertama kali dibangun atas dasar permintaan dari Bayt Al Hikmah. Tingginya kebutuhan sarana tulis menulis pada masa ini, menjadikan kertas sebagai kodefikasi kemajuan bangsa Arab.[4]
Secara geografis, posisi kota Baghdad memang sangat strategis. Ia tidak terletak di bagian timur maupun barat. Dan jaraknya tidak terlalu jauh dari jalur sutra yang merupakan urat nadi ekonomi dan komunikasi antara peradaban timur (China) dan barat (Romawi). Baghdad menjadi kaya – salah satunya – disebabkan posisi geografisnya yang berada di dekat Jalur Sutra ini. Disamping berdagang, karavan-karavan yang melintasi wilayah ini membawa juga infomasi, nilai kebudayaan dan pengetahuan dari timur dan barat. Dan yang tepenting, mereka – baik khalifah hingga masyarkat – memiliki pemikiran yang terbuka dan pelajar-pelajar yang haus akan ilmu. Maka jadilah Baghdad sebagai pusat peradaban dunia masa itu. Seorang ahli geografi dan sejarawan Arab abad ke-9, al-Y’qubi, menulis bahwa Baghdad “tidak ada padanannya di Bumi, baik di Timur atau di Barat” dan “tidak ada sarjana yang berpendidikan lebih baik daripada cendekiawan mereka”.[5]
Menariknya, semua kegiatan keilmuan ini didukung oleh Negara. Setiap ilmuwan yang datang dan mengkontribusikan ilmunya di sana, akan mendapat bayaran yang menarik. Konon, Negara akan membayar setiap buku yang diterbitkan ataupun diterjemahkan dengan emas seberat buku tersebut. Pada masa ini, ilmuan didudukkan pada posisi yang begitu mulia. Mereka bekerja di kawasan elit kota, dan diberikan bayaran yang menarik. Bahkan semua ide, proposal penelitian dan pengembangan terhadap ilmu pengetahuan difasilitasi oleh Negara. Maka sangat wajar bila kemudian kota ini menjadi destinasi utama para ilmuan dunia. Hanya satu abad setelah dibangun Bayt Al Hikmah, Perpustakaan Baghdad sudah menjadi pusat koleksi literature paling lengkap dunia.[6]
Salah satu terobosan paling besar dan berpengaruh yang dihasilkan oleh cendikiawan Bayt Al Hikmah, adalah Kitab al-Jabr wa’l-muqabla atau biasa disebut Aljabar (Al-Jabr) oleh al Khwarizmi pada abad ke 9 masehi. Di dunia barat, karya ini dikenal dengan ‘Book of Restoring and Balancing‘, buku ini dapat dianggap sebagai buku induk matematika dan algoritma hingga saat ini.[7] Tidak hanya di bidang matematika, Bayt Al Hikmah sudah menelurkan karya yang menjadi pondasi atau dasar matematika modern, astronomi, kimia, kedokteran dan sastra. Di tempat inilah lahir aljabar dan trigonometri tingkat lanjut, nama-nama bintang, campuran tincture dan teknik pengobatan, serta menemuan inti filsafat dan sastra.[8]
Pada awalnya, semua Khalifah Abbasiyah, mulai dari Harun Al Rasyid, Al-Ma’mun (833-842 M), al-Mu’tasim, hingga Al Watsiq (842-847M) sangat mendukung aktifitas keilmuan dan pengembangan di Bayt Al Hikmah. Pikiran yang terbuka, dan toleransi tinggi yang ditawarkan dinasti Abbasiyah awal telah membuka gerbang masa keemasan masyarakat muslim. Sayangnya, semua kegiatan yang meriah ini mengalami masa yang mulai mengkhawatirkan pada era Al-Mutawakkil yang berkuasa pada 847-861 M. Eskalasi permusuhan antara kaum Mu’tazillah dengan ahli hadist mencapai puncaknya pada era ini. Sayangnya, khalifah memilih untuk memihak, maka terjadilah penegasian terhadap kaum Mu’tazilah dan masa kemeriahan ilmu pengetahuan di Baghdad mengalami kelesuan. Khalifah Al-Mutawakkil mendukung interpretasi yang lebih literal berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Dia tidak tertarik pada ilmu pengetahuan asing dan mengubah haluan lembaga ini dari rasionalisme. Dia menganggap tersebarnya filsafat Yunani ke dalam keyakinan umat Islam sebagai sesuatu yang tidak Islami karena berasal dari ajaran non-Islam (Yunani).[9] (AL)
Bersambung ke:
Catatan Kaki:
[1] Lihat, http://sarahrose.com/wp-content/uploads/2009/04/for-all-the-tea-in-china-country-life.pdf, diakses 10 November 2017
[2] Lihat, http://www.abdullaeid.net/teaching/spring2015/files/TC2MA324Spring2015RA2G1.pdf, diakses 10 November 2017
[3] Lihat, http://www.turkmenhost.com/documents/Journal2/merv.html, diakses 12 November 2017
[4] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 52
[5] Lihat, https://steemit.com/history/@getonthetrain/the-house-of-wisdom-the-rise-and-fall-of-the-ancient-library-of-baghdad, diakses 12 November 2017
[6] Ibid
[7] Untuk informasi lebih lengkap tentang penemuan dan mengembangan cendiawan muslim di bidang sains dan ilmu sosial, dapat dilihat para artikel https://ganaislamika.com/penemuan-dan-pengembangan-cendikiawan-muslim-di-bidang-sains-dan-ilmu-sosial-1/
[8] Komentar Prof Faroque Ahmad Khan, seorang ahli obat-obatan tentang Bayt Al Hikmah. Lihat, http://www.1001inventions.com/house-of-wisdom, diakses 12 November 2017
[9] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Kebijaksanaan, diakses 12 November 2017
Thanks untuk tulisannya