Penemuan dan Pengembangan Cendikiawan Muslim di Bidang Sains dan Ilmu Sosial (1)

in Budaya Islam

Last updated on March 2nd, 2019 03:42 am

Pengantar

Sejarah intelektual Islam meliputi berbagai bidang yang luas: skolastik, humaniora dan saintifik. George A. Makdisi dalam buku yang berjudul The Rise of Colleges menyoroti secara umum perkembangan gerakan skolastik, termasuk tokoh-tokohnya, lembaga-lembaganya, akta mengajar yang dibutuhkan, gelar-gelar yang diberikan dan metode skolastik yang digunakan. Kemudian dalam bukunya yang berjudul, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Christian West (Terjemahan: Cita Humanisme Islam),[1] penulis yang sama mengupas perkembangan ilmu-ilmu humaniora, berikut tokoh-tokohnya, lembaga-lembaganya, seni pendiktean (imlâ`) dan periwayatan buku, dan penekanan tentang pentingnya buku bagi orang yang ingin mempelajarinya secara otodidak.

Selanjutnya George A. Makdisi menyimpulkan bahwa kedua gerakan ini memiliki raison d’etre-nya masing-masing yang berbeda satu sama lain, meskipun keduanya sama-sama timbul dari kepedulian yang sama terhadap teks-teks suci: al-Qur’an dan hadis. Menurutnya, perkembangan ilmu-ilmu humaniora bermula pada akhir abad pertama Hijriah untuk tujuan melestarikan bahasa Arab klasik yang digunakan al-Qur’an dan menjadikannya sebagai bahasa sehari-hari sekaligus bahasa peribadatan. Sedangkan kemunculan gerakan skolastik diawali dari munculnya perbedaan tafsir dan otoritas agama yang berpuncak pada abad ke-3 H atau abad ke-9 M pada masa diberlakukannya mihnah—sekitar se-abad setelahnya.

Menurut Makdisi, kedua gerakan ini sama-sama berfungsi mendukung ortodoksi. Ilmu-ilmu humaniora berfungsi mendukung ortodoksi bahasa, sedangkan metode skolastik berfungsi memverifikasi dan membela otoritas agama. Kedua gerakan ini sebenarnya dipicu oleh faktor-faktor yang berbeda. Gerakan humaniora diawali dengan munculnya kebutuhan pada ilmu filologi untuk kembali pada bahasa Arab yang murni, sebagaimana di tempat asalnya, jazirah Arab, yang tidak tercampuri oleh bahasa asing. Sedangkan gerakan skolastik merupakan gerakan keagamaan ilmiah yang ingin mewujudkan sistem teologi dan hukum yang lebih mendekati ajaran-ajaran Islam tradisional, terbebas dari penagruh teologi dan filsafat Yunani. Al-Qur’an dan hadis menjadi sumber kekuatan bagi gerakan skolastik sekaligus berperan sebagai model bagi pembentukan tatanan hukum yang lebih manusiawi.

Periode gabungan yang menampilkan kemunculan dan perkembangan kedua gerakan ini secara bersamaan terbentang kira-kira mulai dari abad ke-1 H/7 M hingga kurang lebih abad 8 H/14 M. Kedua gerakan ini muncul di kawasan timur dunia Islam, terus bergerak ke arah barat, mulai dari Irak, ke Syria (Suriah), Mesir, sebagian Afrika Utara, Spanyol dan Sisilia. Selanjutnya dari Spanyol dan Sisilia inilah kedua gerakan tersebut merambah ke kawasan Barat Kristen pada waktu yang hampir bersamaan, yakni pada paruh kedua abad ke-11 Masehi.

Periode Umayyah dan Abbasiyah

Dalam buku yang berjudul Sejarah Peradaban Islam,[2] Dr. Amany Lubis et all menerangkan sejumlah kemajuan ilmu pengetahuan di era ini. Ada 6 kategori bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pada era ini: ilmu-ilmu agama, bahasa, sejarah, kalam, sastra dan kimia serta kedokteran. Ilmu-ilmu agama meliputi kajian seputar al-Qur’an, hadis dan fiqh. Pusat-pusat kajian ilmu-ilmu agama menyebar di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, Fustat, dan Damaskus. Di antara sarjana dalam bidang ini yang terkenal adalah Abdullah bin Amr bin Ash (wafat 65 H) dan Yazid bin Abu Habib (wafat 128 H) di Fustat.

Di antara ilmu agama yang berkembang pada era ini adalah ilmu al-Qira`at (ilmu tentang seni membaca al-Qur’an) yang dianggap sebagai peletak dasar utama bagi perkembangan ilmu tafsir di masa-masa berikutnya. Ulama utama yang menekuni bidang ilmu ini adalah Nafi’ al-Madani, Abdullah bin Katsir, Ashim bin Abu al-Nujud, dan Abdullah bin Amir al-Yahshibi.

Ilmu agama lain yang berkembang adalah ilmu tafsir yang telah ada sejak masa hidup Rasulullah saw dan masa para sahabat. Di antara ahli tafsir dari kalangan sahabat adalah Abdullah bin Abbas, sementara dari kalangan tabi’in adalah Mujahid (w. 104 H).

Kemudian ada ilmu hadis yang mengalami perkembangan pesat di masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memprakarsai tadwin (penyusunan dan pembukuan). Di antara tokoh ilmu hadis adalah Sufyan al-Tsauri, al-Mughirah, Ibnu Qudamah al-Tsaqafi, dan lain-lain yang dikenal dengan julukan ahlul hadits.

Di luar ilmu agama, ilmu bahasa yang mencakup ilmu nahwu dan sharaf (tata-bahasa) dan balghah (kesusastraan) juga mengalami perkembangan di era ini. Ilmuwan pertama yang menggeluti bidang ini atas saran dan dukungan dari Ali bin Abi Thalib adalah Abu Aswad al-Du`ali. Banyak ahli sejarah yang mencatat bahwa khotbah-khotbah, surat-surat, dan ucapan-ucapan pendek Ali memberi inspirasi tentang pembentukan ilmu balaghah di masa-masa setelahnya.

Ilmu lain adalah ilmu sejarah yang terutama berpusat pada kajian tentang sirah nabawiyyah yang lebih banyak mengandalkan sumber-sumber lisan dengan metode utama isnad. Kitab-kitab sejarah yang pertama kali disusun adalah al-maghazi  dan al-sirah yang bertutur tentang berbagai perang dan perilaku dan sikap Rasulullah. Melalui dua kategori kitab sejarah itulah umat Islam bisa mengikuti perilaku dan sikap Rasulullah saw dalam berbagai keadaan yang berbeda.

Ada tiga tingkatan (thabaqat) para ahli sejarah masa itu. Tingkatan pertama ahli sejarah Muslim adalah Aban bin Utsman bin Affan (w. 105 H) dan Urwah bin Zubair (w. 92 H), tingkatan keduanya Abu Bakar bin Hazm al-Anshari (w. 120 H) dan Ashim bin Amr bin Qatadah al-Anshari. Dari pengajaran Ashim kemudian lahir sejarawan-sejarawan Muslim terkenal seperti Ibn Ishaq, Al-Waqidi, dan terakhir Ibn Syihab al-Zuhri. Tingkatan ketiga dan terakhir adalah Muhammad ibn Ishaq yang merupakan murid kesayangan Ibn Syihab al-Zuhri.

Dua ilmu humaniora lain yang berkembang pada masa ini adalah ilmu kalam dan seni syair. Sementara di bidang sains terdapat ilmu kimia dan kedokteran. Dinasti Umayyah dikenal memberikan perhatian besar terhadap karya-karya di bidang medis dan kimia untuk keperluan-keperluan praktis. Tokoh Bani Umayyah pertama yang menekuni kedua bidang sains itu adalah Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah. Khalid belajar dari seorang pendeta terkenal bernama Miryanus yang tinggal di Aleksandria, Mesir. Tokoh dinasti Umayyah lain yang juga menggalakkan studi sains adalah Umar bin Abdul Aziz.

Pada era dinasti Abbasiyah tradisi intelektual dan saintifik mengalami perkembangan yang makin pesat. Para penguasa dinasti ini memiliki kegemaran menekuni dan mendalami berbagai bidang ilmu, sehingga para wazir yang diangkat biasanya berasal dari kalangan ilmuwan atau setidaknya dari kalangan yang memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Bidang-bidang ilmu administrasi dan pemerintahan di zaman ini mencapai tingkat yang sangat maju dan canggih, demikian pula bidang-bidang ilmu filsafat, teologi dan fisika.

Untuk bidang ilmu administrasi dan pemerintahan, Bani Abbas banyak menyadur dari tradisi Persia yang dikenal memiliki warisan budaya administrasi dan pemerintahan yang luar biasa. Darius dan Sirus Agung adalah beberapa kaisar Persia yang mewariskan catatan-catatan berharga mengenai ilmu pemerintahan, hak-hak asasi, kewarganegaraan dan sebagai yang kemudian diadopsi oleh dinasti Abbasiyah.[3] (MK)

Bersambung:

Penemuan dan Pengembangan Cendikiawan Muslim di Bidang Sains dan Ilmu Sosial (2)

Catatan kaki:

[1] George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islan dan Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat, Serambi, 2005.

[2] Dr. Amany Lubis et all, Sejarah Peradaban Islam, PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2005.

[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Darius_the_Great dan http://en.wikipedia.org/wiki/Cyrus_the_Great.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*