Penemuan dan Pengembangan Cendikiawan Muslim di Bidang Sains dan Ilmu Sosial (2)

in Budaya Islam

Last updated on March 2nd, 2019 03:49 am

Periode Mamluk, Fathimiyah, Usmani dan Safawi

Dinasti Mamluk melanjutkan kemajuan ilmu pengetahuan pada era-era sebelumnya, terutama karena beberapa faktor sebagai berikut: a) cendikiawan dan ulama sangat dihormati baik oleh masyarakat maupun penguasa; b) para penguasa memuliakan ilmu dan gemar menuntut ilmu apa pun; c) perjalanan dan petualangan ilmiah dilakukan demi memperkaya khazanah intelektual umat Islam; d) perpindahan para cendikiawan Muslim dari berbagai kawasan dunia Islam ke Mesir karena dianggap lebih kondusif untuk berkembangnya ilmu pengetahuan; dan e) adanya gerakan wakaf produktif yang gencar. Di masa ini berkembang berbagai pusat dan lembaga ilmu seperti maktab/kuttab, madrasah, masjid, rumah sakit, pertemuan ilmiah di rumah para elit Mamluk, serta merebaknya penerbit buku dan toko kertas (hawanit al-warraqin).

Tradisi intelektual Islam berlanjut terus pada era kekuasaan dinasti Fathimiyah. Seiring penaklukan Mesir oleh panglima perang Fathimiyah bernama Jahwar al-Shaqili di masa pemerintahan Al-Mu’izz li Dinillah, dinasti Fathimiyah membangun ibukota baru bernama Kairo. Di sana Jawhar membangun istana, kompleks pemerintahan, dan yang terpenting adalah masjid Al-Azhar. Masjid jami’ Al-Azhar kemudian berkembang menjadi universitas dan pusat penelitian ilmu pengetahuan yang bertaraf internasional. Al-Azhar terus berkembang menjadi lembaga pendidikan para mahasiswa Muslim dari seantero dunia Islam hingga zaman ini.

Ilmu pengetahuan di era dinasti Usmani tampak pada bidang arsitektur dan militer.  Di masa kekuasaan Sultan Mahmud II terjadi reformasi di berbagai bidang yang bertujuan memperkuat posisi dan citra dinasti Usmani. Di masa itulah kurikulum pendidikan yang semula hanya berisi pengajaran ilmu-ilmu agama seperti fiqh, tafsir dan bahasa Arab ditambahkan dengan pengajaran ilmu-ilmu umum lain. Untuk tujuan itu, Sultan Mahmud II mendirikan dua sekolah pengetahuan umum, yaitu Sekolah Pengetahuan Umum dan Sekolah Sastra.

Dinasti Safawi memberikan sumbangan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam. Di antara bidang yang berkembang di bawah kekuasaan dinasti Safawi adalah ilmu pertanian, arsitektur dan konstruksi, seni kerajinan tangan, sastra, astronomi, teologi dan filsafat. Di bidang konstruksi, penguasa dinasti Safawi berhasil mendirikan ibu kota Isfahan yang hinggi kini terkenal sebagai salah satu kota terindah di dunia. Di kota ini berdiri berbagai bangunan besar yang indah seperti masjid, rumah sakit, jembatan raksasa Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Isfahan dilengkapi dengan 162 masjid dan 48 akademi yang menjadi pusat pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Para Ilmuwan dan Sejumlah Penemuan Saintifik

Sejarah ilmu pengetahuan Islam mengenal banyak hakim (jamak: hukama`), yakni sarjana yang menguasai beberapa ilmu sekaligus tanpa memiliki spesialisasi khusus. Di Barat mereka dikenal dengan nama polymath dan di era Renaisans mereka dikenal dengan nama Renaissance Men seperti Leonardo da Vinci.[1] Di antara ilmuwan Muslim yang paling terkenal adalah Al-Biruni, Al-Jahiz, Al-Kindi, Ibn Sina (Avicenna), Al-Idrisi, Ibn Bajjah, Ibn Zuhr, Ibn Thufayl, Ibn Rusyd (Averroes), Jabir bin Hayyan, Abbas bin Firnas, Ibn al-Haytsam (Alhazen), Ibn al-Nafis, Ibn Khaldun, Al-Khawarizmi, Al-Mas’udi, Al-Muqaddasi dan Nashiruddin al-Thusi.

Ibn al-Haytsam dapat dianggap sebagai pionir di bidang fisika eksperimental yang meneruskan tradisi eksperimental Ptolemeus.[2] Ibn al-Haytsam juga menulis The Book of Optics di mana dia menyumbangkan banyak gagasan seputar ilmu optik dan membuat kamera obscura.

Di antara inovasi para ilmuwan Muslim adalah pembangkit tenaga angin dan air untuk menggerakkan penggilingan yang digunakan sejak abad ke-7 M dalam berbagai bentuknya. Pada abad ke-11 M, perangkat-perangkat penggilingan telah beroperasi dari Andalusia dan Afrika Utara sampai ke Timur Tengah dan Asia Tengah.

Para insunyur Muslim juga berhasil membuat poros engkol dan turbin air, memprakarsai penggunaan waduk air untuk pembangkit tenaga air.[3] Transfer teknologi-teknologi ini ke Eropa pada Abad Pertengahan berperan besar dalam membangkitkan Revolusi Industri di kawasan tersebut pada awal abad ke-16.

Para ilmuwan Muslim juga berperan mengembangkan instrumen-instrumen astronomi, pembuatan keramik, rumus-rumus kimia, teknologi penyulingan air, jam, kaca, mesin bertenaga penggerak udara dan angin, irigasi, mosaik, kertas, farmasi, tekstil, pembuatan besi dan baja dan lain sebagainya. Misalnya, pabrik kaca pertama di Eropa didirikan oleh pengusaha Mesir di Yunani.[4]

Paul Valley mencatat beberapa penemuan lain yang dibuat oleh para ilmuwan Muslim adalah kamera obscura, kopi, sabun, pasta gigi, alkohol hasil distilasi, berbagai jenis asam, katup, peta bumi dan sebagainya.[5]

Di bidang astronomi, ilmuwan Muslim tercatat sebagai yang pertama menggunakan observatorium pertama bernama Maragha. Para sejarawan kemudian menyebut peristiwa pendirian observatorium Maragha dengan revolusi Maragha.[6] Observatorium ini didirikan di masa Khalifah Al-Ma’mun di bawah arahan Nashiruddin al-Thusi.

Di bidang kimia, nama Jabir bin Hayyan (Geber) tercatat sebagai salah satu kampiun dalam eksperimen-eksperimen menyangkut proses-proses kimiawi seperti penyulingan, kristalisasi, oksidasi dan penguapan.[7] Abu Rayhan al-Biruni menolak klaim para ahli kimia sebelumnya tentang transmutasi metal. Nashiruddin al-Thusi mengemukakan versi lain tentang hukum konservasi massa dengan menyatakan bahwa materi dapat berubah tapi tidak dapat hilang.[8] Akibat begitu banyaknya sumbangan para ilmuwan Muslim di bidang kimia maka Alexander von Humboldt[9] dan Will Durant menganggap bahwa para kimiawan Muslim abad pertengahan sebagai peletak dasar kimia modern.[10]

Ahli matematika Muslim, al-Khawarizmi, tercatat sebagai penemu algebra, algoritma dan trigonometri. Omar Khayyam juga dianggap sebagai pencetus algebra geometris, sedangkan Nashiruddin al-Thusi berhasil membantah geometri Euclidean dan postulat paralel.

Para sarjana Islam menyumbang banyak terhadap ilmu kedokteran terutama di bidang anatomi, kedokteran eksperimental, patologi, farmasi, pembedahan dan sebagainya. Ibnu Sina hingga kini disepakati sebagai ilmuwan kedokteran Muslim yang meletakkan dasar-dasar ilmu kedokteran dan metode klinik melalui bukunya yang sangat terkenal, al-Qanun. Rumah sakit dan sekolah kedokteran pertama juga didirikan oleh kalangan ilmuwan Muslim.[11] Abul Qasim (Abulcasis) merupakan ilmuwan yang merancang ilmu bedah dalam bukunya yang berjudul ‘Ilm Al-Tashrif. Di buku itu pula dia merancang sejumlah instrumen bedah seperti gunting bedah, jarum suntik, senar, retraktor, benang jahit dan sebagainya.[12]

Al-Biruni adalah ilmuwan Muslim yang memperkenalkan metode saintifik dalam ilmu mekanika.[13] Hukum-hukum gerak Newton dianggap banyak berpijak pada hasil-hasil eksperimen al-Biruni. Al-Biruni juga dianggap sebagai pionir di bidang geodesi dan antropologi.[14]

Epilog

Semua informasi dan data di atas barulah sedikit dari sekian banyak data terkait dengan sejarah ilmu pengetahuan Islam, sumbangan dan penemuan ilmuwan Muslim, dan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang berkembang sepanjang sejarah Islam. Tentu saja survey yang lebih ketat dan mendalam tentang sejarah penemuan dan pengembangan cendikiawan Muslim di bidang ilmu pengetahuan membutuhkan pada riset yang lebih serius dan ketat.

Tulisan di atas belum menguraikan profil beberapa ilmuwan Muslim kontemporer dan temuan-temuan mereka di bidang ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, Abdussalam, fisikawan yang dianggap berperan mengembangkan fisika kuantum.

Poin akhir yang perlu kita ingat ialah bahwa kejayaan Islam di masa lalu selalu diikuti oleh pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan. Paralelisme ini merupakan bukti kuat bahwa Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk belajar dari sejak masih dalam buaian sampai liang kubur. (MK)

Selesai.

Sebelumnya:

Penemuan dan Pengembangan Cendikiawan Muslim di Bidang Sains dan Ilmu Sosial (1)

Catatan Kaki:

[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_Golden_Age

[2] Gorini, Rosanna (October 2003), “Al-Haytham the man of experience. First steps in the science of vision” (pdf), Journal of the International Society for the History of Islamic Medicine 2 (4): 53–55 [55], retrieved 2008-09-25.

[3] Ahmad Y. Hassan, http://www.history-science-technology.com/Articles/articles%2071.htm.

[4] Ibid.

[5] Paul Vallely, How Islamic Inventors Changed the World,The Independent, 11 March 2006.

[6] George Saliba (1994), A History of Arabic Astronomy: Planetary Theories During the Golden Age of Islam, pp. 245, 250, 256–7. New York University PressISBN 0-8147-8023-7.

[7] Paul Vallely, Op.Cit.

[8] Farid Alakbarov (Summer 2001). A 13th-Century Darwin? Tusi’s Views on EvolutionAzerbaijan International 9 (2).

[9] Dr. Kasem Ajram (1992). Miracle of Islamic Science, Appendix B. Knowledge House Publishers. ISBN 0-911119-43-4.

[10] Will Durant (1980). The Age of Faith (The Story of Civilization, Volume 4), pp. 162–186. Simon & Schuster. ISBN 0-671-01200-2.

[11] a b George SartonIntroduction to the History of Science.
(cf. Dr. A. Zahoor and Dr. Z. Haq (1997), Quotations From Famous Historians of Science, Cyberistan.

[12] Paul Vallely, Op.Cit.

[13] Mariam Rozhanskaya and I. S. Levinova (1996), “Statics”, in Roshdi Rashed, ed., Encyclopedia of the History of Arabic Science, Vol. 2, pp. 614–642 [642]. Routledge, London and New York.

[14] Akbar S. Ahmed (1984). “Al-Beruni: The First Anthropologist”,RAIN 60, pp. 9–10.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*