Beberapa Muslimah Hebat dari Abad Pertengahan (3): Para Ratu

in Tokoh

Mereka adalah para Raja. Hanya tubuh mereka saja yang wanita. Semua syarat untuk menjadi seorang raja ada pada diri mereka. Bahkan mereka melampuai semua ekspektasi yang bisa harapkan dari seorang raja.

—Ο—

Kaum Muslimah dari abad pertengahan ternyata tak hanya giat berkecimpung di bidang sains dan seni, tapi juga politik. Peran mereka dalam dunia politik sebenarnya banyak sekali, dan dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada yang melakukannya di balik layar, tapi ada juga yang benar-benar tampil kepermukaan. Ada di antara mereka yang hanya mengambil mandat, ada juga yang secara definitif menjadi Sultan, bahkan ada yang bangkit menjadi penguasa sesungguhnya dan berhasil mendirikan sebuah dinasti. Berikut ini tiga orang di antara mereka yang kiprah politiknya cukup monumental pada zamannya.

 

Dhayfa Khatun

Dhayfa Khatun, adalah seorang permaisuri dinasti Ayyubiyah yang sangat berpengaruh. Ia adalah istri dari penguasa Aleppo, al-Zahir Ghazi.

Ia lahir di Aleppo pada 1186 M. Ayahnya adalah raja Al Adel, saudara kandung Shalahuddin Al Ayyubi dan kakaknya adalah raja Al Kamal. Al Zahir tidak lain merupakan putra dari Shalahuddin Al Ayyubi. Dari pernikahan ini ia dikaruniai putra bernama Abdul Aziz, yang naik tahta menggantikan ayahnya. Namun setelah Abdul Aziz mangkat, tahta dinasti Ayyubiyah mengalami kekosongan. Pewaris sah nya adalah cucu dari Dhayfa Khatun, yang pada saat itu masih berusia 7 tahun. Untuk mengatasi kondisi ini, ia kemudian naik tahta sebagai ratu dengan mandat dari cucunya. Praktis ia memerintah Aleppo selama 6 tahun. Selama masa pemerintahannya ia menghadapi banyak ujian yang berarti, mulai dari menghadapi tentara Mongol, Saljuk, dan tentara Salib. Tidak disangka, ia ternyata memiliki kecakapan yang sangat mumpuni dalam hal kepemimpinan ini.[1]

Ia termasuk salah satu pemimpin yang populer pada masa itu. Ia menyingkirkan ketidakadilan dan memperbaiki kebijakan pajak yang tidak berpihak pada rakyat. Selain itu, ia juga memberi perhatian lebih dalam hal pembangunan dan pemeliharaan bangunan arsitektur Islam. Ia bahkan mendirikan lembaga khusus yang bertugas untuk merawat bangunan-bangunan tersebut.

Selain dalam bidang politik dan sosial, Dhayfa memiliki kepedulian yang tinggi pada pendidikan. Dalam masa pemerintahannya yang singkat, ia bahkan sempat membangun dua buah sekolah. Pertama, adalah Madrasah Al Firdaus, yang khusus mengajarkan studi-studi keislaman dan syariah, utamanya mahzab Syafi’i. Madrasah Al Firdaus berlokasi di dekat Bab al-Makam di Aleppo. Selain sekolah, di tempat ini juga terdapat asrama untuk siswa dan juga masjid. Adapun sekolah kedua yang dibangunnya adalah Madrasah Khankah yang bidang studinya lebih bersifat umum. Disamping membahas juga soal syariah, madrasah ini juga mengajarkan bidang-bidang ilmu umum lainnya. Sekolah ini terletak di Mahalat al-Frafera, Aleppo, Suriah. Dhayfa wafat pada tahun 1242 di usia 59 tahun, dan dimakamkan di benteng Aleppo.[2]

 

Shajarat al-Durr

Tokoh Muslimah yang tak kalah hebat adalah Shajarat al-Durr. Ia tidak hanya seorang permaisuri, tapi juga sempat menjabat sebagai Sultana, dan mendirikan dinasti Mamluk yang terkenal itu. Ialah tokoh dibalik kemenangan pasukan kaum Muslimin menghadapi pasukan Louis IX pada Perang Salib ke tujuh (1249-1250). Ia dinobatkan sebagai Sultana di Kairo pada tanggal 2 Mei 1250 masehi. Penobatannya ini menandai berakhirnya dinasti Ayyubiyah yang didirikan oleh Shalahuddin Al Ayyubi, dan dimulainya masa dinasti Mamluk yang bertahan hingga awal abad 19 masehi. Ia memerintah Mesir selama 7 tahun, dan meninggal di Kairo pada tahun 1257.[3]

Lukisan Shajarat al-Durr, berjudul “Malika” karya Ana Carreño Leyva; Kaligrafi oleh Soraya Syed; dan logo grafis oleh Mukhtaar Sanders.  Sumber : aramcoworld.com

Shajarat al-Durr (yang namanya berarti pohon mutiara), adalah kisah langka kaum perempuan. Kehidupannya berawal dari hanya perempuan biasa, kemudian menjadi seorang harem dari Sultan Ayyubiyah, Malik Al Salih. Al Salih begitu mencintai Shajarat, bukan hanya karena kecantikannya, tapi karena kecerdasannya yang luar biasa. Tak jarang Al Salih mengajaknya ke medan tempur, dan meminta nasehatnya terkait strategi yang akan dilancarkan. Shajarat pun tidak pernah menyia-nyiakan kepercayaan suaminya. Strateginya selalu jitu dan tak jarang menjadi penentu akhir kemenangan pasukan Ayyubiyah atas musuh-musuhnya.

Kecakapan Shajarat semakin tajam ketika pada 1249 pasukan Salib yang dipimpin oleh Louis IX bergerak menuju Mesir, sedang pada saat yang bersamaan, hampir seluruh pasukan inti Mesir dibawa oleh Al Salih ke medan tempur di Syiria. Praktis pada saat itu, Shajarat yang memimpin komando penghadangan terhadap pasukan Salib tersebut. Dengan kecermatan dan kecerdikan yang luar biasa, ia akhirnya mampu mengendalikan situsi dan mengalahkan pasukan Salib dan menahan Louis IX.

Kehebatan Shajarat al-Durr tidak sampai di situ. Ketika Sultan Malik Al Salih wafat, dan kemudian digantikan oleh putranya Turan Shah. Tapi usia pemerintahan Turan Shah sangat singkat, ia dibunuh dan ini menandai berakhirnya masa dinasti Ayyubiyah sejak didirikan oleh Shalahuddin Al Ayyubi. Melihat kondisi kekosongan kekuasaan ini, Shajarat al-Durr kemudian di daulat menjadi Sultana. Pemberian gelar ini sudah berdasarkan pertimbangan yang cukup matang, mengingat orang-orang Mamluk yang saat itu menjadi elit pasukan di Mesir sudah menyaksikan sendiri kecakapan dan kepemimpinan Shajarat al-Durr.

Hebatnya, Shajarat mampu menjalankan mandat ini dengan sangat baik. Ia bahkan berhasil mengambil simpati masyarakat Mesir dan merelakan kepemimpinan Mesir di ambil alih oleh dinasti Mamluk. Dan transisi besar dua dinasti ini berjalan mulus tanpa setetes darah pun. Ia akhirnya meninggal pada 1257 setelah 7 tahun memerintah Mesir. Ia dimakamkan di tempat yang memang sudah dia sediakan sendiri semasa hidupnya. Makamnya menjadi salah satu makam yang paling indah di Mesir.

 

Radiyya binti Iltutmish

Berbeda dengan Dhayfa Khatun dan Shajarat al-Durr yang menggapai posisinya dari bukan siapa-siapa, Radiyya binti Iltutmish terlahir dengan sendok perak di bibirnya. Ia memang seorang putri raja Delhi. Ia naik tahta pada abad yang sama dengan Shajarat al-Durr, sedikit agak lebih dulu, yaitu pada 1236 masehi. Tapi usia kekuasaannya hanya berlangsung selama empat tahun (1236-1240 M). Para sejarawan lebih banyak menyebutnya dengan nama Razia Sultana.[4]

Ilustrasi Radiyya binti Iltutmish. Sumber gambar: ozy.com

Dalam sejarah bangsa India, khususnya di Delhi, mungkin Radiyya satu-satunya wanita yang secara definitif pernah menjabat sebagai Sultan. Ia lahir pada tahun 1205 masehi. Nenek moyang Radiyya adalah Muslim keturunan Turki yang datang ke India pada abad ke-11. Ayahnya Syamsuddin Iltutmish adalah seorang raja yang masyur karena keberanian, kebijaksanaan dan kemurahan hatinya. Ia memerintah Delhi sekitar 25 tahun. Dan dalam periode pemerintahannya, Delhi menjelma menjadi kekuatan yang disegani. Para pejabat Istana, prajurit dan rakyat menyatakan kesetiaannya pada Syamsuddin. Tidak mengherankan bila di masa kepemimpinannya, Delhi berhasil memperluas wilayah kesultanannya dari Khyber Pass, (di sepanjang perbatasan Afghanistan-Pakistan saat ini), hingga ke Teluk Benggala di timur.

Tapi masalah mulai merundung di akhir masa hidupnya. Tentang siapa kelak yang menjadi penerusnya. Syamsuddin dikaruniai tiga orang anak, dua laki-laki, yaitu Ruknuddin Firuz, dan Bahram. Serta satu anak perempuan, yang juga anak tertuanya, Radiyya.  Sayangnya, kedua anak laki-lakinya yang seharusnya menjadi putra mahkota tidak memiliki kecakapan yang cukup untuk menggantikan posisinya. Dan hampir semua kualifikasi yang diharapkan Syamsuddin ada pada anak laki-lakinya, justru dimiliki seluruhnya oleh anak perempuannya, Radiyya. Maka pada di akhir masa hidupnya, Syamsuddin mengeluarkan keputusan yang kontroversial, mengangkat Radiyya sebagai putra mahkota.

Ketika para elit istana mempertanyakan pengangkatan Radiyya, Syamsuddin menjelaskan alasannya, “putra-putra saya kerjanya hanya minum-minuman keras dan berfoya-foya. Tak ada satupun dari mereka yang memiliki kecakapan mengelola Negara,” kemudian dia melanjutkan, “Radiyya, lebih baik dari dua puluh anak laki-laki semacam itu.” Memang sejak lama, jauh sebelum pengangkatannya, Radiyya sudah sering membantu ayahnya dalam mengelola Negara, hingga ke masalah-masalah militer. Ia memiliki kecakapan dan kedisipinan yang tinggi dalam bekerja. Firishta, seorang sejarawan Persia abad 16, menyebut Radiyya memiliki “setiap kualitas yang bagus yang biasanya menghiasi para pangeran tertua.”[5]

Wilayah kekuasaan Radiyya binti Iltutmish. Sumber gambar: muslimheritage.com

Pada tahun 1236, Syamsuddin meninggal dunia. Dan secara otomatis Radiyya naik tahta menggantikan ayahnya. Ternyata pilihan Syamsuddin tidak meleset. Radiyya memimpin dengan sangat baik. Kedamaian dan ketertiban berlangsung di negara tesebut. Pamor Radiyya menyebar dengan sangat cepat. Ia dengan mudah meraih dicinta rakyatnya.

Ia mendorong perdagangan, pembangunan jalan, menanam pohon, menggali sumur dan pengairan, serta mendukung para penyair, pelukis, dan pemusik. Ia juga memberi perhatian yang besar pada bidang pendidikan. Sekolah dan perpustakaan pun dibangun pada masanya.[6]  Dan satu hal yang cukup unik dari Radiyya, ia muncul ke depan publik tanpa menggunakan Jilbab. Ia berpenampilan layaknya seorang pria, dengan mengenakan tunik dan hiasan kepala, sebagaimana umumnya pria India masa itu.  Mungkin ini salah satu upayanya untuk meredam sentiment patriarki di kalangan masyarakat yang memang marak sejak pelantikannya sebagai Sultan.

Disamping itu, ia juga dengan tegas mencairkan diskriminasi di tengah masyarakat. Tidak sedikit para pejabat istana yang tidak menyukai keputusan-keputusan anti-deskriminasi Radiyya. Dan salah satu keputusannya yang paling kontroversial dalam hal ini, ia menunjuk seorang budak Etiopia, Jamaluddin Yaqut, sebagai salah satu pejabat di dalam Istana, yang dengan demikian, para status qou pun harus berbagi tempatnya dengan budak ini. Rasa iri dan protes ini kemudian dimanfaatkan oleh saudara-saudara laki-lakinya. Provokasipun berhasil, dan pemberontakan pun terjadi. Dalam pertempuran melawan pemberontakan yang dilakukan oleh saudaranya sendiri, pasukan Radiyya berhasil dikalahkan, dan Radiyya terbunuh. Ia Meninggal pada tanggal 13 Oktober 1240 masehi. Saat ini, para sejarawan masih berdebat tentang dimana tepatnya Radiyya dikebumikan.[7] (AL)

Selesai

Sebelumnya

Beberapa Muslimah Hebat dari Abad Pertengahan (2): Para Ilmuwan dan Seniman

 

Catatan kaki:

[1] Lihat, http://www.muslimheritage.com/node/629, diakses 22 Desember 2017

[2] Ibid

[3] Kisah selengkapnya tentang Shajarat al-Durr dapat dilihat di link: https://ganaislamika.com/shajarat-al-durr-pendiri-dinasti-mamluk/

[4] Lihat, http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/16/07/26/oax0bt313-jejak-kepemimpinan-muslimah-kesultanan-delhi, diakses 22 Desember 2017

[5] Lihat, http://www.aramcoworld.com/en-US/Compilations/2017/Malika/Malika-II-Radiyya-bint-Iltutmish, diakses 22 Desember 2017

[6] Lihat, http://www.muslimheritage.com/node/629, Op Cit

[7] Lihat, https://wikivisually.com/wiki/Razia_Sultana, diakses 22 Desember 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*