“Dinasti Umayyah digulingkan oleh sebuah keluarga yang merupakan keturunan dari paman Nabi Muhammad SAW, Abbas bin Abdul-Muththalib. Hampir seluruh keluarga Umayyah dibantai, namun seorang anak lelaki usia 19 tahun berhasil melarikan diri ke Cordoba. Di kota itu dia mulai menapaki tangga kekuasaan kembali.”
–O–
Di dalam sejarah Islam dan Timur Tengah, keberadaan kota Cordoba di Andalusia, atau Spanyol pada hari ini merupakan sebuah monumen peristiwa tersendiri yang penting. Di masa pemerintahan Dinasti Islam di Cordoba, tiga agama Ibrahim – Yudaisme, Kristen, dan Islam— dapat hidup bersama dalam sebuah koeksistensi yang menguntungkan satu sama lain. Masa-masa tersebut adalah masa di mana ketika pemeluk terbaik dan tercerdas dari ketiga agama tersebut tidak hanya saling memahami pentingnya bekerja sama demi keuntungan bersama, tetapi juga mendorong kemajuan ilmu pengetahuan di kalangan Muslim maupun non-Muslim Eropa.[1]
Dalam bahasa Spanyol periode ini disebut dengan istilah “La Convivencia”, yang artinya adalah “Hidup Bersama”, yakni ketika Andalusia menjadi tempat pusat kemajuan politik, ekonomi, dan budaya. Ini adalah suatu masa ketika para seniman berhasil menciptakan karya-karya yang luar biasa, dan selain itu, di bidang kedokteran, ilmu pengetahuan, matematika, dan sejenisnya mengalami kemajuan yang sangat pesat.[2]
Pelarian Umayyah
Pada saat invasi Arab-Berber di Afrika Utara yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad dimulai pada tahun 711, otoritas pusat di dunia Muslim adalah kekhalifahan Umayyah, yang mengontrol pemerintahan dari ibukotanya, Damaskus. Pada tahun 750, bagaimanapun, pada akhirnya setelah Umayyah berkuasa selama 89 tahun, mereka digulingkan oleh sebuah keluarga yang merupakan keturunan dari paman Nabi Muhammad SAW, Abbas bin Abdul-Muththalib. Setelah peristiwa itu, sebuah kekhalifahan baru di dunia Islam berdiri, yakni Abbasiyah.[3]
Ketika peristiwa penggulingan, Abbasiyah membantai hampir seluruh keluarga Umayyah, dan kemudian membangun ibu kota baru di Baghdad pada tahun 762. Tetapi seorang anak lelaki berusia 19 tahun keturunan Umayyah yang bernama Abdurrahman berhasil lolos. Setelah menyeberangi Selat Gibraltar, dan tiba di Andalusia, Abdurrahman bergabung dengan sekitar 500 pendukung Umayyah. Dengan bantuan mereka, dan dengan memanfaatkan persaingan lokal antara suku Berber dan kelompok-kelompok Arab yang beragam, Abdurrahman mampu mengangkat dirinya sendiri menjadi penguasa di Cordoba pada tahun 756.[4]
Abdurrahman menjadi Amir pertama Cordoba dan kepala keluarga Umayyah di pengasingan. Keputusan Abdurrahman untuk membatasi dirinya pada gelar Amir (atau pangeran) ketimbang sebagai khalifah (atau pengganti Nabi) adalah keputusan yang cerdas. Dia berpikir, dengan situasinya pada waktu itu, tidak ada gunanya menciptakan lebih banyak musuh di wilayah itu daripada yang sudah ada, terutama di antara mereka yang telah bersumpah setia kepada khalifah baru, Abbasiyah di Baghdad.[5]
Cordoba, Wilayah yang Dianugerahi
Dengan preferensi keagamaannya yang toleran terhadap agama lain, Abdurrahman sebagai Amir di Cordoba, sedang mulai menapaki tangga kejayaannya. Sering dikatakan bahwa sikap toleransi Abdurrahman terhadap orang-orang non-Arab dan non-Muslim muncul murni dari kebutuhan politik praktis saja. Pada saat itu, baik di Andalusia maupun di Timur Tengah, atau di dunia Muslim lainnya, dia hanya memiliki sedikit sekutu. Selain itu, di Semenanjung Iberia, Muslim dan orang-orang Arab meskipun statusnya merupakan penguasa, namun pada dasarnya mereka adalah minoritas. Maka, secara praktis tidak ada gunanya dia menciptakan musuh baru, apa yang dia butuhkan adalah bagaimana caranya untuk menambah teman sebanyak mungkin.[6]
Tetapi sebuah fakta lain mungkin dapat menyangkal anggapan bahwa toleransinya itu sebatas untuk kepentingan praktis. Abdurrahman memiliki ibu yang berasal dari suku Berber, sebuah suku asli asal Afrika Utara, yang jelas-jelas bukan merupakan seorang Arab. Suku Berber memiliki bahasa dan kebudayaannya tersendiri sebelum wilayah Afrika Utara ditaklukan oleh Arab.[7]
Dengan fakta itu, maka sejak kecil Abdurrahman sudah terbiasa dengan keberagaman bahasa, etnis, dan agama. Selain itu, Abdurrahman juga menikahi seorang perempuan Kristen, dan sementara— menurut hukum Islam — setiap anaknya harus dibesarkan sebagai orang Muslim, namun istrinya sendiri tidak pernah pindah ke agama Islam, dan tampaknya Abdurrahman sendiri tidak pernah memintanya.[8]
Terlepas dari persoalan kemampuan Abdurrahman yang cakap dalam memimpin, dia juga didukung oleh faktor lain, yakni kekayaan alam. Cordoba adalah sebuah wilayah yang memiliki sumber air yang sangat baik dan tanah yang subur, sehingga kehidupan pertanian di sana dapat tumbuh dan menghasilkan hasil tani yang sangat banyak. Selain itu, karena terletak dekat dengan dataran pesisir pantai, potensi interaksi dengan bagian dunia lain juga menjadi lebih terbuka.[9]
Tidak lama setelah Cordoba tumbuh dan berkembang, kota ini juga mendapat peluang keberuntungan dari luar. Cordoba mendapatkan peluang perkembangan ekonomi ketika Kekaisaran Bizantium kehilangan kendali angkatan lautnya di Mediterania barat. Dengan Kekaisaran Bizantium Kristen tidak lagi menjadi ancaman bagi pantai Iberia, Cordoba — juga Seville dan kota-kota lain di Andalusia — menjadi bebas untuk mengembangkan jaringan perdagangan yang lebih besar, termasuk dengan negara-negara Kristen.[10] (PH)
Bersambung ke:
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 93.
[2] Doug Motel, “La Conviviencia and The Golden Ages of Andalusia”, dari laman http://www.esotericquest.org/articles/conviviencia.html, diakses 10 Oktober 2018.
[3] Asma Afsaruddin, “Umayyad dynasty”, dari laman https://www.britannica.com/topic/Umayyad-dynasty-Islamic-history, diakses 11 Mei 2018.
[4] Eamon Gearon, Loc. Cit.
[5] Ibid., hlm 93-94.
[6] Ibid., hlm 94.
[7] Redmond, WA, “Algeria”, (Encarta Encyclopedia 2009: Microsoft Corporation, 2008)
[8] Eamon Gearon, Loc. Cit.
[9] Ibid.
[10] Ibid.