Pada musim haji tahun 186 H, Harun Al-Rasyid untuk kesekian kalinya mengangkat putranya menjadi putra mahkota. Setelah sebelumnya Al-Amin, lalu Al-Ma’mun, sekarang dia mengangkat Al-Mu’tamin sebagai penerus Al-Ma’mun. Melihat Harun Al-Rasyid membagi-bagikan dunia di antara ketiga anaknya, orang-orang bijak kala itu berkomentar, “Dia telah menciptakan derita di antara mereka sendiri dan menimbulkan bencana teramat besar pada rakyatnya.”
Pada tahun 186 H, Harun Al-Rasyid berangkat haji bersama putra-putranya. Dia membawa serta semua sanak keluarganya, para panglima perang, dan juga para tokoh-tokoh terkemuka Bani Hasyim. Ikut juga dalam kesempatan tersebut Ja’far bin Yahya bin Khalid yang ketika itu sudah menjadi wazir Harun Al-Rasyid menggantikan ayahnya.
Harun Al-Rasyid adalah salah satu khalifah yang paling rajin naik haji. Setiap tahun sejak dilantik sebagai khalifah tak pernah sekalipun
dia melewati kesempatan ke tanah suci. Kesempatan ini dia gunakan untuk bertemu dengan seluruh kaum Muslim se dunia, dan mendengar langsung aspirasi serta keluh kesah mereka. Dan ketika kembali, semua pengaduan tersebut akan ditindaklanjuti oleh Harun Al-Rasyid. Semua ini adalah hal yang rutin, dan masyarakat pun mahfum akan hal tersebut.
Akan tetapi khusus untuk ibadah haji kali ini, bisa dikatakan berbeda. Karena pada musim haji kali ini, Harun Al-Rasyid mengangkat Al-Qasim, putra ketiganya sebagai putra mahkota di urutan ketiga, setelah Al-Amin dan Al-Ma’mun. Al-Qasim lahir dari seorang budak bernama Qasif yang dinikahi Harun Al-Rasyid. Sulit dipastikan berapa tepatnya usia Al-Qasim ketika dilantik sebagai putra mahkota ketiga ini. Tapi Imam Al-Suyuthi mengatakan bahwa dia masih sangat kecil saat itu.[1]
Menurut Tabari, bila Al-Amin dimentori oleh Fadl bin Yahya; sedang Al-Ma’mun oleh Ja’far bin Yahya; maka Al-Qasim dimentori oleh Abdul Malik Saleh, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Mesir dan Suriah. Abdul Malik lah yang merayu Harun Al-Rasyid sehingga Harun tergoda untuk mengangkat putra ketiganya yang masih sangat belia tersebut sebagai putra mahkota ketiga.[2]
Setelah resmi dilantik sebagai putra mahkota ketiga, Al-Qasim mendapat gelar Al-Mu’tamin. Sebagaimana kakak-kakaknya yang sesaat setelah dilantik dipercaya untuk memerintah sebuah wilayah (untuk melatih kecakapan mereka dalam pemerintahan),[3] Al-Mu’tamin diserahi tanggungjawab untuk memegang kendali wilayah Al-Jazirah dan juga Thughur (sebuah wilayah frontier yang berbatasan langsung dengan kekaisaran Bizantium). [4] Disebabkan usianya yang masih sangat belia, secara otomatis pengendali sesunggunya wilayah ini adalah mentor-mentor mereka. Dalam konteks Al-Mu’tamin, yang berkuasa di kawasan itu tidak lain adalah Abdul Malik bin Saleh.
Kemudian Harun Al-Rasyid membuat sebuah piagam perjanjian yang mengikat kesepakatan di antara anak-anaknya. Piagam tersebut ditulisnya sendiri. Isinya kurang lebih sebagai berikut:
“Bahwa Al-Amin bersumpah akan memenuhi hak Al-Ma’mun, demikian juga sebaliknya. Al-Amin akan memerintah terlebih dahulu. Dan selama dia memerintah, Al-Ma’mun akan selalu mematuhi perintahnya. Akan tetapi, Al-Amin tidak diperbolehkan mencopot jabatan Al-Ma’mun yang sudah ditetapkan oleh Harun Al-Rasyid. Adapun untuk Al-Mu’tamin, haknya atas tahta sangat bergantung pada Al-Ma’mun. Al-Mu’tamin harus terlebih dahulu menunjukkan kontribusi dan kapabilitas dirinya hingga dianggap layak oleh Al-Ma’mun menggantikan kedudukannya kelak. Bila tidak, maka Al-Ma’mun diperkenankan untuk memilih orang lain menjadi penggantinya.”[5]
Demikianlah kurang lebih isi piagam penting tersebut. Harun Al-Rasyid kemudian mengumumkan isinya pada khalayak yang hadir pada waktu itu. Harun ingin mereka semua menjadi saksi atas penandatangan perjanjian penting ini. Setelah semua orang mengetahui dan menyatakan kesetujuaanya, Harun Al-Rasyid kemudian menggantung piagam tersebut di dinding Ka’bah.[6]
Menurut Imam Al-Suyuthi, melihat Harun Al-Rasyid membagi-bagikan dunia di antara ketiga anaknya, orang-orang bijak kala itu berkomentar, “Dia telah menciptakan derita di antara mereka sendiri dan menimbulkan bencana teramat besar pada rakyatnya.” Akan tetapi banyak juga penyair-penyair yang menyanjung bai’at putra mahkota tersebut dengan puja-puji semanis madu.[7]
Intinya banyak komentar bermunculan terkait dengan keputusan Harun mengangkat ketiga putranya ini. Makin lama, komentar-komentar tersebut lebih banyak bertendensi negatif. Karena sebagaimana yang kemudian terjadi, keputusan yang dibuat Harun Al-Rasyid pada masa hidupnya, ternyata mengundang bencana di dalam tubuh Dinasti Abbasiyah. Dimana anak-anak Harun Al-Rasyid pada akhirnya saling berperang satu sama lain demi berebut kekuasaan dunia.
Menariknya, ketika Harun Al-Rasyid membagi-bagikan kekuasaan kepada ketiga putranya, pada saat itu juga hadir putranya yang lain, bernama Al-Mu’thasim. Tapi dia sama sekali tidak perhitungkan oleh Harun ketika itu karena kondisinya yang buta huruf. Di saat nanti waktu menentukan takdinya, orang-orang pun berkomentar, “Bahwa Harun Al-Rasyid tidak memberikan kekuasaan pada Al-Mu’thasim karena dia seorang anak yang buta huruf. Namun Allah mengaruniakan khalifah kepadanya. Allah menjadikan anak-anak Al-Mu’thasim, bukan anak-anak Harun Al-Rasyid yang lain, sebagai khalifah sepeninggalnya.”[8] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan
kaki:
[1] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta, Qisthi Press, 2017), hal. 310
[2] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, The Abbasid Caliphate in Equilibrium, translated and annotated by C. E. Bosworth, (State University of New York Press, 1995), hal. 180
[3] Al-Amin ketika dilantik sebagai putra mahkota pertama di tahun 173 H/ 789 M, dia dipercaya menjadi gubernur di Suriah dan Irak. Sedang Al-Ma’mun ketika resmi dilantik sebagai putra mahkota kedua tahun 175 H/791 M, dia dipercaya menjadi gubernur wilayah Hamadhan hingga batas ujung terjauh kekuasaan Abbasiyah di kawasan timur. Lihat, Ibid
[4] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit
[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh, Darussalam, 2000), hal. 350-351
[6] Lihat, Imam As-Suyuthi, Loc Cit
[7] Ibid
[8] Ibid, hal. 311