Dinasti Abbasiyah (39): Harun Al-Rasyid (10)

in Sejarah

Last updated on April 24th, 2019 09:34 am

Tahun 187 H, terjadi peristiwa politik paling dramatis dalam istana Harun Al Rasyid. Keluarga Barmaki yang sudah setia mengabdi selama bertahun-tahun pada Dinasti Abbasiyah di tenggelamkan oleh Harun Al-Rasyid hanya dalam satu malam.


Gambar ilustrasi. Sumber: canacopegdl.com


Tahun 187 H bisa dikatakan sebagai tahun paling penting dalam drama kekuasaan dan politik pemerintahan Harun Al-Rasyid. Pada tahun ini secara sistematis Harun menyingkirkan Yahya bin Khalid dan seluruh trah Barmaki yang sudah berkontribusi banyak dalam membangun kekuasaan Dinasti Abbaiyah. Sepulangnya dari haji tahun 186 H, yang mengukuhkan anak-anaknya sebagai penerus tahta Abbasiyah, Harun Al-Rasyid langsung mengeksekusi satu persatu pentolan keluarga Yahya bin Khalid.

Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi sebelum-sebelumnya, bahwa keluarga Barmaki menjadi sangat berkuasa pada era pemerintahan Harun Al-Rasyid. Sejak hari pertama Harun Al-Rasyid dilantik sebagai khalifah, keluarga ini menjadi pelayan yang setia bagi Harun. Yahya bin Khalid, yang diangkat sebagai wazir Harun Al-Rasyid, diberikan kepercayaan yang sangat luas dalam pemerintahan. Lama kelamaan, pos-pos penting dalam pemerintahan telah mereka kuasai. Anak-anak Yahya bin Khalid satu persatu diangkat menjadi gubernur wilayah Abbasiyah. Bahkan Fadl bin Yahya dan Ja’far bin Yahya dijadikan sebagai mentor bagi kedua putra mahkota Harun Al Rasyid, Al-Amin dan Al-Ma’mun.[1]

Setelah Yahya pensiun sebagai wazir, posisinya digantikan oleh Ja’far bin Yahya. Ketika itu Ja’far menjadi sangat berkuasa. Akbar Shah Najeebabadi bahkan mengatakan Ja’far dan keluarga Barmaki sudah bertindak layaknya khalifah itu sendiri. Hanya saja mereka tidak dinobatkan sebagai khalifah oleh kaum Muslimin. Persoalannya, Harun Al-Rasyid sangat menyayangi keluarga ini, khususnya Yahya bin Khalid. Dia bahkan sudah menganggap Yahya seperti ayahnya sendiri. Yahya lah guru, dan sekaligus mentor utama yang membangun kebijaksanaan Harun Al-Rasyid.[2]

Tapi seiring bergantinya tahun, satu persatu skandal keluarga ini terbongkar. Di awali dengan Musa bin Yahya yang ketika itu diketahui menjadi patron bagi masyarakat yang melakukan kerusuhan di Khurasan. Sebagaimana sudah dikisahkan sebelumnya, bahwa Harun Al-Rasyid memerintahkan Ali bin Isa bin Mahan untuk memadamkan kerusuhan Khurasan. Rencana ini awalnya ditolak oleh Yahya bin Khalid. Tapi Harun bersikeras. Dan ketika Ali bin Isa berhasil memulihkan keamanan di sana, dia mendapat laporan dari Ali bin Isa bahwa masyarakat Khuarasan sangat mencintai dan memuja Musa bin Yahya. Untuk inilah, Musa dinilai sebagai biang kerok kekacauan di Khurasan.[3]

Harun kemudian memerintahkan agar memenjarakan Musa bin Yahya. Ketika mendengar keputusan ini, Yahya dan istrinya segera ke Istana Harun Al-Rasyid. Mereka bedua memohon ampunan atas Musa. Harun kemudian mengajukan syarat, agar Yahya sendiri yang menjadi jaminan atas Musa. Dan syarat itupun disanggupi oleh Yahya. Sejak itu, Yahya mulai memahami bahwa kedudukannya di dalam pemerintahan Harun Al-Rasyid tidak pernah lebih daripada seorang pelayan saja. Harun tetaplah raja dengan segenap kebesarannya yang tak mungkin dia lawan.[4]

Pada musim haji 186 H, Yahya bin Khalid dan keluarganya juga ikut berangkat bersama rombongan Harun Al-Rasyid ke tanah suci. Sejumlah sejarawan merekam doa Yahya di depan Ka’bah ketika itu; “Wahai Tuhan, dosaku sangat besar dan banyak; hanya Kau yang bisa menghitung dan mengetahuinya. Oh Tuhan, bila Kau hukum aku, maka hukumlah aku di dunia ini, meskipun bila hukuman itu menyangkut hati, pendengaran dan mengelihatan, kekayaan dan anak-anak, hingga Kau benar-benar rela kepada ku, dan jangan (Kau jatuhkan) hukuman kepada ku di akhirat kelak.”[5] 

Yahya bin Khalid agaknya sudah mengetahui situasi yang akan dihadapinya tidak lama lagi. Belasan tahun mereka mengabdi pada Dinasti Abbasiyah. Sudah banyak yang mereka nikmati selama masa pengabdian itu. Tapi kedekatan pada keluarga istana ternyata sudah melenakan mereka. Hingga satu persatu skandal pun terkuak. Mulai dari korupsi, kolusi, nepotisme, dan akhirnya dosa yang tak terampunkan oleh Harun Al-Rasyid dilakukan oleh Ja’far bin Yahya.

Alkisah, Harun memiliki adik perempuan yang sangat disayanginya, bernama Abbasah binti Al-Mahdi. Ja’far jatuh cinta padanya. Mengetahui hal ini, Harun tidak marah. Tapi dia mengultimatum Ja’far secara serius, bahwa Harun berjanji akan menikahkan Abbasah, tapi selama pernikahan itu belum berlangsung, Ja’far diminta jangan menyentuh Abbasah sedikit pun.[6]

Tapi ternyata Ja’far melanggar batasan yang sudah diberikan Harun Al-Rasyid. Dalam satu perjamuan, Ja’far membuat mabuk Abbasah, hingga merekapun melakukan hubungan suami istri. Dari hubungan ini, Abbasah hamil. Karena ketakutan, Abbasah kemudian memerintahkan pada budak perempuannya agar melarikan anak tersebut ke Mekkah, dan memintanya merahasiakan skandal ini dari Harun Al-Rasyid. Tapi seiring berjalannya waktu, skandal inipun diketahui oleh Harun Al-Rasyid. Pada satu musim haji, Harun menyempatkan diri untuk menengok anak yang dikatakan lahir dari rahim Abbasah. Ketika mendengar kisah para pengasuhnya di Mekkah sama dengan laporan yang didengarnya di Baghdad, Harun pun merasa sangat terpukul. Hampir-hampir ketika itu dia membunuh bayi yang masih kecil tersebut. Tapi rencana itu tidak dilanjutkan.[7]

Hebatnya, setelah mengatahui hal tersebut, Harun Al-Rasyid memampu bersikap wajar kepada keluarga Barmaki. Semua berlangsung seperti biasa, meskipun tanda-tanda kemarahan Harun pada keluarga Barmaki makin tampak hari demi hari. Yahya bin Khalid al Barmaki yang paling merasakannya. Dan ketika kembali dari pelantikan ketiga putra Harun Al-Rasyid pada musim haji tahun 186 H, Harun mengajak serta seluruh keluarga Barmaki ke dalam rombongannya. Ketika tiba di Anbar, bekas ibu kota Dinasti Abbasiyah era As-Saffah, Harun memerintahkan rombongan untuk berhenti dan beristirahan di sana.[8]

Ketika malam tiba, Harun meminta semua prajurit kepercayaannya untuk menghadap. Dia memerintahkan pada mereka, agar malam itu juga memenggal kepala Ja’far bin Yahya dan menggelandang semua keluarga Barmaki ke dalam penjara, termasuk Yahya bin Khalid, istrinya, anak-anaknya, para budak, serta semua orang yang terkait dalam jaringannya. Pada malam yang sama, Harun juga memerintahkan kepada seluruh gubernurnya agar menangkap seluruh keluarga Barmaki di manapun berada, dan melucuti semua harta kekayaan mereka, serta menangkap semua agen-agen yang setia pada mereka. Semua ini dilakukan cepat, rapih dan hanya dalam satu malam.[9]

Ketika pagi tiba, kepala Ja’far bin Yahya sudah tergantung di tengah jembatan Kota Baghdad. Tubuhnya dimutilasi, dengan satu bagian tubuh diletakkan di sisi kanan jembatan, dan bagian tubuh lainnya di sisi kiri jembatan. Adapun Yahya bin Khalid dan anak-anaknya, mereka semua dimasukkan dalam penjara yang sama dengan para budak dan tahanan kejahatan tingkat tinggi. Mereka diperlakukan sama dengan para tahanan tersebut.[10] Demikianlah akhir kisah kejayaan keluarga Barmaki. Hanya dalam tempo satu malam saja, Harun Al-Rasyid melenyapkannya dan membuatnya jatuh hingga ke dasar tanah. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh, Darussalam, 2000), hal. 342

[2] Ibid, hal. 357

[3] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, The Abbasid Caliphate in Equilibrium, translated and annotated by C. E. Bosworth, (State University of New York Press, 1995), hal. 213

[4] Ibid

[5] Ibid, hal. 211-212

[6] Ibid, hal. 214

[7] Ibid, hal. 215

[8] Ibid, hal. 216

[9] Ibid, hal. 217-218

[10] Ibid, hal. 219

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*