Akibat hasutan dari wazirnya yang bernama Fadl bin Rabi, Al-Amin akhirnya mencederai perjanjian dengan saudara-saudaranya dan merobek wasiat Harun Al-Rasyid yang tergantung didinding Kabah. Satu persatu dia mendepak suadaranya dari urutan sebagai pewaris tahta, dan mengangkat putranya yang ketika itu masih menyusui sebagai putra mahkota.
Meskipun telah berhasil dengan baik melewati masa transisi, akan tetapi hanya sekitar satu tahun Dinasti Abbasiyah menikmati stabilitas politik. Selang setahun setelah itu, letupan konflik yang menandai dimulainya persaingan antar putra makhota, mulai muncul kepermukaan.
Disebutkan oleh Tabari, bahwa asal mula semua konflik antara saudara ini adalah provokasi dari Fadl bin Rabi yang tidak lain merupakan wazir dari Al-Amin. Fadl khawatir bila kelak Al-Makmun berkuasa, maka posisinya sebagai wazir pasti akan secara otomatis bergeser. Andaipun dia mencoba melakukan pemberontakan pada Al-Makmun, tentulah dia tak mampu. Karena Al-Makmun didukung oleh para komandan militer Harun Al-Rasyid dan memiliki prajurit Khurasan yang terkenal setia. Untuk itulah dia mati-matian memprovokasi Al-Amin agar segera mendepak semua putra mahkota, dan menggantikannya dengan Musa bin Muhammad Al-Amin. [1] Dia tidak peduli meskipun rencana tersebut bisa mengakibatkan terjadinya perang saudara yang menumpahkan darah kaum Muslim.
Masih menurut Tabari, bahwa pada awalnya Al-Amin tidak memiliki niat untuk menggeser urutan yang sudah ditetapkan oleh ayahnya. Tapi sebabkan oleh bisikan Fadl bin Rabi dan kawan-kawannya, Al-Amin mulai terprovokasi. Fadl berkata pada Al-Amin, “Apa yang kamu tunggu dalam masalah saudara-saudaramu, Abdallah dan Al-Qasim? Sumpah kesetiaan (baiat) adalah untukmu terlebih dahulu, sebelum mereka berdua; mereka hanya dibawa ke sana setelah kamu, satu demi satu.”[2]
Maka demikianlah, Al-Amin pun mulai berubah pikiran. Pada tahun 194 H, tiba-tiba terbit surat keputusan dari Al-Amin yang berisi keputusan mencopot adiknya yang bernama Al-Qasim dari urutan sebagai putra mahkota setelah Al-Makmun. Tidak hanya itu, Al-Amin juga memecat Al-Qasim dari posisinya sebagai gubernur Suriah dan memerintahkannya bermukim di Baghdad tanpa kekuasaan apapun. [3]
Kebijakan ini tentu saja menyalahi perjanjian di antara mereka, para putra mahkota. Sebab, sebagaimana surat wasiat dari Harun Al-Rasyid, hanya Al-Makmun yang bisa menentukan apakah Al-Qasim layak atau tidak menjadi penerus tahta. Karena Al-Qasim akan menjadi khalifah setelah Al-Makmun.
Keputusan Al-Amin ini ternyata berbuntut panjang. Menurut Imam Al-Suyuthi, ketika berita tentang pemecatan Al-Qasim sampai ke telingan Al-Makmun, dia langsung menghapus nama Al-Amin pada tanda kirim pos (semacam perangko dewasa ini). [4]
Tak lama setelah memecat Al-Qasim, Al-Amin mulai memerintahakan pada para khotib untuk berhenti menyebut nama Al-Makmun dan Al-Qasim dalam doa jumat, dan menggantinya dengan mendoakan putranya yang bernama Musa bin Muhammad Al-Amin – yang ketika itu masih bayi – agar kelak menjadi khalifah. Sejak saat itu, eskalasi ketegangan di antara anak-anak Harun Al-Rasyid makin meninggi. Al-Amin dan Al-Makmun mulai saling mengintai agregat kekuatan masing-masing.
Dikatakan oleh Tabari, bahwa ketika Al-Makmun mendengar berita pencopotan Al-Qasim, dan iringi dengan perintah kepada khotib sholat jumat agar mendoakan putranya Al-Amin menjadi khalifah, Al-Makmun sudah mencium adanya gejala pengkhianatan di sini. Oleh sebab itulah dia sudah bersiap.[5]
Dan tak lama setelah itu, kecurigaannya terbukti benar. Al-Amin mengutus beberapa orang kepercayaannya ke Khurasan untuk menyampaikan surat pribadi Al-Amin kepada Al-Makmun. Di dalam isi surat tersebut, Al-Amin meminta agar Al-Makmun merelakan gelar putra mahkota yang sekarang ada padanya, dialihkan kepada putranya, Musa bin Muhammad Al-Amin. Dia juga mengatakan bahwa putranya tersebut, sudah diberi gelar Al-Natiq bi-al-Haqq (Suara Kebenaran).[6] Terang saja Al-Makmun menolak dengan tegas tawaran yang tidak jujur ini.
Tapi menariknya, salah satu utusan Al-Amin ketika itu bernama Al-Abbas bin Musa bin Isa, justru diam-diam membait Al-Makmun, dan menjulukinya sebagai “Al-Imam”. Al-Abbas ini, tidak lain adalah cucu dari Isa bin Musa yang dulu didepak oleh Al-Manshur dan Al-Mahdi dari urutan putra mahkota. Dia sangat mengerti bagaimana situasi yang sebenarnya dihadapi oleh Al-Makmun sekarang. Dulu kakeknya tidak mampu melakukan apa-apa karena kekuasaannya dipreteli secara politis. Dan dia tak ingin Al-Makmun mengulang kisah pahit kakeknya. Untuk itu dia berjanji akan diam-diam membantunya. Selanjutnya, Al-Abbas menjadi mata-mata Al-Makmun dan secara rutin menulis kabar-kabar tentang perkembangan yang terjadi, dan memberi arahan dari Baghdad.[7]
Setelah para utusan itu pulang kembali ke Baghdad, mereka melaporkan penolakan Al-Makmun. Bahkan mereka mengatakan bahwa Al-Makmun, sudah dikenal sebagai Al-Imam. Dengan kata lain, Al-Makmun saat ini posisinya sejajar dengan khalifah, karena statusnya tak kalah mentereng, yaitu seorang imam kaum Muslimin.[8]
Mendapat laporan seperti ini, Al-Amin naik pitam. Dia segera menulis surat yang isinya pemecatan Al-Makmun dari posisinya sebagai putra mahkota. Tidak sampai di sana, dia juga memerintahkan agar Piagam perjanjian yang sudah di tulis oleh Harun Al-Rasyid yang sekarang masih tergantung di dinding Kabah, segera diturunkan. Piagam tersebut kemudian dirobek-robek oleh Al-Amin.[9]
Melihat hal ini, orang-orang bijak di sekitar Al-Amin berusaha menasehatinya. Khuzaimah bin Hazim, misalnya mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, seseorang yang berbohong padamu takkan pernah benar-benar memberimu nasehat secara jujur. Sebaliknya, seseorang yang menunjukkan kebenaran kepada mu tidak akan mungkin menipumu. Jangan mudah mencopot orang-orang penting sebab bisa saja mereka akan balik mencopot mu. Jangan pula menggiring mereka untuk ingkar janji sehingga mereka akan mengingkari baiat yang pernah mereka berikan kepadamu. Pasalnya, orang-orang yang ingkar janji akan dihinakan dan orang-orang yang mengingkari kesepakatan akan dilecehkan.”[10]
Namun nasehat orang-orang bijak ini tidak dihiraukan oleh Al-Amin. Dia justru lebih suka melobi orang-orang terpandang Dinasti Abbasiyah untuk mendapatkan simpati dan dukungan politik dari mereka. Al-Amin bahkan menggelontorkan banyak sekali uang untuk menjamin kesetiaan mereka. Dan setelah dia rasa modal politiknya mencukupi, Al-Amin nekat memproklamirkan pengangkatan putranya, Musa bin Muhammad Al-Amin sebagai putra mahkota. Padahal ketika itu Musa belum cukup umur dan masih menyusu pada ibunya.[11] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’I-muluk), VOLUME XXXI, The War between Brothers, translated and annotated by Michael Fishbein, (USA: State University of New York Press, 1992), hal. 22
[2] Ibid, hal. 23
[3] Ibid, hal. 22
[4] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 317
[5] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’I-muluk), VOLUME XXXI, Op Cit, hal. 23
[6] Ibid
[7] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit
[8] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’I-muluk), VOLUME XXXI, Op Cit, hal. 26-27
[9] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit
[10] Ibid, hal. 318
[11] Ibid