Dinasti Abbasiyah (45): Muhammad Al-Amin (2)

in Sejarah

Last updated on May 24th, 2019 07:00 am

Digambarkan oleh Imam Al-Suyuthi, bahwa Al-Amin adalah seorang remaja berwajah tampan, berkulit terang, dengan postur tubuh tinggi perkasa. Tapi dia tidak mengerti caranya memerintah, cenderung boros, suka berfoya-foya dan berkepribadian lemah. Parahnya lagi, dia ternyata seorang penyuka sesama jenis.

Gambar ilustrasi. Sumber: tebyan.net

Baghdad, 14 Jumadil Akhir 193 H/ 4 April 809 M, sepucuk surat dari Thus (sekarang Iran) tiba di Baghdad dengan dibawa oleh orang kepercayaan Al-Amin bernama Raja. Surat tersebut berisi berita duka tentang wafatnya Harun Al-Rasyid. Bersama surat tersebut terdapat juga pedang, selendang, cincin dan stempel kerajaan. Serta yang paling penting adalah penyataan setia (baiat) dari semua prajurit yang ada di Thus atas khalifah yang baru, Muhammad Al-Amin.

Al-Amin menerima kiriman tersebut dengan perasaan campur aduk. Dia lalu mengabarkan berita tersebut pada orang-orang terdekatnya, terutama ibunya, Zubaidah bin Al-Manshur yang ketika itu ada di Raqqah. Dia pun meminta agar ibunya segera datang ke Baghdad untuk menghadiri pelantikannya. Setelah itu, Zubaidah langsung bergegas ke Baghdad memenuhi undangan putranya. Dikisahkan oleh Tabari, bahwa ketika itu Zubaidah membawa serta semua hartanya ke Baghdad.[1]

Selama beberapa waktu, surat yang dibawa Raja disimpan baik-baik. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui perkembangan yang terjadi. Dalam kurun waktu tersebut, Al-Amin mempersiapkan segala sesuatunya agar bisa lancar melewati masa transisi.

Maka demikianlah, dua hari setelahnya, atau Jumat, 16 Jumadil Akhir 193 H/ 6 April 809 M, Muhammad Al-Amin memanggil semua orang di Kota Baghdad untuk hadir di Masjid Agung Baghdad untuk mendengarkan pengumuman penting yang akan dia sampaikan sendiri. Hadir pula dalam kesempatan itu semua petinggi Dinasti Abbasiyah, pentinggi militer, dan juga para tokoh Bani Hasyim. Setelah melaksanakan sholat jumat, Al-Amin pun menaiki mimbar dan berpidato.[2]

Dalam pidatonya, Al-Amin menyampaikan berita duka tentang kematian Harun Al-Rasyid. Kemudian dia menyampaikan kalimat-kalimat yang bertujuan menenangkan dirinya dan juga khalayak yang hadir. Selanjutnya dia mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah yang baru berdasarkan amanat ayahnya. Di hadapan para massa ketika itu, Al-Amin berjanji akan meningkatkan kemakmuran mereka, memperbesar harapan mereka, dan menjanjikan perlindungan kepada para aparatur yang setia padanya. Dan khusus kepada para prajurit yang ada di Kota Baghdad, Al-Amin memerintahkan hari itu juga membayar semua gaji mereka untuk 24 bulan ke depan.[3]

Segera setelah itu, semua tokoh keluarga, pejabat, dan tokoh masyarakat satu persatu membaiat dan menyatakan kesetiaannya khalifah Muhammad Al-Amin. Tapi tak berapa lama, Al-Amin bergegas meninggalkan masjid dan kembali ke istananya. Dia memerintahkan pada Sulaiman bin Abi Jafar, paman dari pihak ayahnya, agar meneruskan tugasnya menerima baiat dari semua orang.

Sehari setelah dilantik, Al-Amin juga mendapat ucapan selamat dari Al-Makmun. Bersama ucapan selamat itu, Al-Makmun juga mengirimkan banyak hadiah, mulai dari perabot, hingga binatang buas dan senjata. Al-Amin pun sudah mengirimkan surat kepada saudaranya itu, yang intinya menyatakan komitmennya untuk tetap setia pada perjanjian yang mereka buat di hadapan Kabah. Demikian pula kepada adiknya, Al-Qasim yang merupakan putra mahkota ketiga. Al-Amin mengukuhkan kedudukannya sebagai penguasa wilayah Suriah hingga ke perbatasan Mesir. Secara umum, transisi kekuasaan dan pelantikan Al-Amin berjalan lancar dan tanpa hambatan.[4]

Ketika dilantik sebagai khalifah, usia Al-Amin masih 23 tahun, tidak jauh berbeda dengan Harun Al-Rasyid yang dilantik ketika masih berusia sekitar 22 tahun. Akan tetapi, Harun didampingi oleh seorang wazir yang bijak sekelas Yahya Barmaki, sedang Al-Amin di dampingi oleh orang ambisius bernama Fadl bin Rabi. Bahkan sejak sebelum Al-Amin menjabat sebagai khalifah, Fadl sudah berpikir mendepak Al-Makmun dari garis putra mahkota. Suatu rencana yang sangat berbahaya. Karena jelas akan menimbulkan perang saudara.

Dia lupa bahwa anak-anak Harun Al-Rasyid sudah diikat sumpah yang disaksikan oleh banyak kaum Muslimin di depan Kabah. Piagam perjanjiannya pun masih tergantung di dinding Kabah, dan menjadi acuan bagi siapapun yang membacanya. Piagam tersebut isinya kurang lebih sebagai berikut: 

“Bahwa Al-Amin akan bersumpah akan memenuhi hak Al-Makmun, demikian juga sebaliknya. Al-Amin akan memerintah terlebih dahulu. Dan selama dia memerintah, Al-Makmun akan selalu mematuhi perintahnya. Akan tetapi, Al-Amin tidak diperbolehkan mencopot jabatan Al-Makmun yang sudah ditetapkan oleh Harun Al-Rasyid. Adapun untuk Al-Muktaman, haknya atas tahta sangat bergantung pada Al-Makmun. Al-Muktaman harus terlebih dahulu menunjukkan kontribusi dan kapabilitas dirinya hingga dianggap layak oleh Al-Makmun menggantikan kedudukannya kelak. Bila tidak, maka Al-Makmun diperkenankan untuk memilih orang lain menjadi penggantinya.”[5]

Tapi Al-Amin tak kalah bengalnya. Digambarkan oleh Imam Al-Suyuthi, bahwa Al-Amin adalah seorang remaja berwajah tampan, berkulit terang, dengan postur tubuh tinggi perkasa. Dia punya kekuatan fisik yang luar biasa dan memiliki keberanian tiada tara. Konon dia pernah membunuh seekor singa dengan tangan kosong. Tapi dia tidak mengerti caranya memerintah, cenderung boros, suka berfoya-foya dan berkepribadian lemah.[6]

Parahnya lagi, Al-Amin ternyata adalah seorang penyuka sesama jenis. Dia tidak menyukai perempuan dan budak-budak perempuan. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Jarir, bahwa pernah satu ketika Al-Amin membeli dua orang kasim (orang yang sudah dikebiri). Dia memperlakukan mereka sangat istimewa dan sering menemui mereka di tempat-tempat sepi.[7]

Semua sifat yang melingkupi Al-Amin tersebut dinilai Al-Suyuthi tidak layak mengembam amanat sebagai khalifah dan amirul mukminin. Lihat saja bagaimana instruksinya dua hari setelah dia berkuasa. Dia memerintahkan untuk membangun sebuah lapangan olah raga dekat Istana Al-Manshur.[8]

Di tambah lagi ketika itu Al-Amin memiliki orang kepercayaan seperti Fadl bin Rafi yang sangat ambisius dan provokatif. Tak ayal banyak pihak yang cemas dengan nasib Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan Al-Amin. Tapi agaknya, semua situasi yang berkembang diseputar putra-putranya sudah dipertimbangkan oleh Harun Al-Rasyid. Itu sebabnya sebelum meninggal, dia sempat menuliskan surat wasiat yang dipublikasi secara umum kepada para pejabat nya, yang isinya sebagai berikut:

“Semua yang muda akan menjadi tua, semua yang datang ke dunia akan mati. Kuberikan pada kalian tiga arahan: pegang erat baiat kalian, setialah kepada para Imammu (para khalifah), dan pereratlah persatuan di antara kalian, dan rawatlah Mohammed dan Abdullah (Al-Amin dan Al-Makmun); jika salah satu di antara mereka berkhianat (memberontak) pada yang lain, lawan pemberontakannya dan cap dia sebagai penghianat yang keji.”[9] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’I-muluk), VOLUME XXXI, The War between Brothers, translated and annotated by Michael Fishbein, (USA: State University of New York Press, 1992), hal. 18

[2] Ibid, hal. 2

[3] Ibid, hal. 3

[4] Ibid, hal. 19

[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh, Darussalam, 2000), hal. 350-351

[6] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 320

[7] Ibid

[8] Ibid, hal. 317

[9] Lihat, Syeed Ameer Ali, A Short History Of The Saracens,(London: MacMillian And Co., Limited ST. Martin’s Street, 1916), hal. 250-251 6

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*