Al-Amin memulai perang saudara dengan mengirim pasukan di bawah pimpinan Ali bin Isa bin Mahan. Digambarkan oleh Tabari, bahwa Ali bin Isa keluar Kota Baghdad bersama 40.000 pasukan dengan seragam yang belum pernah ada sebelumnya. Ali bin Isa juga membawa rantai perak yang dalam angan-angannya akan dipakainya untuk membelenggu tangan Al-Makmun
Setelah melantik putranya, Musa bin Muhammad Al-Amin, sebagai putra mahkota, Al-Amin lantas menunjuk seorang mentor bagi putranya tersebut. Tugasnya adalah mengasuh, mendidik dan menjaganya sampai dia naik tahta. Seperti halnya dulu yang dilakukan oleh Yahya bin Khalid Al- Barmaki kepada Harun dan juga Fald bin Yahya Al-Barmaki kepada Mahammad Al-Amin. Ada pun untuk Musa, Al-Amin menunjuk sosok bernama Ali bin Isa bin Mahan sebagai mentornya.
Penunjukkan seorang mentor ini agaknya sudah jadi semacam tradisi dalam sistem pewarisan tahta Abbasiyah. Pada masa selanjutnya, posisi ini menjadi sangat strategis, dan tak kalah bergengsi dibanding jenderal, gubernur wilayah, ataupun jabatan penting lainnya. Sebab umumnya, mereka-mereka yang ditunjuk sebagai mentor para putra mahkota ini, kelak akan menjadi perdana menteri (wazir) ketika sang putra mahkota naik tahta.
Selain ditunjuk sebagai mentor putra mahkota, Ali bin Isa bin Mahan juga dinobatkan oleh Al-Amin sebagai penguasa seluruh wilayah Al-Jabal, yang meliputi Nahawand, Hamadhan, Qum, dan Isfahan (sekarang Iran). Dimana semua wilayah ini sebenarnya juga masuk menjadi bagian dari yurisdiksi Khurasan, yang secara otomatis menjadi wilayah kekuasaan Al-Makmun. Tugas Ali bin Isa bin Mahan adalah menarik pajak sebanyak 200.000 dirham dari kawasan tersebut. Karena sebelumnya, selama tahun 194 H, Al-Makmun sudah berhenti mengirimkan upeti ke Baghdad karena kekecewaannya pada keputusan Al-Amin terhadap Al-Qasim. Rencananya, dari 200.000 pajak yang diambil tersebut, sebanyak 50.000 dirham akan menjadi hak putranya, Musa bin Muhammad Al-Amin.[1]
Sebagaimana sudah dikisahkan dalam edisi terdahulu, Ali bin Isa bin Mahan adalah gubernur Khurasan pada era Harun Al-Rasyid. Rakyat Khurasan tidak suka padanya. Karena dia dianggap korup dan kejam dalam memerintah. Perihal kontroversi pengangkatan Ali bin Isa bin mahan ini dulu pernah disampaikan oleh Yahya bin Khalid Al-Barmaki kepada Harun Al-Rasyid. Tapi karena ketika itu Harun mulai kesal pada Yahya, pendapat Yahya ini justru dianggap sebagai bentuk konspirasi dari gurunya tersebut. Dan sebagaimana kemudian terbukti, ketidaksukaan masyarakat Khurasan pada Ali bin Isa bin Mahan telah melahirkan instabilitas politik tanpa henti di Khurasan. Pemberontakan demi pemberontakan terus berkobar dan mulai mengancam legitimasi Dinasti Abbasiyah. Hingga pada akhirnya, Harun Al-Rasyid pun menjemput ajalnya di Thus, ketika sedang berusaha memadamkan pemberontakan tersebut.[2]
Akbar Shah Najeebabadi menilai dalam hal ini Al-Amin melakukan kesalahan dengan menunjukkan Isa bin Musa bin Mahan sebagai gubernur wilayah ini. Sebab dengan track record-nya yang demikian buruk, sangat sulit bagi Ali bin Isa bin Mahan mereduksi pengaruh Al-Makmun di kawasan tersebut. Tapi Al-Amin yang tidak memiliki kecakapan dalam memerintah itu agaknya tidak memahami hal ini. [3] Dia justru membekali Ali bin Isa bin Mahan dengan uang dalam jumlah sangat besar, senjata-senjata bermutu tinggi, dan pasukan yang didandani dengan seragam yang belum ada duanya kala itu.[4]
Menurut Tabari, Ali bin Isa bin Mahan keluar Kota Baghdad bersama 40.000 pasukan dengan seragam yang belum pernah ada sebelumnya. Ali bin Isa juga membawa rantai perak yang dalam angan-angannya akan dipakainya untuk membelenggu tangan Al-Makmun.[5] Tapi sebelum pergi untuk menantang Al-Makmun, Ali bin Isa terlebih dahulu menghadap Zubaidah, ibu Al-Amin. Ketika itu Zubaidah berpesan, bila Ali bin Isa berhasil menaklukkan Khurasan, jangan sampai dia memperlakukan Al-Makmun dengan tidak hormat. Ali bin Isa pun berjanji akan mematuhi pesan ini.[6]
Al-Amin mengantarkan pasukan kebanggannya ini sampai ke Nahrawan. Di sana dia sempat tinggal beberapa hari sambil memastikan kelengkapan mereka. Setelah puas dengan semua persiapan yang ada, Al-Amin kembali ke Baghdad. Ali bin Isa sempat tinggal dulu sekitar 3 hari di Nahrawan. Selanjutnya dia bergerak ke wilayah Khurasan dengan kecepatan penuh. Di memecah pasukannya menjadi beberapa kontingen yang ditugaskan untuk segera menaklukkan satu persatu wilayah yang sudah ditunjuk. Ali bin Isa pun memerintahkan agar mereka segera mengumpulkan pajak dari daerah-daerah tersebut sebagaimana yang diinstruksikan oleh Al-Amin. Adapun Ali bin Isa dengan pasukan intinya, sempat berhenti dulu di Hamadan. Setelah itu dia terus melaju lagi hingga tiba di Rayy.[7]
Di tempat yang berbeda, Al-Makmun merasa tidak memiliki pilihan lain selain merespon tantangan saudaranya. Dia pun mengutus jenderalnya yang bernama Tahir bin Husein untuk menyongsong pasukan Ali bin Musa. Kontras dengan pasukan dari Baghdad, pasukan Tahir bin Husein tidak dilengkapi dengan perlengkapan khusus. Bahkan jumlahnya pun kurang dari 4000 orang. Menurut perkiraan Tabari, jumlah mereka hanya sekitar 3.800 orang. Di Rayy kedua pasukan dengan kekuatan kontras ini bertemu.[8] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’I-muluk), VOLUME XXXI, The War between Brothers, translated and annotated by Michael Fishbein, (USA: State University of New York Press, 1992), hal. 48
[2] Terkait kisah ini, bisa merujuk pada edisi Dinsati Abbasiyah sebelumnya, dengan mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-37-harun-al-rasyid-8/
[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh, Darussalam, 2000), hal. 384
[4] Dalam catatan Tabari,Al Amin membekali prajuritnya dengan uang yang sangat banyak, dan secara khusus memesan 2000 pedang berhias, serta 6000 pakaian jubah kehormatan. Singkat kata, seragam yang digunakan oleh pasukan Ali bin Isa bin Maham ini adalah salah satu yang terbaik yang pernah dikenal oleh masyarakat era itu. Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’I-muluk), VOLUME XXXI, Op Cit
[5] Ibid, hal. 50
[6] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit
[7] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’I-muluk), VOLUME XXXI, Op Cit, hal. 51
[8] Ibid 8